Dinilai cukup ribet oleh sebagian pembudidaya ikan karena prosesnya yang rumit dan mahal, budidaya bioflok ternyata bisa dibuat lebih sederhana. Sistem yang memanfaatkan kembali sisa bahan organik, dari feses ikan dan pakan terbuang, menjadi flok yang bisa menjadi makanan ikan budidaya, ini bisa dijalankan tanpa melakukan penambahan probiotik dan molase (sumber karbon) sama sekali. Sistem bioflok seperti ini cukup potensial karena efisien dari aspek biaya sekaligus efektif dari aspek teknisnya.

Adalah perusahaan rintisan AQuaBioFresh (ABF) yang mengembangkan budidaya ikan nila bioflok tanpa penambahan probiotik dari luar maupun molase sebagai sumber karbonnya. Menurut salah satu Founder ABF, Rafi Kemal, budidaya ikan nila bioflok yang ia kembangkan di daerah Ciampea-Bogor, bersama rekannya M. Roikhan Amanullah, menggunakan produk-produk mineral sebagai alternatif nutrien bagi bakteri. Baik mineral mikro, makro, maupun trace element essential. Sementara sumber bakterinya langsung memanfaatkan kelimpahan bakteri yang ada pada sumber air yang digunakan.

Memanfaatkan mineral dan bakteri alami

Beragam produk mineral tersebut dapat meningkatkan komposisi mikroba dalam kolam budidaya, yang mampu memperbaiki kualitas air pemeliharaan. Selain itu, tentu saja bakteri tersebut berperan juga dalam pembentukan flok seperti yang diharapkan pada sistem bioflok pada umumnya.

Kolam nila bioflok AquaBiofresh

Kolam nila bioflok AQuaBioFresh di Ciampea, Bogor. ©AQuaBioFresh

“Umumnya budidaya bioflok sangat dikenal dengan ketidakpraktisannya. Sistem ini sangat memberatkan pembudidaya karena bahan-bahan yang digunakan cukup banyak dengan biaya yang tinggi. Inovasi ini lahir agar budidaya bioflok dapat dilakukan dengan lebih praktis dan menurunkan biaya operasional bahan pembentuk floknya. Sehingga penggunaan teknologi bioflok ini dapat dilakukan oleh siapapun dengan beragam latar belakang,” ungkap Kemal kepada All Fish News.

Baca juga: Strategi hemat listrik dan cegah parasit pada budidaya lele bioflok

Menurut alumni Akuakultur IPB University tersebut, perairan tropis seperti di Indonesia sangat istimewa karena mengandung mikroorganisme yang melimpah, baik jumlah maupun jenisnya. Keunggulan tersebut dapat dimanfaatkan pada budidaya dengan cukup menambahkan mineral yang sesuai dengan kebutuhan bakteri-bakteri tersebut. 

Dalam konteks bioflok, mineral yang digunakan akan bekerja memperkaya mikroorganisme tertentu, yakni kelompok bakteri heterotrof, yang secara alami bakteri tersebut juga mampu memanfaatkan karbon organik dari sisa pakan dan feses ikan, dan membentuk flok-flok yang diharapkan. Mineral-mineral tersebut juga berperan  dalam menjaga keseimbangan antara bakteri dan plankton yang memiliki peran unik dalam menjaga kestabilan kualitas air. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah evaluasi harian untuk memastikan apakah flok-flok tersebut terbentuk secara optimal atau tidak.

“Selain itu, mineral air ini juga mampu meningkatkan nilai ORP (Oxidation Reduction Potential) di dalam air budidaya dan menguraikan senyawa-senyawa, yang apabila jumlahnya berlebih, dapat berdampak negatif pada ikan.” ucapnya. 

Manajemen produksi

Kemal mengatakan inovasi budidaya nila bioflok dengan hanya menggunakan mineral ini jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan metode konvensional melalui penambahan probiotik dan sumber karbonnya. Dengan sistem ini, kata dia, harga pokok produksi (HPP) bisa mencapai Rp20-23 ribu/kg, atau menurut kalkulasinya, bisa hemat Rp2.000-3.000/kg jika dibandingkan biaya produksi sistem konvensional. HPP tersebut dicapai dengan FCR 1,1-1,3 dengan menggunakan pakan berprotein 31%.

Rafi Kemal (kaos tosca) saat menerima kunjungan dari Dinas Perikanan Kab. Takalar, Sulawesi Selatan. ©AQuaBioFresh

Produktivitas ikan nila sistem bioflok ala ABF mampu mencapai 30-40 kg/m³, dengan kepadatan 100 ekor/m³ dan masa budidaya pembesaran selama kurang lebih 4 bulan. Ia juga memberi catata bahwa dengan sistem ini, “budidaya akan feasible ketika dilakukan pada skala keekonomiannya, atau dengan produktivitas sekitar dua ton per bulan, pada lahan minimal 2.000 meter persegi. Dengan harga jual Rp27-28 ribu/kg di kolam.” 

Baca juga: Sejarah ikan nila: Dari mujair hingga strain unggul lokal 

Untuk memastikan proses produksi nila dengan sistem bioflok berjalan normal, Kemal merekomendasikan manajemen budidaya yang baik pada beberapa aspek berikut, 

  1. Benih: Penggunaan benih unggul monoseks (dominan jantan).
  2. Pakan: Kualitas pakan dan manajemen pemberiannya penting diperhatikan agar daging ikan yang dihasilkan berkualitas dan tidak banyak menghasilkan limbah,
  3. Kualitas air: Pengecekan rutin kualitas air bioflok untuk memastikan paramter-parameternya tetap optimal.
  4. Aerasi: Aerasi sangat krusial  untuk menjaga suplai oksigen pada level minimal 3 ppm. Aerasi juga berfungsi untuk mengaduk air agar flok dapat terbentuk dan tidak banyak mengendap di dasar kolam.
  5. Sumber daya manusia yang kompeten menerapkan sistem bioflok.
  6. Engineering: Pengaturan tata letak, konstruksi kolam, instalasi air dan aerasi sangat berpengaruh terhadap biaya investasi dan operasional yang efektif dan efisien.
Produk-produk olahan nila ABF. ©AQuaBioFresh

Produk-produk olahan nila ABF. ©AQuaBioFresh

Ikan premium untuk konsumen langsung

Dengan sistem budidaya nila yang “bersih” seperti itu, Kemal mengklaim ikan yang dihasilkannya berkualitas premium. Sehingga karena keunggulan tersebut, Kemal sedari awal sudah mengonsep usahanya untuk terintegrasi langsung dengan aspek hilirnya. Yakni pengolahan hingga pemasaran ikan nila konsumsi ukuran 3-5 ekor/kg.

“Ikan konsumsi yang kami hasilkan memiliki daging yang padat, tidak kempes, berwarna putih, tidak bau lumpur dan tanah. Dengan kualitas seperti ini kami dapat menjual langsung ke konsumen dengan kondisi ikan yang sudah dibersihkan dan dalam kemasan yang rapi. Beberapa konsumen yang menginginkan produk yang sudah diolah, ready to cook dan ready to eat, juga kami fasilitasi.” ungkap Kemal.

Melihat hasil produksinya selama ini, Kemal bersama tim berencana akan mematangkan konsep budidayanya sesuai dengan hasil riset dan pengembangan yang sudah mereka lakukan selama satu tahun ke belakang. Ia juga berencana untuk memperluas pemasaran produk akhirnya. Di samping produksi dan pemasaran, ABF juga membuka pelatihan bagi para pembudidaya atau siapapun yang tertarik dengan inovasi bioflok yang dikembangkannya. 

“Selain pelatihan langsung di lokasi, kami juga berencana membuka kelas daring dalam mengupas tuntas budidaya ikan intensif dengan menggunakan teknologi bioflok ini,” tutup Kemal. 

***
Penulis: Asep Bulkini