Ikan nila atau kini dikenal juga dengan tilapia, mulai memasuki lanskap akuakultur Indonesia sejak tahun 1969. Kala itu, ikan nila diintroduksi dari Taiwan oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor, dan mulai dikenalkan pada masyarakat setahun kemudian. Momen tersebut menjadi titik nol perkembangan ikan nila yang kini mendominasi produksi perikanan budidaya. Pada tahun 2023 lalu, produktsi ikan nila tercatat mencapai 1,36 juta ton. Angka yang menjadikannya komoditas air tawar dengan produksi paling banyak di Indonesia saat ini.

Perkembangan budidaya ikan nila tentu tak lepas dari berbagai dinamika yang terjadi. Selama lebih dari 50 tahun, naiknya pamor ikan nila telah didorong oleh berbagai pengembangan riset dan teknologi, kebijakan, serta kondisi pasar. Berikut kilas perjalanannya.

Dampak perbaikan genetik

Skema transfer nila bergenetik unggul ini tidak berhenti di tahun 1969. Berbagai varietas seperti nila hitam Chitralada, nila merah NIFI, dan nila GIFT turut didatangkan dari negara lain untuk menggenjot produktivitas dalam negeri. Upaya pemitakhiran genetik tersebut berhasil menjadi faktor terbesar meningkatnya produksi nila di kemudian hari.

Berkat pemanfaatan varietas unggul tersebut, produksi nasional nila telah meningkat sebanyak 180 kali lipat dari tahun 1975 hingga 2000. Dari hanya 225 ton hingga menyentuh 40,8 ribu ton. Pola kenaikan produktivitas karena adanya strain unggul ini tidak hanya ditemui di Indonesia, melainkan di negara-negara penghasil nila terbesar lain seperti Thailand, Cina, dan Filipina.

Genetik dan varietas unggul menjadi kunci masifnya perkembangan nila di Indonesia. ©Asep Bulkini

Genetik dan varietas unggul menjadi kunci masifnya perkembangan nila di Indonesia. ©Asep Bulkini

Angka itu terus berganda seiring dengan masuknya strain-strain lain seperti nila JICA dan GET pada tahun 2002. Adanya kemajuan dari riset nila unggul nasional juga menjadi akselerator pertumbuhan produksi. Hasil riset seperti strain Nirwana dan GESIT telah dikenalkan oleh instansi dalam negeri pada 2006. Sifat-sifat unggul dari berbagai varietas tersebut juga sukses mencetak produksi nila hingga 429 ribu ton pada akhir 2010.

Baca juga: Sejarah ikan nila: Dari mujair hingga strain unggul lokal (Part 1)

Intensifikasi budidaya

Selain strain unggul, aspek penunjang produktivitas nila lainnya adalah sistem budidaya dan intensifikasinya. Pada kurun waktu 1970-1980, ikan nila sudah dibudidayakan dengan berbagai media antara lain kolam tanah, kolam air deras, mina padi, dan perairan umum. Budidaya nila serta mujair telah tersebar di danau seperti Lindu (Sulawesi Tengah), Limboto (Gorontalo), dan Tondano (Sulawesi Utara); beberapa waduk seperti Jatiluhur, Saguling, Cirata di Jawa Barat, dan waduk Selorejo (Malang). 

Perkembangan sistem budidaya di perairan umum diawali dengan sistem jaring ganda, atas dan bawah. Umumnya jaring atas diisi dengan ikan, sedangkan bagian bawah diisi nila. Sistem ini dianggap mampu mengoptimalkan penggunaan pakan karena nila di jaring  bawah memakan pakan ikan mas yang tidak termakan. Selain itu, kedua ikan tersebut meruapakn komoditas paling dominan saat itu.

Sistem selanjutnya yang punya peran dalam perkembangan nila adalah polikultur. Sistem ini menerapkan pemeliharaan dua atau lebih komoditas yang saling mendukung dalam satu wadah. Polikultur secara tidak langsung memperluas praktik budidaya nila, karena spesies ini bisa tumbuh baik dengan spesies lainnya seperti udang windu, bandeng, rumput laut, maupun vaname.

Terbaru adalah budidaya nila dengan sistem yang lebih intensif seperti bioflok dan recirculated aquaculture system (RAS). Metode tersebut, yang disertai penggunaan bibit unggul, turut mendorong produksi nila hingga menyentuh 1,17 ton pada 2018.

Dukungan kebijakan pemerintah

Seiring dengan perkembangan varietas unggul lokal tersebut, ikan nila kian dilirik pemerintah sebagai komoditas perikanan andalan. Dengan begitu, ikan nila cukup sering digunakan dalam program-program pembangunan. Hal yang turut menjadi faktor pertumbuhan komoditas ini. Salah satunya melalui program Minapolitan. Program pembangunan kawasan ekonomi kelautan dan perikanan dengan berfokus pada perikanan budidaya, perikanan tangkap, pengolahan, dan kombinasi ketiganya. 

Baca juga: Lima komoditas perikanan strategis di masa depan

Strategi utama dari program ini adalah pengembangan sumber daya manusia serta peningkatan produksi sektor kelautan dan perikanan agar menjadi penggerak ekonomi lokal. Program ini pertama kali diluncurkan pada tahun 2010. Pada saat itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan total 223 kawasan dari 33 provinsi yang akan dikembangkan menjadi Kawasan Minapolitan hingga pada tahun 2014. Tak sedikit dari kawasan-kawasan tersebut yang kemudian menetapkan ikan nila sebagai komoditas utamanya.

Kolam budidaya ikan nila sistem air deras di Subang, Jawa Barat. ©Asep Bulkini

Kolam budidaya ikan nila sistem air deras di Subang, Jawa Barat. ©Asep Bulkini

Kebijakan Minapolitan kembali dilaksanakan pada awal 2014. Jumlah kawasan berubah menjadi 202 lokasi dengan pembagian lokus kegiatan utama: perikanan budidaya sebanyak 145 lokasi dan perikanan tangkap sebanyak 57 lokasi. Konsep pembangunan kawasan ekonomi kelautan dan perikanan ini kemudian diadaptasi dan diimplementasikan kembali pada tahun 2022 dengan nama baru Kampung Perikanan Budidaya (KPB) dan Kampung Nelayan Maju (Kalaju)

Pada tahun tersebut, pemerintah dalam hal ini KKP menetapkan 124 lokasi KPB yang tersebar di 33 provinsi. Dari jumlah tersebut, tercatat 28 lokasi memilih ikan nila sebagai komoditas utamanya. Kebijakan KPB pun juga berlanjut hingga 2023 dengan penambahan kawasan menjadi 210 lokasi. Lokasi yang menggunakan komoditas utama ikan nila pun turut bertambah menjadi 50 lokasi.

Selain itu, kebijakan yang turut memasifkan budidaya nila yaitu Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan. Tujuan percepatan tersebut adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sektor perikanan, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, serta meningkatkan devisa negara. Dengan adanya instruksi tersebut, KKP turut menetapkan 50 lokasi sentra budidaya dengan lima komoditas utama, yang salah satunya adalah ikan nila. Instruksi tersebut juga dialamatkan pada kementerian lain untuk mempercepat laju dinamika industri perikanan.

Program-program berbasis kawasan ini tentu sangat mendorong perkembangan dan penyebaran komoditas nila di Indonesia. Masyarakat juga turut mendapat pelatihan dan penyuluhan terkait teknis serta aspek bisnis dalam membudidayakan nila.

Baca juga: Bioflok nila hemat, tanpa tambahan probiotik dan molase

Produktivitas provinsi

Dengan eskalasi yang begitu cepat, ikan nila menjelma menjadi komoditas unggulan di berbagai provinsi. Bahkan di beberapa provinsi, produksi nila sangat tinggi hingga mendominasi produksi nasional. Berikut 10 provinsi produsen nila yang mencakup 82,01% total produksi Indonesia pada tahun 2021.

ProvinsiProduksi Nila (Ton)Persentase dari Produksi Nasional
Jawa Barat270.925,0320,83%
Sulawesi Utara178.699,7613,74%
Sumatra Utara120.592,529,27%
Sumatra Barat113.638,188,74%
Jawa Tengah102.013,127,84%
Bengkulu88.468,506,8%
Sumatra Selatan59.157,114,55%
Jawa Timur54.450,524,19%
Nusa Tenggara Barat43.199,463,32%
Kalimantan Tengah35.432,272,72%

 

Provinsi Jawa Barat memberikan kontribusi terbesar dengan capaian produksi sebesar 270,9 ribu ton. Tingginya produksi terjadi karena perkembangan teknologi dan sistem budidaya. Masyarakat Jawa Barat telah mengaplikasikan budidaya ikan nila pada berbagai bagan seperti sungai, tambak, dan waduk.

Area budidaya nila keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba, Sumatera Utara. ©Asep Bulkini

Area budidaya nila keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba, Sumatera Utara. ©Asep Bulkini

Budidaya ikan nila di sungai atau sekitarnya dilakukan dengan sistem keramba (cage culture) dan kolam air deras. Sistem keramba banyak diaplikasikan di aliran sungai yang tenang dan landai dengan menginstalasi wadah budidaya yang umumnya terbuat dari kayu atau bambu. Sementara pada aliran sungai yang lebih deras biasanya dimanfaatkan untuk sistem kolam nila air deras, sepertinya yang banyak ditemui di Subang. Selain itu, tambak-tambak yang ada di pesisir pantai utara (Pantura) Jawa Barat juga banyak digunakan untuk budidaya ikan nila. Masyarakat membudidayakan nila bersamaan dengan udang dalam sistem polikultur.

Produksi nila yang signifikan di Jawa Barat juga berbanding lurus dengan banyaknya waduk seperti Waduk Cirata, Saguling, dan Jatiluhur. Penampang air yang besar ini juga digunakan sebagai wadah budidaya ikan nila menggunakan sistem keramba jaring apung (KJA). 

Tak hanya dari aspke ketersediaan lahan, produksi tinggi selalu mengimplikasikan permintaan yang tinggi pula. Ikan nila dan mujair ternyata adalah ikan yang disukai oleh mayoritas masyarakat Jawa Barat. Menurut data yang diolah Suhana, rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di Jawa Barat, pada tahun 2021, kurang lebih sebesar Rp250 ribu. Sebanyak 18,58% dari pengeluaran tersebut, digunakan untuk membeli ikan mas dan nila. Diikuti oleh ikan mujair sebanyak 11,61%.

Metode budidaya nila di perairan umum yang luas juga terjadi di Sumatera Utara, tepatnya di Danau Toba. Bedanya, selain pembudidaya lokal yang memproduksi nila untuk kebutuhan lokal, di Danau Toba juga terdapat dua perusahaan besar perikanan yang memproduksi tilapia untuk kebutuhan ekspor ke Amerika Serikat dan Kanada. Tilapia ekspor asal Danau Toba berkontribusi sebesar 91,66% terhadap nilai ekspor nila tahun 2020 yang mencapai USD78,44 juta. Nilai tersebut setara dengan volume ekspor sebesar 12,29 ribu ton.

***

Penulis: Aditya Mukti Pramana
Editor: Asep Bulkini