Perkembangan populasi manusia yang terus meningkat berimplikasi pada meningkatnya permintaan sumber pangan berbasis protein. Akuakultur sebagai salah satu sektor penyedia protein memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan protein dari hasil perikanan. Namun demikian, potensi ini berbanding lurus dengan efek sektor akuakultur dalam menghasilkan emisi karbon, meski nilainya tidak sebesar sektor lain.

Menurut hasil review terbaru Marta Castilla-Gavilán dkk., yang dipublikasikan dalam jurnal Marine Science and Engineering (JMSE), pada tahun 2017 sektor akuakultur secara global menyumbang emisi sebesar 245 MtCO2eq (147 MtCO2eq untuk marikultur). Nilai tersebut hanya berkontribusi 0,49% saja dari total emisi karbon yang dihasilkan akibat aktivitas manusia (anthropogenic), yang mencapai 53.5 GtCO2eq. Bahkan emisi akuakultur lebih rendah dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan sektor peternakan di daratan. Namun meski emisi karbon akuakultur relatif rendah dibanding yang lain, namun diproyeksikan angkanya naik menjadi 383 MtCO2eq pada 2030. 

Sumber emisi sektor akuakultur

Di industri akuakultur, emisi karbon dihasilkan dari berbagai aspek, terutama terkait dengan produksi pakan, penggunaan energi, dan proses biogeokimia yang terjadi dalam media budidaya.

Sebagai komponen terbesar yang digunakan dalam industri akuakultur, pembuatan pakan melibatkan banyak aktivitas, termasuk pengadaan bahan bakunya, sehingga jejak karbonnya cukup tinggi. Pengadaan tepung ikan saja, sebagai bahan baku protein pakan, menyumbang 57% persen emisi di sektor tersebut. Sehingga belakangan ini, para peneliti dan industri telah mulai mencari alternatif bahan baku tepung ikan. 

Selain pakan, energi juga menyumbang emisi yang besar di sektor akuakultur, apalagi jika energi yang digunakan masih konvensional berbasis bahan bakar fosil. Namun demikian, intensitas ini dipengaruhi banyak faktor, terutama jenis spesies dan sistem budidayanya. Energi di sektor akuakultur umumnya digunakan untuk pemanenan, transportasi, pengumpulan benih, menjaga kualitas air, menjalankan sistem aerasi, menyediakan pemanasan atau pendinginan, pemompaan, dan penerangan.

Marta Castilla-Gavilán dkk. juga mendapati proses biogeokimia selama proses budidaya menjadi salah satu penghasil emisi. Proses respirasi semua organisme dan bahan organik yang ada di dalam kolam budidaya, bisa menghasilkan CO2. Para peneliti juga mencatat, sedimen atau lumpur pada kolam tanah (>40% sistem akuakultur di dunia), menjadi tempat bagi bakteri metanogenik menghasilkan gas metana/CH4 (salah satu emisi) dari karbon organik yang terlalut. 

“Selain itu, bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi memetabolisme amonia dan nitrat dari air limbah dan melepaskan N2O melalui nitrifikasi aerobik dan denitrifikasi anaerobik,” tulis para peneliti pada jurnal tersebut. 

Baca juga: Akankah masa depan seafood tak lagi dari laut?

Mereka juga mencatat bahwa proses-proses biogeokimia dipengaruhi juga oleh parameter kualitas air seperti suhu dan pH. Misalnya, peningkatan suhu dapat meningkatkan proses metanogesis yang menghasilkan CH4. Namun bisa prosesnya bisa terhambat jika kelarutan oksigennya cukup tinggi. Sementara itu, pH sedimen berperan besar dalam produksi N2O. 

Strategi budidaya rendah emisi

Menanggapi isu tersebut, peneliti mereview berbagai literatur dan menghasilkan kesimpulan mengenai beberapa strategi untuk sektor akuakultur dalam memitigasi jejak karbonnya.

  • Memilih spesies dengan level tofik rendah

Menghadapi isu kelangkaan bahan baku tepung dan minyak ikan untuk pakan dan belum ditemukannya pengganti yang sesempurna keduanya, membudidayakan spesies yang tidak memerlukan pakan atau yang berada pada level trofik paling rendah menjadi pilihan strategi mitigasi jejak karbon yang pertama. Contoh spesies pilihan yang bisa dibudidayakan adalah rumput laut dan kekerangan. Peneliti menemukan, keduanya merupakan penghasil emisi karbon paling rendah diantara semua komoditas dalam pangan biru (blue food). Keduanya juga efisien dalam penggunaan lahan, energi, dan penggunaan air tawar. Tak hanya rendah emisi, keduanya bahkan berperan penting dalam proses penyerapan karbon. 

Bagaimana dengan budidaya spesies karnivor atau dengan level trofik yang lebih tinggi seperti udang? Peneliti mengungkap bahwa udang memang menghasilkan emisi yang relatif tinggi, seperti halnya salmon. Namun emisinya masih lebih rendah dibanding sektor penangkapan. Di sisi lain, para peneliti juga merekomendasikan optimalisasi budidaya udang. Jika budidaya udang ingin lebih ramah iklim dan menjadi sumber pangan biru yang berkelanjutan, maka sebaiknya tidak membangun tambak di atas bekas kawasan mangrove dan dengan menggunakan pakan yang sebagian besarnya bahan baku berbasis nabati. 

  • Menjaga kawasan penyerap karbon

Menurut hasil review Marta Castilla-Gavilán dkk., kawasan mangrove dan ekosistem lahan basah lainnya, berkontribusi sebesar 20-30% terhadap penyerapan karbon. Sehingga, mengonversi lahan tersebut menjadi kolam-kolam budidaya sangat tidak direkomendasikan, karena akan melepaskan karbon yang besar yang telah disimpan dalam ekosistem tersebut. Sebagai contoh, sebuah literatur menujukkan bahwa budidaya udang tradisional di Delta Mahakam, yang dilakukan di atas lahan bekas mangrove, menghasilkan emisi yang fantastis sebesar 1.925 Mg CO2eq/ha. 

“Lahan mangrove (bakau), lamun, muara, dan rawa asin tidak hanya menyimpan karbon tetapi juga menyediakan habitat penting bagi spesies air, melindungi garis pantai dari erosi, dan mendukung siklus nutrisi. Dengan memulihkan dan melestarikan ekosistem pesisir ini, dapat membantu meningkatkan ketahanan kegiatan akuakultur terhadap tekanan lingkungan dan berkontribusi pada upaya mitigasi perubahan iklim yang lebih luas,” tulis para peneliti.

Baca juga: Tepung maggot untuk pakan: Potensial namun penuh tantangan

  • Polikultur

Membudidayakan lebih dari satu spesies dalam satu media budidaya (polikultur) juga jadi strategi yang dikemukan para peneliti. Sebabnya karena interaksi antar spesies multi-trofik yang terjadi dalam sistem polikultur memungkinkan terjadinya bioremediasi secara alami, seperti perbaikan siklus nutrien, yang tidak hanya bagus untuk menjaga kualitas air budidaya tapi juga mengurangi dampak terhadap ekosistem sekitar. 

“Siklus nutrisi ini mengurangi kebutuhan akan input eksternal, meminimalkan limbah dan kebutuhan untuk pengelolaan limbah, serta meningkatkan efisiensi sistem secara keseluruhan.” tulis Marta Castilla-Gavilán dkk.

  • Efisiensi Pakan

Manajemen pakan yang baik dan efisien tidak hanya menguntungkan dari aspek ekonomi bagi para pembudidaya, tetapi juga bisa menekan emisi karbon di sektor ini. Proses pembuatan pakan dari pengadaan bahan baku, proses produksi, hingga pengiriman sampai ke kolam-kolam budidaya turut menghasilkan jejak karbon. 

Para peneliti menyodorkan beberapa alternatif untuk efisiensi pakan di sektor budidaya, baik yang dapat dilakukan oleh produsen pakan maupun oleh pembudidaya itu sendiri. Marta Castilla-Gavilán dkk. menyebut penggunaan alternatif bahan bahan baku sumber protein, seperti protein nabati atau serangga, dapat membantu mengurangi jejak karbon karena produksi keduanya membutuhkan relatif sedikit energi dibanding tepung ikan hasil penangkapan. 

Sementara bagi para pembudidaya, efisiensi pakan dapat dilakukan dengan menerapkan manajemen pemberian pakan yang baik, misalnya dengan penggunaan imbuhan untuk meningkatkan kecernaan pakan, maupun dengan menerapkan teknologi pemberi pakan otomatis dan presisi. 

“Hal itu (penggunaan autofeeder) tidak hanya mengurangi kelebihan pakan dan limbah nutrisi, tetapi juga memastikan ikan mendapatkan nutrisi yang optimal pada waktu yang tepat, sehingga mendukung pertumbuhan yang lebih sehat dan cepat.”