Pertumbuhan populasi penduduk dunia diprediksi mencapai 10 miliar pada tahun 2050. Pertumbuhan ini akan meningkatkan kebutuhan pangan global sebesar 56%. Untuk memenuhinya, diperlukan lahan pertanian baru sekitar dua kali lipat daratan India. Namun di Indonesia sendiri, lahan pertanian justru cenderung menurun setiap tahunnya, dengan hasil panen yang stagnan. Oleh sebab itu, pangan biru (blue food) digadang-gadang dapat menjadi solusi untuk mengatasi ketahanan pangan dunia di masa depan.

Blue food merupakan kelompok bahan pangan yang berasal dari sumber daya air seperti ikan, rumput laut, dan organisme akuatik lainnya. Baik dari hasil penangkapan maupun budidaya atau akuakultur. Konsep ini muncul sebagai bagian dari gerakan untuk mempromosikan sumber daya pangan yang berkelanjutan. Blue food mendapat perhatian serius, karena selain potensinya sebagai sumber pangan bernutrisi tinggi, juga relatif lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan beberapa sumber pangan darat.

Melihat potensi blue food yang besar itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyelenggarakan Blue Food Forum bertajuk Strengthening Collaboration on Blue Food Program, di Lombok (16/11). Acara ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan seperti akademisi, pengusaha, dan pejabat pemerintah di bidang kelautan dan perikanan untuk memaparkan peranannya dalam perikanan berkelanjutan.

Industrialisasi dan hilirisasi rumput laut

Menurut Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves, M. Firman Hidayat, salah satu komoditas utama dalam pengembangan blue food adalah rumput laut. Komoditas ini mengandung nutrisi yang tinggi dan mudah dibudidayakan. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari rumput laut bagi kesehatan manusia adalah mengurangi obesitas dan penyakit kardiovaskular, membantu mengontrol gula darah, serta kaya akan vitamin, mineral, dan serat.

Selain itu, dari aspek budidayanya, rumput laut dapat dijadikan strategi mitigasi perubahan iklim. Jika dibandingkan dengan komoditas darat, tanaman ini membutuhkan lahan dan mengeluarkan emisi karbon paling sedikit, namun menghasilkan produktivitas paling tinggi. Sebaliknya, secara alami rumput laut justur mampu menyerap karbon yang lebih dari pada emisi yang dihasilkannya. Menurut Fimran, keunggulan itu memicu permintaan rumput laut hingga 12 kali lipat di masa mendatang. 

Sementara dari aspek ekonominya, industri hulu-hilir rumput laut berpotensi besar meningkatkan kesejahteraan para pembudidaya. Selama ini, sebanyak 63 ribu rumah tangga yang bergerak di budidaya rumput laut, sebagian besar hanya berpendidikan sekolah dasar. Dengan hanya sekitar 6%-nya saja dari jumlah tersebut yang memiliki akses terhadap perbankan. “Jika kita bisa memperbaiki masalah rumput laut, maka seharusnya kita bisa memperbaiki kesejahteraan para pembudidaya kita,” ucap M. Firman.

Baca juga: Mengangkat nilai tambah rumput laut ala Maria Gigih Setiarti

Penggalakan implementasi blue food terkait dengan visi Indonesia emas 2045, yaitu mewujudkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang lebih baik dan merata dengan kualitas manusia yang lebih tinggi. Namun, untuk mencapai target tersebut Indonesia harus memiliki pertumbuhan ekonomi 6-7%, dimana sektor maritim dapat mengambil peranan besar dalam menumbuhkan PDB nasional.

“Salah satu permasalahan utama yang perlu diperbaiki di sektor maritim adalah industrialisasi pengolahan perikanan karena untuk share-nya masih sangat kecil sekitar 4,13% dibandingkan dengan jenis industri perikanan lainnya. Padahal potensi hilirisasi di sektor kelautan perikanan juga tidak kalah dengan potensi hilirisasi di sektor pertambangan,” terang Firman.

Potensi hilirisasi tersebut termasuk untuk komoditas rumput laut. Rumput laut tidak hanya bermanfaat untuk bahan baku industri pangan saja, tapi juga non-pangan seperti bioplastic, biostimulan, dan farmasi. Tren permintaannya pun cenderung terus naik. 

Menurut Firman, “Market dari produk hilirisasi rumput laut itu sangat besar. Misalkan biostimulan, itu bisa USD1800 miliar potensi marketnya. Ada juga bioplastic USD733 miliar. Ini report dari Standard Chartered Bank. Banyak sekali potensi yang bisa dikejar dari rumput laut. Bioplastic dan Biostimulan salah satunya, termasuk produk-produk kesehatan lainnya.”

Namun, lanjut Firman, kunci pertama dalam hilirisasi rumput laut adalah meingkatkan produktivitas dengan memperluas lahan budidaya. Sehingga dapat menghasilkan jumlah bahan baku yang besar untuk keperluan berbagai industri. 

Peningkatan produktivitas ini diharapkan bisa menurunkan harga rumput laut sebagai bahan baku sehingga bisa masuk ke berbagai jenis industri. Dengan harga saat ini sekitar USD1.000-2.000 per ton, rumput laut cukup ekonomis bagi industri farmasi, kesehatan, food additive, dan biostimulan. Sementara untuk industri lain seperti produk mie pengganti gandum, bioplastic, dan biofuel, harganya harus jauh lebih rendah lagi. 

Kemenko Marves memberikan sebuah pemodelan, jika ingin menggantikan mie gandum, plastik, dan BBM, maka harga rumput laut harus diturunkan hingga USD100-300 per ton. Dengan volume pasokan yang lebih besar, penurunan harga tersebut dikompensasi dengan potensi market yang jauh lebih besar lagi.

Blue Food Bappenas

M. Firman Hidayat saat presentasi simulasi peningkatan skala ekonomi budidaya rumput laut agar bisa masuk ke berbagai industri. © YouTube/Bappenas RI

Harga komoditas rumput laut kurang ekonomis bagi industri karena selama ini budidayanya dilakukan secara tradisional dan dalam skala kecil, sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja dan kurang efisien. Oleh karena itu, diperlukan mekanisasi dan penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas. “Jika kita bisa menaikan produktivitasnya, maka otomatis biaya akan turun.” katanya.

Baca juga: Garam rumput laut rendah natrium, solusi mengatasi hipertensi di Indonesia

Menyoal kemungkinan industrialisasi ini, Firman menyebut bahwa di Lombok sudah ada perusahaan yang akan melakukan pilot project budidaya rumput laut skala besar, dari pembibitan hingga pemanenan. Output project ini diperkirakan akan meningkatkan produktivitas 9-10 kali lupat.

Tantangan pengembangan blue food berbasis rumput laut

Terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi jika ingin mengembangkan rumput laut. Salah satunya adalah kebutuhan peningkatan lahan budidaya yang signifikan. Menteri Kemenko Marves, kata Firman, menargetkan lahan budidaya dari saat ini sekitar 102 ribu hektar menjadi 1 juta hektar. Peningkatan ini perlu didukung dengan kebijakan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). 

Firman juga menyebut perlu adanya zonasi yang jelas antara pembudidaya tradisional dan milik perusahaan (corporate farming). Area budidaya perusahaan sebaikanya berada di lepas pantai. Sedangkan pembudiaya skala kecil bisa di perairan dekat pantai. Selain itu, ketersediaan benih unggul juga akan menjadi tantangan sehingga perlu melibatkan sektor swasta dan pemerintah daerah.

Sementara itu, tantangan pengembangan rumput laut juga disampaikan oleh pembicara lain. Perwakilan dari UNIDO, Sudari Prawiro, menyebut pemerintah perlu membuat standardisasi produk hasil perairan agar mempermudah produsen dalam mengacu standar olahan produk yang sesuai. Tidak adanya kategorisasi antara seaweed dan seafood secara umumdalam sertifikasi, membatasi produsen untuk mengekspor ke pasar luar negeri, khususnya Eropa. Selain itu, isu kontaminasi bakteri dan kondisi higienitas saat proses produksi juga kerap menjadi kendala memasuki pasar ekspor.

Perwakilan dari FAO, Ageng S. Herianto, mengatakan bahwa produksi akuakultur secara umum menjadi pilar utama dalam blue transformation. Menurutnya, produksi budidaya yang berkelanjutan harus meningkat 35% untuk mengimbangi kenaikan konsumsi 15%. Di sektor rumput laut sendiri, ia menyarankan kepada lembaga riset seperti BRIN untuk melakukan riset mengenai benih dan strain rumput laut yang tahan terhadap perubahan iklim dan penyakit, serta tinggi produktivitas dan penyerapan karbon. 

Dalam aspek yang lebih luas, Ageng juga menekankan pentingnya perencanaan sistem blue food yang harus dimulai dari menghitung kebutuhan konsumsinya lebih dahulu, kemudian baru merancang produksinya agar mengurangi sampah makanan dan memudahkan ketertelusuran rantai pangan. Sehingga pilar pangan akuatik dapat terwujud jika menyeimbangkan inovasi, kebijakan, dan kemitraan.

*Foto utama: © KKP

***
Penulis: Nur Aziezah Hapsari
Editor: Asep Bulkini