Ikan bandeng, atau dikenal dengan milkfish di pasar internasional, memiliki ruang segmentasi yang luas bagi para pelaku usaha di seluruh rantai nilai, mulai dari pembenihan sampai hilirisasinya.  Di tingkat pembudidaya, bandeng relatif sangat mudah dipelihara karena tahan terhadap serangan penyakit, bahkan dapat dibudidayakan tanpa pemberian pakan. 

Sementara di level konsumen, ikan ini memiliki nutrisi yang tinggi namun harganya cukup terjangkau. Dalam 100 gram daging mentah, kandungan protein bandeng hampir setara dengan “ikan mahal” salmon, yakni sekitar 20 gram. Sehingga tidak mengherankan jika bandeng cukup laku di pasar lokal dan pasar internasional. 

Bahkan tidak hanya untuk konsumsi saja, ikan bandeng ukuran kecil juga memiliki segmen pasar tersendiri, yaitu sebagai umpan pancing ikan tuna (tuna bait). Dan ini adalah peluang yang besar bagi negara-negara produsen bandeng seperti Indonesia, Taiwan, Malaysia, dan Filipina.

Sentra produksi dan pasar bandeng 

Menurut Ketua Asosiasi Pelaku Usaha Bandeng Indonesia (Aspubi), Mumfaizin Faiz, Sentra produksi ikan bandeng di Indonesia paling banyak berada di wilayah Tarakan, Kalimantan Utara dan sepanjang Pantura Pulau Jawa. Para pembudidaya di pantura umumnya memelihara ikan bandeng dengan sistem semi-tradisional yang menggunakan pakan secara full maupun sebagian. Sementara di Tarakan, sebagian besar diproduksi secara tradisional tanpa pemberian pakan. 

Untuk Pulau Sumatera, Lampung adalah salah satu sentra produksi ikan bandeng, disusul oleh Aceh yang juga mulai menjadi sentra budidaya meski belum banyak. Di bagian timur Indonesia, Sulawesi adalah sentranya, yang tersebar di Makassar, Gorontalo, dan Kendari. Sebagian besar produksi di wilayah timur ini masih menggunakan sistem tradisional tanpa pemberian pakan. 

“Yang sampai diekspor adalah mulai dari Sulawesi, Gorontalo, Tarakan, sampai Pantura Jawa. Ini yang diekspor sebagai ikan konsumsi,” ujar Faiz dalam Aquabinar ke-21 yang diadakan TROBOS Aqua belum lama ini. 

Ikan bandeng memiliki segmen pasar yang luas untuk berbagai ukuran, baik pasar lokal maupun ekspor. ©YouTube/@AgriStreamTV

Ikan bandeng memiliki segmen pasar yang luas untuk berbagai ukuran, baik pasar lokal maupun ekspor. ©YouTube/@AgriStreamTV

Sementara itu, Bali menjadi wilayah khusus pembenihan (hatchery) yang mampu memenuhi kebutuhan benih di sentra-sentra produksi tanah air hingga negara-negara tetangga seperti Filipina dan Taiwan.

Logistik dan ukuran panen jadi tantangan 

Meski punya pasar bagus, perdagangan komoditas bandeng tidak lepas dari kendala yang ada di lapangan, terutama tarif logistik yang mahal untuk sekali mobilisasi domestik dari sentra produksi budidaya menuju pasar. 

Sebagai contoh, Ikan bandeng yang berasal dari Tarakan dan Sulawesi Selatan umumnya akan dikirim ke pasar Jawa dalam bentuk beku, karena keterbatasan konsumen di dua daerah tersebut. Pengiriman biasanya langsung ke Jakarta atau melalui Surabaya yang dilanjutkan ke Jakarta melalui akses darat. 

“Ini kadang-kadang yang menjadi kendala kita, biaya logistik yang sangat mahal. Kalau kita ambil ikan bandeng beku dari Tarakan, kita tarik sampai Jakarta, itu biaya kontainer per 20 feet saja sekitar Rp42-45 juta. Sedangkan saya ekspor dari Surabaya ke Incheon, Korea Selatan, itu biayanya nggak sampai Rp30 juta. Jadi masih jauh lebih murah ini (ekspor). Ini (logistik domestik) yang jadi kendala kita,” ungkapnya. 

Sementara yang menjadi kendala untuk pasar ekspor adalah kesesuaian ukuran. Menurutnya, pembeli dari pasar internasional biasanya menyukai ikan ukuran besar seberat 500–800 gram dan 800–1.000 gram. Sementara ukuran bandeng yang dihasilkan di tambak-tambak nasional ukurannya sangat beragam. 

Tapi hal itu bukan berarti ukuran yang lebih kecil tidak laku di pasaran, sebab pasar domestik menyukai ikan bandeng dengan ukuran sedang berkisar antara 100–500 gram. Sedangkan ukuran yang lebih kecil lagi laku dijual sebagai tuna bait atau umpan tuna. 

Penguatan rantai pasok

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, Mumfaizin Faiz, yang sudah berkecimpung di bidang akuakultur sejak 1998 itu, memberikan saran strategi yang dapat dilakukan oleh para pemangku kepentingan yang terlibat dalam rantai nilai ikan bandeng. 

Menurut Faiz, dalam sebuah rantai nilai produksi ikan bandeng, idealnya terdapat “tiga roda” yang harus berputar. Ketiga roda itu antara lain Farms atau pembudidaya yang melakukan proses produksi on-farm dari benih hingga ukuran konsumsi. Selanjutnya, Factory atau unit pengolahan ikan (UPI) yang melakukan pemrosesan sesuai permintaan pasar. Dan Market atau pasar dimana tempat permintaan berada.

Ketiga roda tersebut harus berputar selaras. Pembudidaya harus memahami kebutuhan pasar yang biasanya memiliki spesifikasi tertentu. Misalnya mengenai ukuran atau kondisi daging yang harus sudah belly meat (tanpa duri, isi perut, kepala, dan ekor), yang secara teknis dapat dilakukan oleh UPI.

“Ini (farms, factory, dan market) harusnya bersinergi. Bayangkan, sekali kirim satu kontainer yang memiliki 40 feet berisi 25 ton ikan. Kalau saya ambil dari panen, misalnya satu hektar itu panennya adalah lima ton, dan lima ton itu kan saya sortir, belum tentu ukurannya sesuai. Karena ekspor itu kesulitannya kadang-kadang ikan banyak tapi ukurannya gak masuk,” ujar Faiz mengingatkan pentingnya bersinergi.  “Maka kalau kita bayangkan, satu hektar misalnya lima ton yang bisa saya ambil untuk ekspor, berarti sekali kirim saya butuh 25 hektar.”

Pemenuhan kebutuhan bahan baku bandeng yang sesuai jumlah dan spesifikasi UPI menjadi tantangan yang serius jika tidak disinkronkan. Sehingga melalui Aspubi Faiz mencoba menyinergikan semua pelaku usaha dalam rantai pasok tersebut. Mulai dari pembenih, pembudidaya, hingga unit pengolahan. 

Potensi pasar bandeng presto

Sementara itu, di pasaran produk ikan bandeng berupa olahan tak kalah diminati oleh masyarakat, seperti bandeng presto. Di wilayah pedesaan, bandeng presto diolah secara tradisional menggunakan kayu bakar dan panci biasa yang membutuhkan waktu memasak selama 3 – 5 jam. Olahan ini, cukup familiar di kalangan masyarakat Indonesia dan terkadang juga dijadikan sebagai oleh-oleh.

Selain itu, warung-warung makan juga potensial jadi pasar bandeng presto khususnya ukuran kecil. Menu bandeng di warung makan sederhana biasanya dibanderol Rp5.000-6.000 untuk bandeng ukuran sedang. Sementara jika diisi dengan ukuran yang lebih kecil, harganya bisa separuhnya, Rp2.500-3.000.

Bandeng presto juga memiliki potensi untuk masuk ke dalam catering Haji mengingat rasanya enak, penyajian yang praktis, dan kualitas yang tidak mudah busuk. Hanya saja potensi pasar Haji masih terkendala syarat perizinan dari Saudi Food and Drug Authority (FSDA) yang belum bisa dipenuhi oleh Indonesia. Sehingga eksportir Indonesia tidak bisa ekspor langsung ke Arab Saudi. Padahal permintaan bandeng untuk jamaah Haji cukup besar. 

“Kami hitung itu kebutuhanya bisa 105 ton. Selama musim haji itu, jamaah Haji dianggap hanya konsumsi lima kali saja.” kata Faiz. 

Karena potensinya yang besar di berbagai segmen itu, tak ada salahnya untuk mencoba mengisi tambak yang kosong dengan benih-benih ikan bandeng. “Bandeng itu sebagai penopang, yang tadinya tidak dianggap sekarang bandeng sudah dianggap menghasilkan dan aman untuk masa depan,” tutup Faiz.

***
Penulis: Firyalfatin
Editor: Asep Bulkini