Fenomena udang dengan keterlambatan daya tumbuh dan keragaman ukuran yang tinggi dalam satu kolam, sangat mungkin disebabkan oleh patogen Enterocytozoon hepatopenaei (EHP). EHP merupakan salah satu jenis fungi uniseluler berspora yang bersifat patogen, atau biasa disebut mikrosporidian. Meski tidak menyumbang mortalitas secara langsung, tapi penyakit ini tetap sangat merugikan karena bisa membuat biaya produksi membengkak hingga 20-25 persen.

Korelasi EHP dengan berak putih

Gejala utama penyakit EHP terlihat dari adanya perbedaan ukuran udang yang signifikan dalam satu tambak. Hal ini karena EHP menginfeksi sel tubulus hepatopankreas, dan menjadikannya sebagai tempat replikasi spora baru. Akibatnya, proses pencernaan dan penyerapan nutrisi pun terganggu dan membuat udang menjadi lambat tumbuh dan kerdil.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Regional Technical Support INVE Aquaculture, Arfindee Abru dalam webinar berjudul “Kenali Penyakit EHP (Enterocytozoon hepatopenaei) pada Udang dan Cara Antisipasinya” yang diadakan Minapoli beberapa waktu lalu. Ia menyatakan bahwa sel EHP tidak memiliki mitokondria atau organel yang berfungsi sebagai tempat respirasi seluler dan pembentukan energi. Sehingga membuat EHP bersifat parasit dan harus bergantung pada inang lain.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa EHP dapat mengambil Adenosin Trifosfat (ATP), molekul kimia yang digunakan sumber energi penggerak aktivitas kehidupan dalam sel, dalam hepatopankreas udang. Hal ini membuat proses penyimpanan dan pemecahan lemak dalam hepatopankreas, yang membutuhkan energi, menjadi terganggu.

Selain itu, EHP juga secara langsung mengambil senyawa lemak dari sel tubulus hepatopankreas udang. Lemak tersebut digunakan untuk mempertahankan struktur membran sel EHP agar metabolismenya tetap terjaga. Perusakan ini lama-kelamaan akan membuat tubulus terkelupas dan menumpuk yang kemudian terbuang bersama feses, atau kerap disebut dengan Aggregated, Transformed Microvillli (ATM).

Baca juga: Dampak EHP pada udang dan cara deteksi yang efektif

Terganggunya proses penyerapan nutrisi tersebut membuat proses pertumbuhan terhambat dan berfokus pada memperbaiki kerusakan yang terjadi. Oleh karena itu, udang tidak tumbuh optimal meski terus diberi pakan, hingga akhirnya menyebabkan  FCR (Feed Convertion Ratio) bengkak dan berujung kerugian.

Yang lebih merugikan lagi, EHP tidak hanya berdampak pada perlembatan pertumbuhan. Tapi juga memiliki efek domino berupa infeksi lanjutan. Dalam paparannya, Arfindee menyebutkan bahwa defisiensi lemak dan munculnya ATM pada hepatopankreas menyebabkan udang berpotensi terjangkit berak putih (White Feces Syndrome/WFS) . 

Korelasi EHP dengan WFS turut dilaporkan oleh Global Seafood Alliance (GSA) berdasarkan penelitian yang diadakan di Kamboja dan Thailand. Hasil penelitian itu memuat bahwa udang dari tambak yang terjangkit WFS dan memiliki riwayat WFS, cenderung mengandung spora EHP yang lebih tinggi daripada tambak yang belum pernah terinfeksi WFS. Hal ini mengindikasikan dugaan kuat EHP sebagai penyebab awal munculnya berak putih pada udang.

Mekanisme penularan

Menurut Arfindee, penularan EHP dapat terjadi secara horizontal dan vertikal. Penularan secara horizontal terjadi melalui sedimen dasar tambak dan vektor penyakit. Sedimen dapat menjadi media penularan karena menjadi tempat akumulasi spora EHP. Udang dapat terinfeksi EHP karena memakan sedimen tersebut. Sebagai catatan, udang memiliki sifat forager atau continuous feeding yang berarti terus aktif mencari makanan di dalam tambak, termasuk dengan memakan sedimen di dasar. Adapun penularan melalui vektor atau pembawa penyakit terjadi melalui hewan-hewan akuatik sekitar tambak seperti kepiting, kerang, dan siput.

Sementara penularan vertikal terjadi melalui induk yang sudah lebih dulu terinfeksi EHP. Beberapa penelitian mengonfirmasi bahwa hatchery dengan induk positif EHP menghasilkan benur yang terinfeksi EHP juga, bahkan dapat terdeteksi sejak fase naupli.

Tambak udang di Bangka

Perlakuan kualitas air melalui kejut pH hingga kisaran 11-12 dapat membunuh spora EHP di dasar tambak.

Pengendalian EHP di hatchery

Dengan pola penularan seperti itu, Arfindee memparkan bahwa pengendalian penyakit EHP dapat dilakukan pada beberapa tahapan budidaya. Antara lain melalui pengelolaan induk udang dan benur di hatchery, serta saat persiapan kolam dan pengisian air di tambak.

Pengelolaan induk agar bebas EHP dilakukan melalui biosekuriti dan manajemen kualitas air yang ketat di hatchcery. Air kolam induk harus disterilisasi terlebih dulu dengan teknik ozonisasi. Sterilisasi juga diaplikasikan pada kolam, pipa, dan tangki air melalui perendaman dengan larutan yang mengandung 2,5% natrium hidroksida selama 3 jam. Kemudian dilanjutkan dengan pengeringan selama minimal 7 hari.

Baca juga: Bagaimana tepung spirulina dapat meningkatkan performa udang vaname

Selain itu, pakan alami induk juga harus dipastikan tidak menjadi vektor EHP. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyimpan pakan alami dalam suhu -20º C selama 2 jam untuk mengeliminasi spora EHP. 

Sementara verifikasi induk yang bebas EHP dilakukan dengan tes PCR (Polymerase Chain Reaction) pada sampel hepatopankreas atau feses secara berkala. Arfindee juga menyebutkan bahwa verifikasi induk udang yang bebas dari EHP atau SPF (Specific Pathogen Free) juga penting untuk bidang nursery atau pendederan. Semua intake budidaya juga harus dipastikan untuk menjaga benih udang tidak terjangkit EHP dalam nursery seperti pengelolaan air yang baik dan pakan yang berkualitas.

Pengendalian EHP di tambak

Selain di level hatchery, pembudidaya di tambak juga harus memastikan semua benur (Post-Larvae/PL) berasal dari hatchery atau nursery yang memiliki sertifikat SPF. Setelah itu, langkah selanjutnya adalah persiapan wadah dan perlakuan pada air budidaya. Menurut Arfindee, pada persiapan wadah perlu diberi perlakuan kejut pH untuk mematikan spora EHP yang terakumulasi di dasar tambak. Persiapan wadah tersebut berbeda antara  tambak  tanah dengan tambak HDPE.

Adapun perlakuan kejut pH pada tambak tanah dilakukan melalui:

  • Pengapuran dengan kapur tohor atau kalsium oksida (CaO) sebanyak 0,625 kg/m2 untuk meningkatkan pH hingga kisaran 11-12;
  • Selama pengapuran, kelembapan tanah dasar harus dijaga pada kisaran 10-40%;
  • Pengecekan dengan PCR pada tanah dasar.

Sementara untuk mencapai pH 11-12 pada tambak HDPE dilakukan dengan menggunakan kalsium hidroksida (Ca(OH)2).

Selain melalui kejut pH, pengendalian EHP juga dilakukan dilakukan pada saat pengisian air tambak dan juga pada masa pemeliharaan. Pada tahap pengisian air tambak, perlakuannya antara lain:

  • Pengisian air setinggi 10-15 cm;
  • Pemberian klorin 65% dengan dosis 20 ppm.

Sementara, pada saat pembesaran dapat diberi perlakuan:

  • Manajemen pakan yang ketat agar tidak terjadi overfeeding;
  • Pembuangan bahan organik secara teratur melalui outlet agar tidak terjadi penumpukan sedimen di dasar;
  • Penggunaan Poli Alumunium Klorida (PAC) untuk mengikat bahan organik dan membantu pembuangan lebih efektif;
  • Jika ditemukan infeksi EHP dalam tambak, maka tingkatkan kecernaan pakan untuk meningkatkan absorpsi nutrisi;
  • Lakukan coating pakan dengan imunostimulan agar sistem imun udang meningkat.

Arfindee juga menekankan bahwa proses pemasukan air yang baru harus dipastikan tidak mengandung spora EHP. Untuk itu, reservoir air dapat diberi sterilisasi dengan klorin dengan dosis yang disesuaikan.

***
Penulis: Aditya Mukti Pramana
Editor: Asep Bulkini