Keindahan mutiara telah menjadi simbol keanggunan alam yang memesona, bahkan telah menarik perhatian manusia selama berabad-abad. Mutiara merupakan satu-satunya permata yang dihasilkan dari makhluk hidup. Berbeda dengan beberapa batu permata lainnya yang dihasilkan dari proses tambang. Namun seiring dengan kepopuleran mutiara, muncul kebutuhan untuk menemukan metode budidaya tiram penghasil mutiara agar bisa diproduksi secara massal. 

Penemuan sang raja mutiara

Pada tahun 1893, Kokichi Mikimoto, seorang ahli biologi laut dari Jepang menemukan teknik pertama untuk membudidayakan tiram dan menghasilkan mutiara secara buatan di Pulau Ojima. Metode tersebut dilakukan dengan cara memasukkan nukleus buatan (sebagai inti mutiara) ke dalam tiram dan mengamati dengan seksama proses pembentukan mutiara. Pada awal percobaannya, proses tersebut tidak selalu menghasilkan mutiara bulat, bahkan tidak jarang memiliki cacat. Namun, dengan tekad dan dedikasinya terhadap inovasi, Mikimoto terus melakukan eksperimen dan penelitian yang akhirnya membawanya pada penemuan penting, dengan menghasilkan mutiara utuh pertamanya pada tahun 1905. Semenjak itu, nama Miikimoto selalu dikaitkan dengan “Raja Mutiara”.

Jepang memulai produksi mutiara pertamanya menggunakan tiram akoya atau Pinctada fucata martensii. Spesies ini berbeda dengan jenis tiram mutiara yang umum dibudidayakan di Indonesia, yaitu Pinctada maxima.  Namun meski spesiesnya berbeda, prinsip budidaya hingga teknik insersi atau pengintiannya masih sama. 

Di alam, mutiara terbentuk akibat adanya iritasi yang masuk ke dalam mantel tiram mutiara (Strack 2001). Fenomena adanya iritasi ini sering juga ditafsirkan dengan masuknya pasir atau benda padat ke dalam mantel yang mengandung epithelium pada permukaanya. Bagian epithelium mantel ini bertugas mengeluarkan atau mendeposisikan nacre, sampai akhirnya benda padat ini akan terbungkus nacre hingga menjadi mutiara. Nacre merupakan zat yang menghasilkan kristal kalsium karbonat dalam bentuk kristal argonit untuk menghasilkan mutiara. Nacre juga berfungsi sebagai pelindung tubuh, seperti memperbaiki lubang-lubang pada cangkang.

Baca juga: Rumput laut jadi andalan blue food

Prosesn insersi kerang mutiara

Proses insersi mantel donor saibo dan nukleus. ©Oki Setiawan

Prinsip dasar teori tersebut menyatakan bahwa lapisan mantel dan benda padat yang memasuki tiram dapat memicu terjadinya biomineralisasi, yaitu proses pembentukan kantung atau lapisan mutiara.  Dari cara kerja tersebut, lahirlah sebuah teknik insersi, yaitu memasukkan potongan mantel donor yang dikenal sebagai saibo dan nukleus sebagai inti yang akan dilapisi menjadi mutiara ke dalam saluran gonad tiram mutiara. 

Setelah proses insersi, tiram memerlukan waktu 18 – 24 bulan untuk menghasilkan  butiran mutiara. Proses pembentukan mutiara ini terbilang cukup lama, apalagi jika ditambah dengan waktu peliharaan tiram sebelum proses insersi. Tiram mutiara yang siap untuk diinsersi minimal berukuran 10 cm. perlu waktu sekitar 2 tahun untuk sampai ukuran tersebut dengan estimasi pertumbuhan minimal sekitar 0,5 cm perbulan. Namun demikian, budidaya tiram terbilang sangat murah karena tidak memerlukan biaya pakan pada fase pendederan.

Potensi usaha tiram mutiara

Tiram mutiara termasuk spesies filter feeder yang memakan partikel-partikel organik di laut, seperti plankton dan detritus, dengan cara menyaring air menggunakan insang. Proses ini secara alami memberikan manfaat dalam menjaga lingkungan dan keseimbangan ekosistem laut, misalnya dengan cara mengendalikan jumlah plankton dan menjaga kualitas air secara alami. 

Pada aspek budidayanya, kegiatan pendederan dan pembesaran dari ukuran tiram kecil (spat) 1 – 2 cm sampai menjadi tiram ukuran 6 – 9 cm dan siap insersi (10 cm atau lebih) menjadi salah satu segmen usaha yang potensial bagi masyarakat pesisir, yang bisa menjadi sumber penghasilan tambahan. Sebab segmentasi usaha pendederan tiram cukup mudah dan murah dibandingkan segmen pembenihan di hulu atau usaha penghasil mutiara di bagian hilir. Pembudidaya tiram biasanya memakai metode long-line, dengan cara menggantung tiram menggunakan pocket (wadah tiram berbentuk kantung) pada kedalaman 2-3 meter. 

Tiram mutiara

Budidaya tiram mutiara relatif mudah dan murah karena tidak memerlukan pakan. ©Oki Setiawan

Hasil dari pendederan biasanya dijual secara kolektif oleh para pembudidaya kepada perusahaan swasta penghasil mutiara. Sejauh ini, terdapat lebih dari 65 perusahaan swasta penghasil mutiara di Indonesia, baik perusahaan lokal maupun asing atau PMA (Alpiani 2016). Harga tiram diukur berdasarkan panjang engsel cangkang, yaitu sekitar Rp1.500/cm. Misalnya, jika satu ekor tiram memiliki panjang 10 cm, maka harganya menjadi Rp15.000. 

Baca juga: Mengoptimalkan ekonomi biru sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru 

Menurut data ITC Trademap 2022, Indonesia merupakan negara eksportir mutiara terbesar keempat di dunia setelah Hongkong, Jepang dan China, dengan nilai penjualan mencapai USD55 juta atau setara Rp825 miliar. Negara tujuan ekspor utama mutiara Indonesia adalah Jepang (47,6%), Hongkong (31,6%), dan Australia (18,9%). Nilai permintaan pasar mutiara global cenderung meningkat dalam 3 tahun terakhir. Pada 2020 nilainya sebesar USD483 juta, 2021 sebesar USD862 juta dan 2022 sebesar USD1 miliar. 

Dari potensi pasar global tersebut, Indonesia baru mampu memenuhi sekitar 5-8 persennya saja. Artinya potensi pasar mutiara di tingkat global masih terbuka lebar. Untuk mengoptimalkan potensi eskpor tersebut, diperlukan sebuah kebijakan yang mampu menggenjot produksi mutiara di sentra-sentra produksi.  Menurut Satu Data KKP (2022), terdapat beberapa provinsi yang menjadi sentra produksi mutiara, antara lain Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Lampung dan Maluku. 

Kawasan budidaya tiram mutiara milik Balai Lombok

Area budidaya tiram mutiara milik Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok, Nusa Tenggara Barat. ©Oki Setiawan

Salah satu dampak signifikan dari penemuan Kokichi Mikimoto adalah transformasi industri perhiasan mutiara. Melalui budidaya, mutiara bisa diproduksi dalam jumlah yang lebih besar, dapat diprediksi, dan tanpa bergantung sepenuhnya pada pasokan alam yang terbatas. Penemuan tersebut tidak hanya menciptakan peluang ekonomi bagi para produsen, tetapi juga memberikan kesempatan bagi banyak orang di seluruh dunia untuk menikmati keindahan dan keanggunan mutiara, hasil produksi sumber daya alam tersebut.

Referensi

***
Penulis: Oki Setiawan
Editor: Asep Bulkini