Tiongkok tak diragukan lagi adalah negara terbesar dalam produksi akuakultur, dengan volume mencapai 54 juta ton. Dari jumlah itu, sekitar 5 persen, atau 2,5-2,7 juta ton diantaranya adalah komoditas udang. Informasi ini disampaikan oleh Luca Meccichi, Direktur Teknik Akuakultur dan Manajer Pengembangan Bisnis Global Verdesian, dalam acara Global Shrimp Forum 2024 di Utrecht, Belanda, beberapa waktu lalu.

Dalam seminar berjudul “Deep Dive into China’s Shrimp Production and Global Farming Perspectives,” Luca berbagi sedikit sejarah tentang udang di Tiongkok. Ia menjelaskan bahwa budidaya udang di negara tersebut dimulai pada tahun 1979 dengan produksi tercatat hanya 79 ton, terutama dari jenis Fenneropenaeus chinensis. Seiring waktu, produksi meningkat secara bertahap, meskipun sempat terpengaruh oleh penyakit whitespot antara tahun 1992 hingga 1997.

“Udang vaname mulai diperkenalkan secara komersial di Tiongkok pada tahun 1996. Sejak 1998, pemerintah Tiongkok aktif mempromosikan dan mendukung budidaya vaname. Hasil dari upaya ini sangat nyata; antara tahun 1998 dan 2003, produksi meningkat pesat dari 100 ribu ton menjadi hampir 800 ribu ton pada tahun 2003,” jelas Luca.

Vaname mendominasi produksi udang Tiongkok. ©Luca Meccichi

Vaname mendominasi produksi udang Tiongkok. ©Luca Meccichi

Selama periode 2004-2020, produksi udang di Tiongkok terus tumbuh dengan kenaikan rata-rata 5,2 persen per tahun, meskipun sempat mengalami penurunan akibat wabah EMS pada 2011-2014. Kemudian dalam kurun waktu 2020-2024, pertumbuhan produksi cenderung dengan kenaikan rata-rata hanya 1 persen per tahun, yang diakibatkan wabah COVID, ketidakstabilan ekonomi, dan faktor lainnya.

Saat ini, vaname menjadi komoditas udang utama di Tiongkok dengan perkiraan produksi di tahun ini lebih dari 2,3 juta ton, atau 93 persen dari total produksi udang. Selain itu, Tiongkok juga memproduksi monodon dan kuruma masing-masing sebesar 127 ribu dan 57 ribu ton. 

Baca juga: Seri GSF 2024: Inspirasi dari industri salmon untuk udang yang berkelanjutan

“Vannamei dan kuruma mengalami pertumbuhan sekitar satu persen per tahun, jadi dalam empat tahun, tumbuh empat persen. Sementara itu, udang monodon tumbuh dua kali lipat dengan laju dua persen per tahun, didorong oleh permintaan pasar akan udang hidup yang sehat dan udang berukuran besar di Tiongkok.” kata Luca Meccichi

Tambak greenhouse jadi tren baru

Wabah COVID telah memukul perekonomian Tiongkok dan berdampak pada turunnya produktivitas udang, yang kemudian berimbas pada banyaknya tambak yang mangkrak. Namun belakangan, tren baru muncul. Yaitu budidaya udang sistem rumah kaca (greenhouse). Menurut Luca, tren ini awalnya muncul di provinsi Jiangsu, khususnya daerah Rudong. 

“Sebagian besar petambak di sana telah meninggalkan tambaknya. Namun, dengan adanya proyek rumah kaca baru di daerah tersebut, kini para pengusaha menyewa lahan, membangun infrastruktur, dan menyewakan kembali tambak itu kepada petambak. Para petambak ini, misalnya, berpindah dari utara ke selatan, di mana harga udang lebih baik, menyewa tambak, dan membudidayakan udang di sana untuk mengejar harga terbaik.” ujar Luca.

Dalam lima tahun terakhir, sistem greenhouse mengalami pertumbuhan paling pesat dengan peningkatan 12 persen, disusul oleh tambak intensif HDPE yang naik 8 persen. Tahun ini, diperkirakan sistem greenhouse akan menyumbang sekitar 28 persen dari total produksi, atau setara 700 ribu ton, menjadikannya teknik budidaya terbesar kedua setelah tambak tanah yang masih mendominasi dengan kontribusi 63 persen. 

Menurut Luca, greenhouse udang umumnya digunakan pada tambak-tambak kecil berukuran kurang dari 500 m² dan mengadopsi sistem bioflok dengan kepadatan rata-rata 150 ekor/m². Selain itu, para petambak juga menggunakan beragam bakteri probiotik untuk menjaga kualitas air dan mencegah udang dari serangan patogen. 

“Air di tambak ini dipompa dan panen dilakukan menggunakan jaring. Seperti yang sudah disebutkan, dari sisi biosekuriti, sistem ini sangat baik karena tertutup. Setiap petani bisa mengelola sekitar sepuluh tambak. Jadi, jika terjadi wabah penyakit di suatu area, penyakit tersebut dapat diisolasi dengan cepat,” ungkap Luca.

Meski tren produksi udang Tiongkok alami perlambatan, tren sistem tambak rumah kaca justru alami kenaikan. ©GSF 2024/Pierre Banoori

Meski tren produksi udang Tiongkok alami perlambatan, tren sistem tambak rumah kaca justru alami kenaikan. ©GSF 2024/Pierre Banoori

Tantangan pasar dan regulasi

Sementara Luca mencatat produksi udang greenhouse mencapai kisaran 700 ribu ton pada tahun ini, namun Robin McIntosh, Executive Vice President CP Foods, memprediksi jumlah produksinya sekitar 400 ribu ton pada tahun 2023. Meski banyak yang memprediksi akan meningkat 100 ribu ton pada tahun ini, tapi Robin menaksir angka produksinya hanya sekitar 450 ribu ton. 

Baca juga: Strategi hatchery hadapi tantangan penyakit udang

“Tahun lalu, hasilnya mungkin lebih tinggi, tapi tahun ini tampaknya turun karena tantangan yang dihadapi di pasar,” ujar Robin memberikan alasan. 

Ketika ditanya persyaratan teknis utama yang harus dipenuhi untuk mengembangkan tambak rumah kaca, Robin menyebut kualitas benur yang bersih—dari strain fast growth. Sebab menurutnya, tambak rumah kaca dirancang dengan tingkat biosecurity yang tinggi. Satu-satunya pintu masuk patogen yang paling mungkinkan adalah melalui benur. 

“Saat ini, setiap farm sudah sangat maju. Mereka semua tidak mempercayai hatchery begitu saja. Mereka akan memeriksa benur sendiri. Jika ada tanda-tanda Vibrio, mereka tidak akan menggunakan benur tesebut. Persyaratan kedua adalah mereka menginginkan pertumbuhan yang lebih cepat, yang memberikan biaya lebih rendah. Jadi, mereka mencari pertumbuhan yang lebih cepat, tetapi tanpa kompromi—harus tetap bersih,” jelas Robin.

Tantangan lain dari pengembangan tambak rumah kaca di Tiongkok adalah regulasi yang berkaitan dengan izin penggunaan sumur tanah. Para petambak greenhouse umumnya menggunakan sumur tanah untuk mengairi tambak mereka. 

Meski itu menguntungkan bagi para petambak karena mendapatkan kualitas air yang bagus, diduga kegiatan ini tidak memiliki izin. Sementara itu, pemerintah Tiongkok sangat ketat dalam menerapkan kebijakan perizinan. “Mungkin tahun depan, kebijakan mengenai hal ini di Tiongkok akan menjadi sangat ketat,” ujar Fang Qing, seorang konsultan independen di bidang global marine sustainable development. 

***

Penulis: Asep Bulkini