Belatung yang berasal dari lalat BSF (black soldier fly), atau umum dikenal dengan maggot, belakangan sedang digadang-gadang akan menjadi alternatif baru bahan baku sumber protein untuk pakan ternak, termasuk ikan dan udang. Tepung maggot diprediksi akan menjadi pengganti tepung ikan yang selama ini mejadi bahan baku utama protein dalam pakan.

“Saya pikir ini (maggot) bahan baku masa depan ya. Kalau kita melihat, tepung dan minyak ikan itu kan enggak akan sustainable,” ujar Head of Nutrition and Feed Techcnology PT. Suri Tani Pemuka, Erwin Suwendi, dalam seminar bertema Menggarap potensi bisnis maggot untuk pakan secara berkelanjutan, yang digelar Agrina sebagai rangkaian acara ILDEX 2023 di ICE BSD beberapa waktu lalu.

Menurut Erwin, pengembangan bahan baku protein dari maggot cukup menarik karena pemanfaatannya relatif tidak berkompetisi dengan kebutuhan manusia. Di samping itu, maggot juga memiliki profil nutrisi yang cukup baik, terutama kandungan protein dan lemaknya. Protein pada maggot bisa bervariasi tergantung bagaimana ia diproduksi, jenis substrat yang digunakan, lama pemeliharaan, dan proses pemanenannya. Namun menurut Erwin, kandungan protein maggot umumnya sekitar 45 persen.

Sementara kandungan lemaknya sendiri cukup unik. Erwin mengatakan bahwa “Kandungan minyaknya itu (maggot) banyak tersusun oleh karbon C12, atau asam laurat. Asam laurat itu bagus sebagai imunostimulan, atau dia mempunyai antimikrobial.”

Tantangan aplikasi maggot untuk pakan 

Meski maggot memiliki protein yang relatif tinggi, tapi kualitasnya, terutama profil asam aminonya, memang tidak sebagus  tepung ikan. Terutama untuk jenis asam amino lysin dan metionin. Pada kandungan protein 45 persen, kandungan lysin dan metionin pada maggot masing-masing sekitar 2,7 dan 0,8. 

“Kalau kita bandingkan dengan tepung ikan lokal, protein 60 misalnya. Itu lysinnya sudah  sekitar 4,5. Terus metionin mungkin sudah dua kalinya, 1,6. Sehingga kalau untuk menggantikan tepung ikan, kita gak bisa cuma maggot doang. Harus kombinasi dengan bahan baku yang lain,” ujarnya.

Baca juga: Bagaimana tepung spirulina dapat meningkatkan performa udang vaname

Selain itu, kandungan protein maggot juga kerap dinilai terlalu tinggi (over estimate). Hal ini disebabkan adanya kandungan kitin pada maggot. Erwin menyebut bahwa kitin merupakan non-protein nitrogen (NPN) yang bisa memberikan kontribusi nitrogen di dalam bahan baku, yang bisa teranalisa sebagai protein. Kandungan kitin pada maggot diestimasikan sekitar 5 – 6 persen. 

“Nah itu kadang-kadang analisa protein di insect itu berbeda dengan dengan di ikan maupun di poultry, which is mereka (ikan dan poultry) gak punya kitin,” tambahnya.

Mengenai kitin itu sendiri, keberadaannya pada maggot bisa menjadi kelebihan sekaligus kekurangan. Menjadi kelebihan karena jika dalam jumlah yang tepat, kitin bisa memiliki efek imonustimulan dan bisa menjadi sumber prebiotik yang bisa merangsang pertumbuhan bakteri baik. Namun kelemahannya, kitin sangat sulit dicerna oleh hewan, termasuk ikan dan udang. Sehingga jika digunakan dalam jumlah banyak, ia bisa menghambat pencernaan dan pertumbuhan.

Sehingga pada saat ini, maggot masih digunakan sebagai bahan pelengkap protein untuk mengurangi penggunaan tepung ikan. Persentase kontribusinya dalam formulasi pakan bisa berbeda-beda tergantung spesiesnya. Namun pada formulasi pakan ikan dan udang, sumbangsih optimumnya di bawah 20 persen saja. “Ini dari sisi nutrisi. Kalau dari sisi komersial, ya harus ditimbang-timbang lagi.”

Seminar maggot di Ildex 2023

Erwin Suwendi (kiri) dan Budi Tanaka (tengah) saat menjadi pembicara di seminar Menggarap potensi bisnis maggot untuk pakan secara berkelanjutan, di ILDEX 2023 di ICE BSD. ©Asep Bulkini

Strategi industrialisasi maggot

Selain aspek kandungan nutrisinya, penggunaan tepung maggot sebagai bahan baku protein bagi pakan ternak juga terkendala oleh aspek harga yang masih tinggi. Hal ini antara lain karena produksi maggot yang belum bisa mencapai skala industri atau skala keekonomiannya. Sehingga dengan alasan efisiensi biaya produksi, produsen pakan pun belum sepenuhnya sreg memasukkan tepung maggot dalam formulasi pakan komersil mereka. 

Namun hal itu seperti perdebatan “mana yang lebih dulu antara ayam dan telur?”. Industrialisasi atau peningkatan produksi maggot agar menemukan harga keenomiannya juga sangat ditentukan oleh tingkat permintaan maggot itu sendiri. Terutama dari feedmill sebagai industri yang paling diharapkan bisa menyerap produk maggot. 

Sehingga yang cukup masuk akal untuk saat ini adalah memanfaatkan tepung maggot sebagai bahan baku untuk pakan berprotein tinggi, seperti pakan ikan-ikan laut. Atau bisa juga untuk makanan hewan-hewan peliharaan atau petfood. Menurut Erwin, segmen petfood memiliki potensi yang bagus untuk memanfaatkan maggot karena para pemilik hewan peliharaan cenderung melek pada isu-isu sustainability.

“Makanya kenapa saya dorong supaya maggot ini bisa dipakai, agar harganya bisa turun. Tapi kalau kita enggak mulai pakai, harga pasti akan tetap tinggi.” analisanya.

Substrat menentukan kualitas maggot

Di sisi lain, industrialisasi produksi maggot juga tidak selesai hanya dengan meningkatkan aspek supply-demand saja. Tetapi jika ditarik lagi ke hulunya, industrialisasi untuk menghasilkan maggot dalam jumlah yang sangat besar, membutuhkan substrat, yang menjadi sumber makanan maggot, juga dalam jumlah yang besar.

Baca juga: Dosis mineral yang optimal dalam budidaya udang vaname di air tawar

Menurut Managing Director PT. Bio Cycle Indo (Biocycle), Budi Tanaka, secara alami maggot bisa memakan substrat dari segala jenis sampah organik. Tetapi untuk produksi dalam skala besar yang diperuntukkan bagi keperluan industri, seperti feedmill, sumber makanan maggot tidak bisa asal menggunakan substrat. Ia harus menggunakan substrat yang sesuai dengan standar prosedurnya. 

“Banyak sekali teman-teman berpikir kalau maggot ini kuat, bisa hidup di sampah, terus dia bisa gampang kita budidayakan. Ya, mungkin dalam skala kecil gampang farming-nya. Tapi ketika kita berbicara maggot dalam skala industri, ia adalah makhluk hidup (yang dibudidayakan) yang sama seperti ayam, sapi, ikan dan udang. Semua punya SOP-nya,” tegas Budi dalam seminar yang sama.

Menurutnya, pengadaan substrat yang baik untuk pakan maggot sudah menjadi tantangan tersendiri. Apalagi jika kebutuhannya dalam jumlah banyak. Jika ingin memproduksi maggot sebanyak 1.000 ton misalnya, maka paling tidak memerlukan substrat sebanyak 8 – 10 ribu ton yang berasal dari sisa-sisa makanan (food-waste). Jika substratnya bungkil kelapa sawit, seperti yang digunakan oleh Biocycle, maka kebutuhannya bisa mencapai 25 ribu ton untuk menghasilkan seribu ton maggot. “Dari mana kita bisa mendapatkan substrat ini tanpa bersaing dengan industri lain?” ujarnya. 

Pentingnya jenis dan kualitas substrat juga diamini oleh Erwin. Sebab selain menentukan kualitas maggot yang dihasilkan, substrat juga memengaruhi komposisi profil nutrisi maggot. Menurutnya, substrat untuk maggot sebaiknya kaya akan kandungan protein dan karbohidrat. Protein pada substrat dapat digunakan maggot untuk perkembangan jaringannya, meskipun profil asam amino pada maggot sendiri tidak akan berubah karena perbedaan jenis substrat.

Sementara untuk karbohidrat, ia akan dikonversi secara efisien oleh maggot menjadi lemak. Lemak itulah yang akan berperan dalam menyimpan antimikroba. Berbeda dengan protein, kandungan lemak pada maggot dapat dipengaruhi oleh substrat yang dimakan. Untuk menginginkan maggot yang mengandung lemak EPA dan DHA misalnya, akan memungkinkan jika substratnya berasal dari alga atau hasil samping produk perikanan, alih-alih dari buah-buahan dan sayuran. 

Tetapi Erwin juga menggarisbawahi bahwa substrat dari buah-buahan tetap bisa digunakan karena kaya akan karbohidarat. Sementara sayuran biasanya mengandung fiber yang sulit dicerna dan didekomposisi oleh BSF selain kembali mejadi fiber. 

Kesimpulannya, maggot memiliki potensi menjadi alternatif bahan baku sumber protein pada pakan, sebagai pelengkap atau pengganti tepung ikan. Namun demikian, aplikasinya di industri pakan masih terkendala berbagai tantangan yang perlu disiasati oleh semua pemangku kepentingan, baik tantangan dari aspek nutrisi maupun harganya yang belum ekonomis.
***

Penulis: Asep Bulkini