Pernikahan, bagi banyak orang, bukan sekadar seremoni atau janji di hadapan penghulu. Ia adalah simbol harapan, awal perjuangan hidup bersama. Tapi bagaimana jika lamaran tidak datang dengan cincin emas atau mobil mewah—melainkan dengan “segenggam rumput laut”? Tentu melamar atau menikah tanpa menggunakan uang atau emas itu dibolehkan dalam ajaran Islam, asalkan tetap memenuhi syarat sah pernikahan, terutama soal mahar (maskawin)—dan mahar tidak harus berupa uang atau emas dan mahar hak mutlak bagi mempelai wanita.
Al- Qur’an telah menegaskan bahwa: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS An-Nisa: 4)
Dalam ayat ini tidak disebut bentuknya—yang penting diberikan secara penuh kerelaan dan sebagai penghormatan kepada perempuan.
Di sisi lain, dalam hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: “Carilah mahar, walaupun hanya berupa cincin dari besi.”
Bahkan dalam satu riwayat, Nabi Muhammad SAW menikahkan seorang sahabat hanya dengan mahar berupa pengajaran Al-Qur’an, karena sahabat itu tidak punya apa-apa.
” Sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” (HR. Bukhari no. 5087)
Dari tinjauan keagamaan di atas nampak betapa fleksibelnya jenis mahar atau uang panai. Yakni dapat diberikan dalam bentuk uang, benda, atau bahkan jasa sekalipun.
Nah, di tengah situasi ekonomi yang sulit yang tengah melanda negara ini, harga pangan yang terus meroket, dan ancaman gizi buruk yang mengintai anak-anak bangsa, rumput laut muncul sebagai harapan yang dapat menjadi solusi. Mungkin tidak seromantis dalam banyak film, tapi justru sangat relevan bagi masa depan. Maka, izinkan penulis sampaikan: Kupinang engkau dengan rumput laut—bukan hanya sebagai simbol cinta, tetapi juga sebagai janji untuk bersama menanam harapan, menyemai gizi, dan memanen masa depan yang lebih hijau.
Cinta yang tumbuh dari laut
Rumput laut bukan sekadar tanaman laut. Ia adalah anugerah yang tumbuh tanpa perlu pupuk kimia, tanpa butuh lahan subur yang diperebutkan, dan tanpa menyebabkan deforestasi. Dalam satu hektar laut, kita bisa menumbuhkan berton-ton gizi—protein, serat, mineral, bahkan antioksidan—yang mampu memperkaya nasi, menyehatkan tubuh, dan memperpanjang umur.
Bukan hanya orang Jepang dan Korea yang hidup lebih panjang karena konsumsi rumput laut, Kita pun bisa. Anak-anak pesisir Indonesia pun berhak atas masa depan yang lebih sehat. Maka rumput laut bukan hanya sumber ekonomi—ia juga simbol kasih sayang yang konkret: cinta yang memberi makan.
Pasangan berkelanjutan
Di zaman yang penuh tantangan ini, pasangan ideal bukan yang membawa kemewahan, melainkan visi keberlanjutan. Seorang lelaki yang datang membawa bibit Kappaphycus atau Gracilaria kepada calon mertuanya, mungkin terlihat aneh. Tapi sebenarnya, ia membawa janji ketahanan pangan. Ia menunjukkan bahwa ia siap menanam, merawat, dan memanen masa depan.
Rumput laut bisa dijadikan makanan bayi, camilan sehat, bahkan pengganti nasi tinggi gula, dalam bentuk olahan seperti mie, agar-agar, atau lauk sehat. Ia menawarkan cara baru untuk mencintai: mencintai tanpa menyakiti bumi.
Bayangkan juga jika setiap calon pengantin perempuan di Indonesia berkata, “Aku siap menikah, asalkan kita bersama menanam rumput laut.” Itu bukan syarat sulit. Itu syarat yang membangun keluarga sehat dan mandiri.
Kita tidak butuh janji manis di bibir. Kita butuh rencana menanam dan menuai. Kita butuh kesediaan memasak sup rumput laut untuk anak-anak di pagi hari. Kita butuh tekad untuk tidak tergantung pada pangan impor. Kita butuh cinta yang berakar, berdaun, dan tumbuh menghijaukan laut.
Jadi, Bolehkah Melamar dengan Rumput Laut?
Boleh, selama kedua belah pihak rela, dan rumput laut dijadikan mahar secara sah, atau setidaknya ada niat untuk menafkahi dan memulai hidup dari usaha yang halal, seperti budidaya rumput laut. Karena sesungguhnya, cinta sejati adalah yang memberi kehidupan—dan rumput laut, diam-diam, telah melakukannya sejak lama.
Bagaimana menyiapkan rumput laut sebagai mahar?
Bagi masyarakat pesisir, di mana erat kaitannya dengan rumput laut, dapat menjadikan budidaya rumput laut bukan hanya sebagai sumber penghidupan, tetapi juga sebagai lambang cinta yang suci dan produktif. Seikat rumput laut kering yang dibudidayakan dengan tangan sendiri bisa lebih bermakna daripada perhiasan dunia, sebab ia membawa pesan ketekunan, kerja halal, dan keberlanjutan. Lantas bagaimana membudidayakannya?
Jenis yang paling mudah dibudidayakan dan bernilai tinggi ialah Kappaphycus alvarezii atau lebih dikenal sebagai Kottoni. Berikut langkah ringkas budidayanya:
Pertama, pilih lokasi yang tepat. Perairannya jernih, tidak tercemar, salinitas 28–33 ppt, dan kedalaman minimal 1–2 meter saat surut. Arus air harus cukup mengalir namun tidak terlalu deras.
Kedua, siapkan alat dan bahan. Budidaya rumput laut dapat menggunakan metode tali panjang (long line). Gunakan tali nilon utama sepanjang ±50-100 meter, pelampung (buoy) yang saat ini layak digunakan untuk menggantikan pelampung botol plastik bekas yang boros dan tidak ramah lingkungan.
Buoy ini terbuat dari bahan yang lebih tahan lama seperti produk Aquatec yang telah mampu menghasilkan buoy berbahan High Density Polyethylene (HDPE). Produk ini dapat digunakan berulang kali hingga 20 -tahun. Selain pelampung, jangkar berbahan batu atau terbuat dari karung pasir perlu digunakan
Ketiga, pilih dan tanam bibir berkualitas. Pilih bibit yang sehat dari hasil panen yang baik. Potong bibit berukuran sekitar 10–15 gram, lalu ikat pada tali bentang dengan jarak antar tanaman 10–15 cm. Pastikan jarak antar tali bentang minimal 1 meter. Pasang tali sejajar dengan permukaan laut dan gunakan pelampung untuk menjaga kestabilannya.
Keempat, Rawat dengan sabar. Bersihkan bibit dari lumut atau kotoran minimal 2-3 hari sekali. Periksa tali dan pelampung agar tidak lepas dan ganti jika ada kerusakan. Catat juga pertumbuhan agar mudah dievaluasi.
Kelima,panen dan keringkan. Setelah 42–45 hari, rumput laut biasanya sudah siap dipanen. Cuci hasil panen dengan air laut yang bersih, lalu keringkan dengan cara digantung agar kering merata, atau bisa juga di atas para-para bambu. Hindari menjemur langsung di tanah agar mutu rumput laut tetap terjaga.
Penutup: Ketika cinta bertemu Ekonomi Biru
“Kupinang Engkau dengan rumput laut” adalah metafora sekaligus ajakan untuk memandang cinta, rumah tangga, dan masa depan bangsa dengan cara baru. Mari mulai gerakan cinta melalui pendekatan ekonomi biru seperti berbasis laut. Mari rayakan pernikahan bukan hanya dengan pesta—tapi dengan budidaya rumput laut yang baik untuk menghasilkan mahar berupa rumput laut berkualitas dan berkelanjutan melalui penanaman bibit, hingga pemanenan yang tepat.
***
Foto ilustrasi: AI Gemini



