Dalam industri perikanan, baik tangkap maupun budidaya, penanganan pascapanen mempunyai peran sangat penting. Proses ini bisa menjadi penentu apakah harga produk bisa bernilai lebih tinggi atau justru malah jatuh. Hal ini terjadi pada banyak komoditas, tidak terkecuali rumput laut. Proses pascapanen rumput laut yang baik dan memenuhi standar industri tujuan, bisa meningkatkan nilai jual hingga berkali lipat. 

Maria Gigih Setiarti

Maria Gigih Setiarti

Dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh TSIN dan GQSP Indonesia bertema “Pesona Ulva: Pengembangan dan Pemanfaatannya”, pelaku usaha rumput laut, Maria Gigih Setiarti, berbagi pengalamannya dalam meningkatkan kualitas produk hasil rumput laut, khususnya spesies Ulva. Menurut perempuan yang akrab dipanggil Margi itu, meski Ulva memiliki potensi besar sebagai bahan baku bagi industri, seperti makanan dan kosmetik, namun nilainya kerap turun akibat kualitas yang buruk. Hal ini tentu menjadi kerugian, baik bagi pemasok maupun buyer-nya itu sendiri.

“Ada orang itu sudah beli sepuluh ton (rumput laut), ya. Tetapi kemudian yang bisa dipakai misalnya hanya satu ton. Nah, ini yang kami temui di lapangan begitu,” ujar Margi. 

Ada rupa ada harga

Dalam contoh Ulva, rumput laut yang dikenal juga sebagai sea lettuce ini punya karakteristik yang khas, yang bisa menjadi parameter kualitasnya. Menurut Margi, Ulva yang bagus berwarna hijau cerah dan mempunyai aroma yang unik. Kedua kriteria itu biasa dijadikan acuan buyer dalam menilai kualitas Ulva sebagai bahan baku. Jika penanganan pascapanennya buruk, warna Ulva bisa pucat dan aromanya pun hilang. 

Pada tahun 2017, Margi telah mulai melakukan pendampingan kepada para pengepul Ulva di Situbondo, Jawa Timur, dengan langkah awal mencatat apa saja yang menyebabkan kualitas Ulva menurun. Para pengepul Ulva di Situbondo saat itu sebenarnya sudah bisa memanen Ulva dalam jumlah besar dan sudah memiliki pasar sendiri. Namun kata Margi, buyer ingin kualitas bahan baku Ulva tersebut ditingkatkan agar sesuai dengan standar industri.

“Nah, itulah yang kemudian jadi PR kami juga, bagaimana mendampingi teman-teman pengepul di lapangan supaya hasilnya bisa lebih baik. Waktu itu, di lapangan kami sempat berbicara dengan dua buyer dari negara berbeda, satu dari Korea, satu lagi dari Cina. Dan keduanya tidak bisa bahasa Indonesia, bahkan bahasa Inggris pun tidak. Jadi, kami pakai Alfalink untuk berdiskusi. Alhamdulillah, akhirnya tetap bisa tercapai kesepakatan, terutama soal harga. Katanya, kalau kualitasnya lebih bagus, bisa dibayar Rp4.000/kg (dari awalnya sekitar Rp1.000/kg),” ujarnya.

Pascapanen yang buruk

Dari hasil pengamatan Margi di lapangan, ia menemukan bahwa Ulva segar yang baru dipanen umumnya dihamparkan langsung di atas pasir. Hal ini membuat pasir-pasir tersebut menempel pada Ulva dan terbawa pada proses selanjutnya. Setelah diletakkan di pasir, Ulva kemudian dikeringkan di atas terpal yang menempel pada pasir. Proses penjemuran Ulva seperti itu rawan tercemar oleh binatang maupun sampah yang dihasilkan masyarakat sekitar. 

Selain itu, proses pengeringan Ulva juga biasanya dilakukan masih dalam lembaran-lembaran yang tebal. Hal ini menyebabkan proses pengeringan menjadi lama, tidak merata, dan menyisakan kelembaban. Apalagi jika proses pengeringan tidak sempurna akibat hujan, yang memaksa Ulva segera diangkat. Kondisi ini, kata Margi, yang menyebabkan aroma khas Ulva bisa hilang dan membuat harga Ulva jadi lebih rendah dari seharusnya. Bahkan ia menilai jika harga jual yang rendah itu lebih cocok disebut sebagai upah, alih-alih sebagai nilai jual rumput lautnya itu sendiri.

Baca juga:
1. Mengangkat nilai tambah rumput laut ala Maria Gigih Setiarti
2. Garam rumput laut rendah natrium, solusi mengatasi hipertensi di Indonesia
3. Saatnya superfood rumput laut jadi bagian Makan Bergizi Gratis
4. Sarapan rumput laut bersama Presiden: Sebuah harapan nyata

Mulai dari hulu

Setelah memahami permasalahan pascapanen saat itu, Margi mulai melakukan percobaan perbaikan mulai dari hulu sekaligus, yaitu dari bagaimana rumput laut Ulva diproduksi. Menyadari Ulva banyak tumbuh di tali-tali bekas kapal, ia sempat mencoba menggunakan tali-tali tersebut sebagai media tumbuh Ulva. Sebelum digunakan, tali-tali tersebut terlebih dulu diberi pupuk untuk merangsang pertumbuhan Ulva agar lebih banyak.

“Ketika itu, kami menggunakan tali kapal yang kami rendam dulu dengan pupuk, kemudian kami haluskan, kami semprotkan, kami rendam lagi. Ternyata juga hasilnya lumayan bagus dan berhasil,” ungkapnya.

Budidaya Ulva pada bak berpotensi hasilkan lima kali lipat dari bobot tebar awal. ©Maria Gigih

Budidaya Ulva pada bak berpotensi hasilkan lima kali lipat dari bobot tebar. ©Maria Gigih

Meskipun hasilnya cukup menjanjikan, inisiatif ini sempat terhenti akibat pandemi COVID dan keterbatasan dana. Baru kemudian, Margi mencoba melakukan uji coba budidaya Ulva di kolam dengan pendampingan dari UNIDO. Ia masih menggunakan bibit Ulva langsung dari alam, dan setelah beberapa kali percobaan, hasilnya mampu mencapai tiga kali lipat dari saat tebar. Namun, menurutnya capaian itu masih belum sesuai target, yaitu lima kali lipat.

“Sebenarnya mencari bibit tidak terlalu sulit. Kami mengikuti saran Pak Lideman (peneliti BRIN), simpulnya dibuang dulu lalu dibersihkan, semacam proses purifikasi. Setelah benar-benar bersih, barulah kami tebar ke dalam kolam. Kolamnya juga kami perbaiki sesuai arahan beliau, dan ternyata bentuk kolam itu sendiri sangat memengaruhi hasil,” terang Margi.

Perbaikan pascapanen

Dalam penanganan pascapanen Ulva, hal terpenting adalah menjaga warna hijau dan kebersihannya hingga sampai ke tangan pembeli. Menurut Margi, Ulva sebaiknya dipanen pada usia yang cukup, ditandai dengan panjang sekitar 15–20 cm. Setelah dipanen, Ulva harus dicuci sampai benar-benar bersih dari kotoran, lalu dibuat tipis-tipis agar mudah kering saat dijemur di bawah sinar matahari terik.

“Nah, kemudian dijemur di bawah matahari terik. Jadi kami sudah mempelajari lagi. Kalau sebelumnya itu kami memang mencoba hanya angin-angin saja –tidak terkena sinar matahari, tetapi kami pelajari terus dan ternyata itu masih kurang baik hasilnya. Sehingga kami memastikan bahwa lapisan Ulva itu harus tipis-tipis agar cepat kering,” ungkap Margi.

Setelah penjemuran, proses selanjutnya adalah pengeringan di suhu ruang agar suhu Ulva kembali normal setelah dijemur di bawah sinar matahari. Proses ini sangat penting untuk menghindari kelembaban atau berkeringat, akibat panas yang tertinggal di dalam Ulva. 

Proses pascapanen yang baik bisa tingkatkan kualitas dan nilai jual Ulva. ©Maria Gigih

Proses pascapanen yang baik bisa tingkatkan kualitas dan nilai jual Ulva. ©Maria Gigih

Setelah itu, barulah proses pengepakan. Untuk memudahkan pendataan stok, Margi biasanya menyeragamkan berat setiap wadah dan mencatat tanggal pengepakannya. Rumput laut sebaiknya dibungkus dua lapis. Lapis pertama menggunakan plastik transparan dan lapis kedua dengan plastik hitam. Plastik transparan berfungsi untuk menahan tingkat kelembaban dan kekeringan Ulva. Sementara plastik hitam yang kedap cahaya berfungsi untuk menjaga warna Ulva agar tidak pudar. Di sisi lain, Margi menekankan bahwa plastik hitam tidak bisa langsung digunakan untuk membungkus rumput laut karena alasan keamanan pangan. Sebab menurutnya, plastik hitam merupakan “plastik sampah”.

Terakhir, proses pascapanen yang disarankan Margi adalah cara penyimpanan yang tepat. Ulva yang sudah di-packing sebaiknya disimpan di ruangan dengan rentang suhu  28-37 °C, memiliki sirkulasi udara yang, dan mendapat sinar sinar matahari yang cukup pada siang hari, untuk memastikan rumput laut tidak lembab dan tetap kering.

Fokus pasar lokal

Meski punya potensi di pasar ekspor, Margi lebih memilih fokus mengoptimalkan potensi pasar dalam negeri. Beberapa industri makanan dalam negeri sudah menggunakan Ulva sebagai salah satu bahan bakunya. Namun umumnya bahan baku itu masih diimpor. Ia ingin industri tersebut beralih dengan menggunakan bahan baku dari dalam negeri supaya perputaran ekonomi juga tetap terjadi di dalam negeri. Paling tidak bisa menggantikan 40 persen kebutuhan bahan baku tersebut. 

Nah, jadi itulah, kami sudah melayani kalau tidak salah lebih dari lima industri yang sudah rutin membeli (Ulva) kepada kami. Walaupun belum besar skalanya, tetapi itu disesuaikan juga dengan apa yang bisa kami kerjakan juga,” tutup Margi.

***

Penulis: Asep Bulkini

Foto utama: ©Maria Gigih