Sebagai salah satu komoditas unggulan akuakultur, rumput laut dikenal kaya akan manfaat. Mulai sebagai olahan pangan hingga kerajinan artistik bernilai tinggi. Potensi besar rumput laut ini ternyata sudah dilirik oleh Maria Gigih Setiarti (66) sejak 1994 silam, yang membuatnya kini menjadi entrepreneur perempuan sekaligus konsultan di bidang rumput laut.

Margi, begitu ia akrab disapa, memulai kiprahnya dengan mengolah rumput laut jenis Eucheuma cottonii menjadi produk sederhana berupa manisan (cocktail). Kecintaannya pada rumput laut, membuatnya terus mengeksplorasi potensi dan manfaat sumber pangan ini. Selain manisan, ia juga membuat olahan lainnya seperti jus, sirup, kerupuk, biskuit, dan mie rumput laut. Hingga pada tahun 1996, produknya berhasil menembus beberapa supermarket ternama, di mana kriteria dan prosedur untuk produk UMKM yang dipasarkan di sana cukup ketat. 

Berdayakan masyarakat dan pasar lokal

Maria Gigih Setiarti

Maria Gigih Setiarti

Krisis ekonomi tahun 1998 memiliki dampak yang sangat besar bagi pelaku UMKM saat itu, tak terkecuali bagi Margi. Di tengah kesulitan itu, ia justru “harus” menjadi tumpuan bagi para tetangganya yang terdampak PHK. Namun hal tersebut kemudian memicu tercetusnya sebuah ide bagi Margi, untuk mengajarkan usaha kecil pada para korban PHK itu agar tidak terus bergantung pada orang lain. 

Menurut Margi, pengolahan rumput laut memang lebih aplikatif dilakukan dalam skala rumah tangga atau UMKM, karena dapat diikerjakan dengan peralatan rumah tangga sederhana seperti pisau, talenan, kompor, panci, dan blender. “Rumput laut bisa dikerjakan dengan metode yang sederhana, yang penting nanti di akhir adalah hygiene dan packaging harus dijaga, kemudian sentuhan estetikanya harus good looking,” katanya.

Oleh karena itu, dibentuklah lima kelompok usaha beranggotakan warga sekitar tempat tinggalnya, tepatnya di Depok, untuk membuat produk olahan rumput laut. Kesuksesan Margi dalam mengelola kelompok tersebut, membuatnya sering diundang menjadi narasumber di acara-acara berbagai perguruan tinggi.

Probiotik Al Gipro

Baca juga: Rumput laut sebagai “emas hijau” yang perlu dioptimalkan

Hal tersebut kemudian menjadi titik tolak bagi Margi, menjadi sering memberikan pelatihan wirausaha pengolahan rumput laut bagi masyarakat umum. Bahkan mengantarkannya menjadi seorang trainer di 11 negara Kepulauan Pasifik, seperti Fiji, Kepulauan Solomon, Caledonia Baru, dan negara-negara sekitarnya. Serta negara Afrika sepertin Zanzibar dan Tanzania.

Tak hanya memberdayakan masyarakat lokal untuk berwirausaha, Margi juga berpandangan untuk memberdayakan masyarakat Indonesia sebagai pasar utama. Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, produk pangan berbasis rumput laut akan sangat potensial menjadi primadona di negeri sendiri.

Sebagi contoh, kencangnya arus globalisasi yang membuat tak terbendungnya produk-produk skincare dari Korea Selatan, telah menginspirasinya untuk mengeksplorasi potensi rumput laut menjadi produk kosmetik, seperti masker, lotion, hingga sabun. 

Proses pengolahan kosmetik dari rumput laut, kata Margi, terbilang sederhana dan mudah dilakukan. Pembuatan sabun misalnya, dilakukan dengan mencampurkan rumput laut dengan Natrium Hidroksida (NaOH), untuk sabun batangan, atau dengan Kalium Hidroksida (KOH), untuk sabun cair. Sementara bahan lainnya antara lain minyak sayur, minyak kelapa, minyak zaitun, dan parfum sebagai pengahrumnya. 

Margi Algarium

Selain menjadi pangan dan kosmetik, Margi juga menyulap rumput laut menjadi karya seni bernilai tinggi.
Foto: Maria Gigih Setiarti

Menjadi karya seni bernilai tinggi

Pandemi Covid-19 yang melanda beberapa waktu lalu, seolah mengulang memori Margi pada krisis 1998. Pandemi secara tidak sengaja kembali memunculkan ide untuk mengolah rumput laut menjadi sebuah produk lain berupa karya seni bernilai tinggi. 

Mulanya ia hanya ingin mengidentifikasi berbagai jenis rumput laut yang ada di Indonesia dan menyimpannya dalam pigura. Namun seiring berjalannya waktu, ia terbersit untuk membuat sebuah karya seni yang menggambarkan suatu objek dengan warna asli rumput laut. Seperti gambar wajah penari, gambar ikan, pemandangan, hingga gambar sebuah peta. 

Baca juga: Produk-produk rumput laut Indonesia dipamerkan di Eropa

Jenis rumput laut yang digunakan bisa bermacam-macam. Semakin langka spesies rumput laut yang digunakan, semakin mahal harga hiasan tersebut. Oleh karenanya, Margi cenderung menggunakan jenis-jenis rumput laut yang belum populer dan jarang dikomersialisasi seperti jenis Palmaria, Ulva, Halymenia, Padina, dan Halimeda. 

“Saya menampilkan jenis rumput laut yang orang tidak tertarik. Karena secara tidak langsung saya merangsang mereka untuk aware pada jenis lain, tidak hanya Cottonii saja,” ucap Margi.

Karya seni dari rumput laut ala Margi, dibuat dengan cara mengidentifikasi lebih dulu komponen objek yang akan menjadi gambar akhirnya. Sebagai contoh, untuk membuat objek hiasan penari Bali, Margi menggunakan beberapa jenis rumput laut sekaligus. Antara lain seperti jenis Gigas untuk bagian rambut, Caulerpa untuk sisi kemben penari, Padina besar untuk bagian mahkota, Sargassum untuk bagian mata penari, serta jenis Padina dan Halimeda untuk komponen hiasan bunga rampainya. Setelah komponen objek dirangkai kemudian dilakukan proses pressing untuk pengawetan dan pembingkaian dengan pigura.

Pembuatan hiasan rumput laut ini tidak menggunakan pewarna tambahan apapun, dengan tujuan untuk menonjolkan keunikan warna asli rumput laut. Kadar air rumput laut yang digunakan dalam hiasan ini kurang dari 10%. Sehingga produk ini bisa bertahan hingga lebih dari tiga tahun. 

Maria Gigih saat memberikan cinderamata kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono
Foto: Maria Gigih Setiarti

Produk karya seni bermerk Margi Algarium ini memiliki pasar khusus, terutama pangsa pasar luar negeri. Produk ini biasanya digunakan sebagai souvenir dan buah tangan dari Indonesia. Margi Algarium sudah dikirim ke berbagai manca negara, seperti Italia, Cina, dan Irlandia. Menurut Margi, mereka sangat takjub karena rumput laut bisa dibuat menjadi sebuah karya seni.

Sebuah karya seni rumput laut dari Margi Algarium dibandrol dengan harga berbeda-beda, sesuai tingkat kesulitan pembuatan dan jenis rumput lautnya. Jika satu bingkai kreasi hanya terdiri dari satu jenis rumput laut, maka harganya berkisar Rp150 – 500 ribu, untuk bingkai ukuran 20 x 20 cm. Sementara untuk gambar penari Bali yang menggunakan 12-16 spesies, harganya mulai dari Rp 500 ribu. Dan untuk kreasi yang paling rumit, dan menggunakan banyak spesies, seperti gambar peta, harganya bisa mencapai Rp5 juta.

Berkontribusi bagi keberlanjutan lingkungan

Tidak hanya menjadikan rumput laut produk pangan, kosmetik, dan hiasan, Margi juga kini tengah uji coba membuat kertas dari rumput laut, bersama dengan beberapa sekolah kejuruan di Indonesia. Salah satunya SMK 05 Mauk, Tangerang. Selain untuk menumbuhkan kreativitas siswa, upaya ini juga mengandung misi untuk menjadikan rumput laut sebagai salah satu solusi permasalahan lingkungan.

“Kita harus membangun generasi baru pencinta atau pelaku usaha rumput laut. Mungkin akan sedikit sekali menggantikan plastik. Tapi paling tidak, saya ingin menanamkan mindset kepada anak-anak bahwa kita bisa kerjakan sesuatu untuk mengurangi sebagian kecil sekali dari masalah penggunaan plastik,” pungkasnya.

***

Penulis: Nur Aziezah Hapsari
Editor: Asep Bulkini