Tantangan penyakit pada budidaya udang seolah tidak pernah berhenti, mulai dari WSSV hingga teranyar AHPND. Menurut guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Brawijaya (UB), Prof Muhammad Musa, penyakit udang yang terus mengintai salah satunya karena kondisi lingkungan, terutama perairan, yang terus memburuk karena pencemaran. Hal tersebut diperparah dengan deforestasi mangrove sebagai penyangga alami daya dukung lingkungan. 

Selain itu, Musa juga menilai bahwa bertahannya penyakit pada budidaya udang disebabkan oleh penerapan sistem dan teknologi yang kurang tepat. “Sehingga solusinya yang jelas adalah perbaikan teknologi, harus kita sempurnakan. Juga perlu ada rehabilitasi dari daya dukung penyangganya, yakni mangrove.” ujarnya dalam diskusi online bertajuk  Sustainable Aquaculture Technology yang diadakan Forum Informasi Budidaya (FIB) dan PT. Juara Biolife Solution beberapa waktu lalu.

Menyikapi permasalahan tersebut, Musa bersama kedua rekannya yakni Dekan FPIK UB Prof Maftuch dan alumni UB sekaligus praktisi budidaya udang Agus Saiful Huda mengembangkan konsep budidaya udang yang intensif namun tetap ramah lingkungan, yang ia namakan Ecogreen Aquaculture.

Jika dilihat dari paparannya, ecogreen aquaculture merupakan kombinasi antara silvofishery (budidaya ikan di lahan mangrove) dengan sistem budidaya udang yang intensif. Di mana umumnya budidaya ikan atau udang pada silvofishery dilakukan secara tradisional. Sementara untuk sistem silvofishery-nya sendiri, ia menerapkan sistem komplangan. Yakni memisahkan area budidaya udang dengan mangrove. 

Menurut Musa, dengan sistem ecogreen aquaculture kepadatan udang bisa mencapai 160 – 180 ekor/m2. Sementara untuk sistem budidayanya sendiri, ia menggunakan sistem semiflok karena menurutnya paling cocok diterapkan pada tambak yang terbuka dengan karakter iklim Indonesia yang tropis.

“Hasil uji coba selama empat tahun atau sepuluh siklus, tambak dengan luas 1.600 m2 dalam setahun atau dua setengah siklus mampu menghasilkan rata-rata 8,5 ton atau 53 ton per hektar per tahun,” ujarnya. 

Mangrove sebagai treatment alami kualitas air

Sistem budidaya udang ecogreen aquaculture ala Prof Musa tersebut menjadikan lahan mangrove sebagai penampungan inlet dan outlet air tambak. Dengan sistem seperti itu, area mangrove berperan dalam meningkatkan kualitas air yang akan digunakan dan kualitas air bekas budidaya yang akan dilepas kembali ke perairan. Yaitu melalui penurunan nilai TOM (total organic matter), nitrat, dan fosfat. 

“Hal ini mengindikasikan mangrove adalah perangkap sedimen yang paling efektif di situ,” ungkap Musa. 

Selain itu, mangrove dapat menurunkan nilai nitrat sekitar 0,7 mg/L pada area inlet dan 0,4 mg/L pada area outlet atau hampir setengah dari konsentrasi semula. Sementara untuk parameter fosfat, area mangrove dapat mereduksinya lebih besar lagi. 

Grafik penurunan nilai nitrat dan fosfat pada area inlet dan outlet yang ditumbuhi mangrove

Grafik penurunan nilai nitrat dan fosfat pada area inlet dan outlet yang ditumbuhi mangrove

Pendekatan kawasan

Sistem ecogreen aquaculture sangat potensial dikembangkan karena mampu menyeimbangkan aspek produksi dan konservasi. Namun demikian, aplikasinya di lapangan tidak mudah karena petambak harus mengorbankan sebagian lahan produksinya untuk ditanami mangrove. 

Namun demikian, penerapan sistem ini bisa  sangat mungkin dilakukan dengan pendekatan kawasan. Artinya petambak tidak harus memelihara atau menanam mangrove seluruhnya di area produksinya sendiri, tetapi bisa bersama-sama dengan petambak lain di area tersebut. Hal ini juga tentu perlu mendapat dukungan dari pemerintah yang berwenang dalam pengelolaan wilayah. 

“Saran perlu dicari perbandingan luasan unit tambak dengan luasan mangrovenya,” punkas Musa.