Di tengah tantangan berat dalam budidaya udang, terutama terkait dengan kasus penyakit yang terus mengancam, berbagai strategi telah diadopsi tidak hanya oleh petambak, tetapi juga oleh para pelaku di hatchery sebagai produsen benur. Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks, hatchery terus melakukan penyesuaian strategi untuk tetap memproduksi benur yang memenuhi standar pembesaran di tambak.

Bagaimana hatchery menyikapi hal ini, menjadi salah satu topik yang mengemuka dalam acara Shrimp Outlook 2024, yang digelar oleh JALA beberapa waktu lalu secara hybrid di Fairfield by Marriott Surabaya dan melalui platform daring Zoom.

Fivi Najmushabah, Fry Production Coordinator PT Central Pertiwi Bahari (CPB) mengatakan bahwa dalam menyiasati berbagai penyakit, ia meningkatkan treatment input air dan biosecurity. Sebelum adanya AHPND, proses treatment air di hatchery sudah cukup ketat, meliputi berbagai proses mulai dari pengendapan, filtrasi dengan sand filter dan pressure filter, hingga sanitasi dan disinfeksi dengan menggunakan klorin dan ozone. Setelah adanya kasus AHPND di tambak, proses treatment kemudian disempurnakan dengan menggunakan ultrafiltrasi pada akhir proses.

“Dan pada saat 1-1,5 tahun terakhir ini budidaya di tambak diganggu dengan EHP, maka hatchery juga sekali lagi melakukan penyempurnaan dengan memasang automatic filter yang bisa menyaring sampai 0,01 mikron, agar spora EHP tidak masuk ke hecthery,” ujar Fivi. 

Baca juga: Gejala EHP pada udang dan cara pengendaliannya

Sementara pada aspek biosecurity, Fivi mengetatkan proses pemeriksaan terhadap semua input produksi yang digunakan di hatchery, termasuk air media, naupli, induk, dan pakan hidup seperti cacing polychaeta serta pakan alami segar. Semua input tersebut diuji menggunakan metode realtime (RT) PCR untuk memastikan input-input yang masuk ke dalam bak pemeliharaan tersebut bebas penyakit. Untuk pakan segar sendiri, ia memastikan bahwa sumbernya tidak berasal dari area yang rawan penyakit berbahaya.

Pakan bebas penyakit dan kaya nutrisi

Menyoal pakan, hal serupa disampaikan oleh Henry Wijaya, Dirketur PT Prima Larvae Bali (PLB). Menurutnya PLB punya kebijakan mengenai sumber pakan yang harus bebas penyakit dan bersumber dari tempat yang bebas penyakit juga.

“Jadi di PLB kita menggunakan cacing frozen dari Eropa yang sudah ada ujinya bebas penyakit. Mereka lakukan PCR rutin juga. Dan untuk cumi juga kita tidak menggunakan cumi dari lokal, karena perairan lokal ada kontaminasi penyakit di lokal. Jadi kita tidak pernah menggunakan komponen lokal untuk cacing dan cumi, karena perihal kemungkinannya terkontaminasi dari penyakit. Jadi kita menggunakan cumi itu dari Amerika, dan yang kita gunakan itu Californian squid yang berasal dari laut dingin, dan juga tidak ada possible contamination dari perairan tropis,” jelas Henry.

Sementara itu, Emiliana Dhian, Head of Shrimp Hatchery Operation PT Suri Tani Pemuka (STP), menyoroti pentingnya memerhatikan pakan artemia bagi larva. Menurutnya artemia untuk kebutuhan larva tidak hanya diukur dari kuantitasnya saja seperti yang banyak dijadikan acuan selama ini -misalnya 1 kg artemia untuk 5 juta benur, melainkan lebih diteknkan pada nilai nutrisinya (nutritional value) itu sendiri. 

“Jadi apa yang sangat harusnya kita perhatikan di artemia adalah adanya EPA dan DHA. Karena itu akan berkenaan nanti dengan survival rate atau tingkat kelangsungan hidup si larva itu sendiri, pertumbuhan, dan perkembangannya,” ujar Emiliana.

Baca juga: Aplikasi probiotik untuk menekan Vibrio dalam budidaya udang vaname

Ia menambahkan bahwa artemia yang kaya akan EPA dan DHA umumnya paling banyak ada pada artemia yang berasal dari Great Salt Lake (GSL), Amerika Serikat. Sementara belakangan mulai banyak artemia yang berasal dari Rusia, Tiongkok, dan Meksiko yang kualitas nilai nutrisnya tentu berbeda. Sehingga alih-alih menggunakan acuan berapa kilogram artemia untuk berapa jumlah benur, Emiliana justru menggunakan pendektan nutritional value tadi. Jika artemia yang digunakan nilai nutrisinya kurang, terutama untuk DHA dan EPA, maka kata Emiliana, bisa dilakukan enrichment sendiri. 

“Kalau enrichment biasanya kita lakukan posisinya dalam kondisi (mulut artemia) harus membuka. Tapi pada saat itulah kita harus sudah tebarkan di situ misalnya probiotik untuk menekan pertumbuhan bakteri yang ada. Dan itu juga bisa kita lakukan enrichment misalnya dengan squid oil atau Omega 3, yang tadi kaitannya sama kebutuhan EPA dan DHA,” jelas Emiliana.

Induk dan benur berkarakter lokal

Pada aspek manajemen induk, Fivi memastikan induk yang digunakan adalah spesific pathogen free (SPF) untuk memastikan induk tidak jadi pintu masuk penyakit, sehingga benur yang dihasilkan pun bebas penyakit. Dalam masa pemeliharaan induk pun, pihaknya melakukan pengecekan semua jenis penyakit menggunakan PCR. Dengan demikian, kata Fivi, ia bisa memastikan induk dan naupli yang dihasilkan bebas dari penyakit. 

Untuk menghasilkan benur udang yang tahan terhadap kondisi lokal, ia juga melakukan pengujian langsung calon induk di lingkungan Indonesia dengan penyakit-penyakit yang ada di Indonesia. 

“Jadi breeding company misalnya bisa mengirim PL-nya untuk kemudian diuji dengan penyakit yang ada di Indonesia, dan paralel juga melakukan uji di lokasi-lokasi di Indonesia juga. Kemudian mereka evaluasi. Dan dari situ mereka akan mengembangkan dari sisi genetik seperti apa yang lebih cocok untuk Indonesia,” ujarnya.

Baca juga: Peran dan pengaruh mikrobiom pada saluran pencernaan udang 

Sementara itu, Henry Wijaya turut menyampaikan pandangannya mengenai kualitas dan jenis genetik induk. Menurutnya diantara jenis-jenis genetik induk yang ada, seperti tolerance, resistant, dan fast-growth, yang akan bertahan adalah yang paling efisien. Dan menurutnya, yang paling efisien bukan berasal dari genetik resistant. Sebab benur resistant cenderung lambat pertumbuhannya dan berpotensi meningkatkan nilai FCR. Tingginya nilai FCR tersebut tidak akan menguntungkan pada saat harga udang rendah seperti akhir-akhir ini. 

Untuk memastikan bahwa benur yang didistribusikan ke petambak sehat dan bebas dari penyakit, ketiga narasumber sepakat bahwa pengecekan RT-PCR menjadi kunci. Fivi, misalnya, memastikan keamanan benur dengan mengecek sembilan jenis penyakit yang umum di tambak.

Begitupun dengan Henry, menurutnya “ultimatum tertinggi itu di PCR. Seperti tadi Bu Fivi sudah sampaikan, kita pun menggunakan real-time PCR. Saya pikir yang paling penting adalah PCR. Banyak yang punya pola pengecekan ini, pengecekan itu, tapi kalau dideteksi PCR-nya negatif, ya negatif ujung-ujungnya itu.”

***
Penulis: Asep Bulkini