Shrimp Club Indonesia (SCI) yang diketuai Prof. Andi Tamsil telah menggelar rapat kerja dan seminar sehari tentang industri udang nasional bertempat di Swissotel, Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta (24-25/9).
Acara yang digelar oleh Dewan Pengurus SCI Pusat dan Farmers Learning Club (FLC) tersebut memperoleh dukungan dari sejumlah sponsor yang sangat peduli dan prihatin terhadap kondisi industri udang nasional dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Petambak senior sekaligus Dewan Pakar SCI, Dr. Hasanuddin Atjo, menilai bahwa acara ini sangat relevan dengan tantangan yang tengah dihadapi para pelaku industri udang. Menurutnya, forum seperti ini penting untuk memperjelas isu-isu aktual yang sedang terjadi di sektor udang. “Masalah-masalah ini perlu terus disuarakan hingga mendapat perhatian, agar kita bisa menemukan solusi dan menjaga keberlanjutan bisnis udang,” ujarnya.
Dalam raker itu, kata Atjo, pengurus SCI fokus mendiskusikan persoalan non-teknis yang saat ini sedang mendera industri udang dan membuat sejumlah pelaku usaha mulai mengendurkan tensi bisnis mereka. Isu itu antara lain bagaimana strategi mencegah penggunaan antibiotik di hatchery dan saat budidaya, hingga penggunaan senyawa sulfit pada saat mengangkut udang dalam jangka waktu yang lama. Praktik-praktik ini perlu ditekan karena sangat berpengaruh terhadap citra dan mutu udang Indonesia di pasar global.
Selain itu, lanjut Atjo, isu lain yang sangat mengejutkan adalah ketika Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menemukan bahwa udang yang diekspor ke AS oleh salah satu eksportir dari Indonesia terpapar radioaktif Cesium-137 (Cs-137) yang dampaknya sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Penolakan pembelian maupun turunnya harga udang di pasar global terutama yang akan dipasarkan ke Amerika Serikat (AS) menjadi dampak isu tersebut sekaligus menjadi warming bagi stakeholders udang Indonesia. Kondisi ini membuat sejumlah pelaku usaha ketar-ketir, mengingat investasi yang dikeluarkan membangun bisnis mereka sudah sangat besar.
Selain itu, rakernas juga membahas soal pelayanan maupun perlakuan perizinan yang belum satu frekuensi. Dan secara kasuistik tekanan oknum tertentu terhadap pelaku usaha bisnis udang juga masih sering terjadi dan menjadi keluhan yang cukup kencang.
“Teruslah bersuara hingga didengar,” kata Dr. Atjo yang menjadi pioner tambak udang padat tebar tinggi, dan budidaya udang two steps atau berbasis nursery.
Baca juga:
1. Masihkah udang Indonesia kompetitif di tengah banyak ketidakpastian?
2. Hasanuddin Atjo: Tinjauan ilmiah kenapa nursery udang penting
3. Lantik pengurus baru, Ketum Shrimp Club Indonesia ajak petambak gabung asosiasi
Bangun komunikasi sesama stakeholders
Mengingat bisnis udang merupakan sektor strategis di negara kepulauan seperti Indonesia—sebagai sumber pangan, devisa, sekaligus penyerapan tenaga kerja—Atjo menekankan pentingnya menyikapi isu-isu tersebut dengan bijak. “Kita harus mengambil hikmahnya dan tidak boleh patah semangat. Justru ini saatnya untuk terus memberi motivasi dan dorongan agar industri udang tetap maju,” pesannya.

Ketua Farmers Learning Club (FLC) Gerry Kamahara saat berdiskusi dengan Kepala Badan Mutu Kementerian Kelautan dan Perikanan Ir. Ishartini. ©Asep Bulkini
Seminar Farm 2025 dengan tema besar “Make Farmers Great Again” yang digelar pada hari kedua, lebih banyak menyoroti persoalan teknis. Topik yang dibahas mencakup pentingnya benur yang sehat dan bebas penyakit, menjaga keseimbangan ekosistem budidaya, hingga mengendalikan kondisi lingkungan eksternal agar tetap terjaga.
Selain itu, inovasi teknologi juga menjadi sorotan, seperti penggunaan probiotik, penciptaan plankton sehat, serta penambahan mineral. Efisiensi penggunaan pakan pun menjadi tren, termasuk penerapan pakan fungsional dengan waktu dan volume tertentu pada fase nursery maupun budidaya. Semua upaya ini diarahkan untuk meningkatkan imunitas udang sekaligus mempercepat laju pertumbuhannya.
Memperbaiki mutu udang pada saat panen dan penanganan pada saat transportasi jadi salah fokus narasumber. Dan poin yang tidak pentingnya adalah memperbesar serta membuka pasar baru seperti ke Tiongkok, Jepang, Uni Eropa, dan pasar dalam negeri.
Terakhir, Atjo menitipkan pesan kepada para pemangku kepentingan, khususnya regulator. Ia menekankan bahwa untuk meningkatkan produksi sekaligus memperluas pasar udang, program jangka pendek maupun menengah perlu segera direalisasikan. Hal ini mencakup berbagai faktor pendukung fundamental yang menentukan kinerja budidaya, antara lain:
- Memperbanyak Broodstock Center. Perlu ditambah NBC (Nucleus Breeding Center) dan BMC (Breeding Multiplication Center) yang berstatus SPF (Specific Pathogen Free) dengan varietas yang memiliki sifat pertumbuhan cepat, tahan penyakit (resistant), dan seimbang (balance).
- Fasilitasi pengembangan industri cacing SPF. Regulator diharapkan dapat memfasilitasi impor cacing beku SPF (hasil budidaya), misalnya dari Amerika Serikat. Saat ini, sebagian besar hatchery di Indonesia masih menggunakan cacing hasil tangkapan alam yang terindikasi terpapar bakteri dan virus, sehingga berpotensi menjadi pintu masuk penularan penyakit secara vertikal. Hasil uji laboratorium PCR bahkan menunjukkan hampir 60% benur yang beredar di Indonesia dalam kondisi tidak sehat. Oleh karena itu, penting juga untuk mendorong pembangunan industri cacing SPF komersial di Indonesia, dengan menggandeng negara yang telah berhasil membangun budidaya cacing SPF. Selama ini, industri cacing SPF yang dikembangkan perusahaan besar hanya dipakai untuk kebutuhan internal.
- Pemanfaatan kebijakan moneter. Kebijakan moneter yang membuka peluang pembiayaan hingga Rp200 triliun diharapkan bisa digunakan untuk investasi pada aspek fundamental serta pembaruan teknologi di sektor hatchery, nursery, maupun tambak udang, baik untuk pengembangan maupun optimalisasi yang sudah ada. Menariknya, poin (a) hingga (c) ini langsung diamini oleh Dirjen Budidaya Perikanan KKP ketika ditemui seusai seminar. Ia bahkan menegaskan, “Ini akan menjadi agenda kami.
- Program jangka panjang berbasis klaster. Ke depan, diharapkan lahir regulasi pembangunan industri udang berbasis klaster di pulau-pulau besar. Atjo menyarankan ada tujuh klaster, yakni Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pada tiap klaster, industri hulu, tengah, hingga hilir dibangun dengan inovasi dan teknologi yang disesuaikan dengan daya dukung wilayahnya. Khusus untuk klaster Maluku dan Papua, Atjo menilai kawasan ini layak menjadi target investasi perusahaan besar di sektor hulu maupun hilir, dengan dukungan insentif dari pemerintah.
Dengan model klaster, maka proyeksi produksi bisa dilakukan lebih presisi, pengendalian penyakit menjadi lebih mudah, mutu udang dapat terjaga lebih baik, dan biaya logistik pun bisa ditekan. Semua itu pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan daya saing industri udang Indonesia.
***
Editor: Asep Bulkini