Dalam beberapa dekade terakhir, isu jejak karbon (carbon footprint) menjadi perbincangan menarik di berbagai industri. Secara definisi, jejak karbon adalah ukuran total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia (antropogenik), baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini mencakup semua emisi karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya, seperti metana (CH4), yang dihasilkan dari berbagai sumber, termasuk pembakaran bahan bakar fosil, kegiatan industri, transportasi, dan deforestasi.
Jejak karbon perlu dikurangi karena dampaknya yang negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Mengurangi jejak karbon membantu mencegah perubahan iklim, mengurangi risiko bencana alam, dan meningkatkan kualitas udara serta kesehatan. Selain itu, pengurangan jejak karbon juga berkontribusi pada pelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Grin Swangdacharuk saat menjadi pemateri pada Indonesia Aquafeed Conference 2025 di Jakarta. ©Asep Bulkini
Grin Swangdacharuk, Associate Marketing Director – Kemin AquaScience™ menjelaskan bahwa di sebagian besar negara pertanian, sebanyak 30-40% jejak karbon yang dihasilkan berasal dari kendaraan dan mayoritas berasal dari pertanian.
“Jik Anda memberi pupuk berlebihan—terutama di lahan sawah—misalnya setelah tanaman padi tumbuh, lalu kita bakar jeraminya, masalahnya bukan hanya soal karbon. Tapi pupuk itu sendiri, karena sebagian besar partikel mengandung 2/5 nitrogen. Jadi, saat kita menggunakan pupuk secara berlebihan di sawah, kita sebenarnya melepaskan nitrogen ke udara.
Baca juga: IAC 2025: Efisiensi pakan jadi kunci keberlanjutan akuakultur
Kalau gas itu tetap berada di udara dalam waktu lama dan tidak ada hujan, ia akan berubah menjadi partikel-partikel debu yang sangat halus. Hal ini juga yang kadang terjadi. Jadi, walaupun kita menggunakan produk sampingan (seperti jerami), produk sampingan itu pun bisa menghasilkan karbon atau bahkan ikut menyumbang emisi gas rumah kaca,” jelasnya saat menjadi narasumber pada Indonesia Aquafeed Conference di Jakarta beberapa waktu lalu (27/5).
Sementara terkait jejak karbon pada industri pakan akuakultur (aquafeed), tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan di industri ini juga menyumbang permasalahan tersebut. Ada empat faktor yang berkontribusi dalam menghasilkan jejak karbon pada rantai pasok pakan.
Pertama adalah konsumsi energi. Konsumsi energi yang dimaksud berasal dari proses operasi mesin untuk menghasilkan pakan seperti pelleting, conveyor dan mixer, sistem pendinginan dan sebagainya.
Kedua adalah bahan pakan. Bahan pakan dihasilkan dari kegiatan pertanian seperti bercocok tanam jagung, kedelai, gandum dan lain-lain.
Ketiga yakni aktivitas transportasi dan logistik, yang terdiri dari trasportasi saat bahan pakan yang dididatangkan dari lahan pertanian menuju pabrik pakan, serta saat proses pendistribusian pakan ke kawasan pertambakan.
Keempat adalah manajemen limbah seperti pakan yang tidak terpakai (termakan) oleh ikan dan udang maupun proses penanganan limbah hasil turunan dari material limbah pakan.
Meminimalkan jejak karbon pakan akuaklutur
Grin melanjutkan, berdasarkan sebuah laporan pada proses budi daya udang, jumlah jejak karbon yang dihasilkan dalam setiap ton udang adalah 9.428 kg CO2 – eq/MT atau 9 kali lebih besar dari panen udang yang diperoleh. Sementara, pakan menyumbang sebanyak 2.030 kg CO2 – eq/MT.
“Jadi, pabrik pakan menyumbang sekitar 21% dari total jejak karbon yang dihasilkan dari aktivitas budidaya udang. Apa yang Anda lihat di sini? Apakah kita siap untuk mengklaim keberlanjutan dalam budi daya udang?” katanya.
Lantas bagaimana agar industri akuakultur ini bisa berkelanjutan dan mengurangi jejak karbon yang dihasilkan? Grin memberikan tawaran solusi melalui program millSMART™, yakni sebuah produk yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggilingan dan juga meningkatkan produksi.
Baca juga: Jejak karbon akuakultur: Sumber-sumber penghasil emisi dalam budidaya
Pihaknya juga melibatkan konsultan independen untuk melakukan penilaian siklus hidup (life cycle assessment/LCA) untuk bahan pembantu penggilingan millSMART™, yaitu aditif pakan berbasis surfaktan yang mendukung penetrasi kelembapan ke dalam partikel pakan sekaligus menjaga kualitas pakan. Hal ini memberikan kejelasan tentang jejak karbon produknya kepada pelanggan dan memungkinkan mereka untuk secara akurat menentukan penghematan karbon bersih dalam operasional mereka sendiri.
Program tersebut tentu berkontribusi pada berbagai aspek keberlanjutan pabrik pakan. Manfaatnya antara lain menghindari kehilangan proses pemulihan sekaligus menjaga nilai gizi, mengurangi kadar debu dan partikel halus, serta mengurangi hambatan pengepresan sehingga energi yang dibutuhkan lebih sedikit karena lebih banyak pakan dapat diproduksi pada lini produksi yang sama.
“Manfaat ini diperoleh melalui bahan pembantu penggilingan yang ditambahkan ke dalam mixer. Manfaat ini menghasilkan peningkatan efisiensi energi yang signifikan dan penurunan limbah pakan,” kata Grin.
Masih kata Grin, pada pakan akuakultur, di mana proses menggiling sangat halus, maka banyak dari pabrik pakan menggunakan riser keras. Sebenarnya, luas permukaannya meningkat setidaknya sepuluh kali lipat dibandingkan dengan yang ada di area yang luas. Masalahnya, ketika memasukkan air, permukaannya tidak mudah rusak karena terkadang dilakukan penyemprotan air, dan hanya menempel di sana.
“Karena pakan aqua memiliki apa yang disebut retensi permukaan. Itulah mengapa terkadang Anda membutuhkan surfaktan, zat aktif permukaan untuk mengurangi retensi surfaktan agar dapat menembus lebih dalam,” sambungnya.
Ketika surfaktan ditambahkan ke dalam air, mereka menurunkan tegangan permukaan air dan meningkatkan penyerapan air ke dalam pakan. Retensi air yang lebih baik dalam partikel pakan memfasilitasi gelatinisasi pati selama pengkondisian, yang meningkatkan daya cerna dan daya tahan pakan pelet. Retensi air yang lebih baik juga membantu meminimalkan penyusutan pakan selama proses pendinginan.
Dengan melakukan itu, efisiensi penggilingan pada proses pembuatan pakan akan meningkat. Ini bermanfaat bagi mesin di pabrik pakan dan juga lebih mudah dioperasikan. Tentunya hal tersebut merupakan investasi untuk menghemat biaya produksi pakan.
“Jadi dengan melakukan itu, kami memiliki beberapa kasus yang dapat kami demonstrasikan, meningkatkan efisiensi hampir 10%. Ini bergantung pada mesin Anda saat ini, formulasi Anda saat ini, tetapi setidaknya 5-10%, ini adalah sesuatu yang kami coba upayakan untuk Anda kerjakan,” pungkasnya.
***
Penulis: Farid Dimyati
Editor: Asep Bulkini
Foto utama: ©KKP