Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat (AS), pada tahun 2024, menemukan sejumlah udang beku, yang dikirim ke AS, mengandung antibiotik. Kejadian ini sesungguhnya adalah kasus yang berulang. 

Disinyalir bahwa alur masuk antibiotik dimulai dari hatchery (proses menghasilkan benur) dan saat dibesarkan di tambak. Penambahan antibiotik itu sengaja dilakukan sebagian kecil pelaku usaha agar bisa terhindar dari penyakit udang, yang saat ini masih menjadi persoalan fundamental. Dan ini fatal karena berdampak secara menyeluruh terhadap udang yang diproduksi dengan benar.

Pada tahun 2025, FDA kembali menemukan udang beku asal Indonesia telah terpapar radioaktif Cesium -137 (Cs-137). Temuan ini membuat heboh dan menambah daftar masalah upaya peningkatan daya saing dan kinerja industri udang nasional. Penelusuran menunjukkan bahwa udang yang terpapar radioaktif tersebut berasal dari industri prosesing udang yang berada dalam kawasan industri Cikande, Banten. Dan dalam kawasan itu, terdapat industri peleburan logam yang disinyalir sebagai asal muasal radiasi Cs-137. 

Kita sangat prihatin dengan isu radioaktif dan antibiotik, karena bisa membahayakan kesehatan manusia. Selain itu akan berdampak terhadap berkurangnya permintaan dan harga pembelian udang asal Indonesia yang saat ini sudah mulai sangat dirasakan. 

Dampak lanjut dari kasus itu bisa mengancam tutupnya sejumlah usaha berkaitan dengan industri udang di sektor hulu maupun hilir. Sementara itu komoditi ini menjadi andalan sektor perikanan dalam penerimaan devisa maupun penyerapan tenaga kerja. 

Berkaitan dengan hal itu, volume ekspor udang beku segar dan olahan Indonesia pada tahun 2024 mencapai 200 ribu ton, dengan devisa US$ 1,68 miliar (hampir 40% dari total penerimaan devisa sektor perikanan).  Diperkirakan 63% udang Indonesia masuk ke pasar AS dan 19% ke Jepang. Sisanya masuk Uni Eropa dan negara lain, termasuk Tiongkok. Ironinya volume ekspor tahun 2024 menurun dibanding ekspor tahun 2021 yang mencapai 240 ribu ton. 

Penurunan itu  antara lain disebabkan menurunnya produksi karena serangan berbagai penyakit udang yang belum teratasi, konversi lahan menjadi peruntukan lain, serta tutupnya usaha tambak karena penerapan zonasi yang tidak berpihak

Pembenahan menyeluruh

Temuan FDA, tersebut telah dipublikasikan secara terbuka. Dan menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan, sehingga perlu segera dilakukan upaya yang strategis untuk pembenahan. Pembenahan tidak bisa lagi dilakukan secara parsial dan setengah-setengah. Namun sudah harus holistik dan totalitas pada sektor hulu maupun hilir melalui penerapan standarisasi, pembinaan, dan pengawasan serta sanksi. 

Baca juga:
1. Masihkah udang Indonesia kompetitif di tengah banyak ketidakpastian?
2. Catatan Dr. Hasanuddin Atjo pada Rakernas SCI dan Farm 2025: Semua harus peduli
3. FARM 2025: Momentum perkuat solidaritas antar-stakeholder industri udang

Pembenahan di sektor off-farm bagian hulu hulu dimulai dengan mendorong investasi swasta untuk membangun industri induk, dalam hal ini NBC (Nucleus Breeding Center), yang berfungsi sebagai fasilitas rekayasa genetik. Selanjutnya, secara simultan didorong investasi BMC (Breeding Multiplication Center) sebagai fasilitas yang berfungsi memperbanyak induk yang berasal dari NBC.

Industri induk sangat penting dalam upaya meningkatkan produksi dan ekspor udang. Selama ini induk udang jenis Vaname sebagian besar harus didatangkan dari NBC-BMC di Hawaii dan Florida dengan ongkos logistik yang cukup tinggi.  Investasi industri pakan induk udang, berupa cacing laut Polychaeta hasil budidaya dan bebas penyakit, juga sangat mendesak. Mengingat saat ini hampir semua hatchery udang hanya mengandalkan cacing hasil tangkapan alam yang tidak steril, karena telah terkontaminasi penyebab penyakit virus dan bakteri. Sementara itu, impor cacing beku steril harganya cukup mahal.

Hatchery sebagai penghasil benur mesti distandarisasi. Harus ada pembinaan dan pengawasan terhadap unit produksi benur. Hatchery yang belum terstandarisasi seharusnya tidak diperkenankan untuk memproduksi benur.

Di sektor on-farm (budidaya) harus terbangun satu budaya mitigasi. Pembudidaya harus mengecek kesehatan benur sebelum ditebar, mengingat benur yang beredar sebagian besar dalam kondisi tidak sehat, terkontaminasi bakteri dan virus.  

Pemerintah juga sebaiknya mendorong budaya menabur benur ukuran juvenil (berat antara 0,3 -0,5 gr per ekor). Karenanya, perlu investasi pembangunan nursery yang terstandar, agar dapat memproduksi benur ukuran 0,3 – 0,5 gr.  Dan sebelum ditabur kembali dicek kesehatannya.

Teknologi treatment air baku untuk budidaya perlu menjadi perhatian. Inovasi ciptakan infrastruktur sterilisasi air dalam negeri yang murah seperti teknologi UV serta elektrolisis perlu didorong agar tidak lagi menggunakan bahan kimia. Budaya membangun instalasi pengolahan air buangan dari tambak perlu terus didorong agar peningkatan kandungan bahan organik di laut (pada air sumber budidaya) mampu ditekan.

Pada sektor off-farm bagian hilir, standarisasi pabrik olahan dan penerapan SOP (standard operating procedure) perlu dievaluasi dan dibina serta diawasi. Selanjutnya investasi untuk memenuhi standarisasi itu juga tentu diperlukan. 

Budaya menguji mutu bahan baku udang sebelum diproses mutlak dilakukan oleh pabrik pengolahan. Bahkan sebelum dipanen di tambak, sebaiknya upaya ini dilakukan agar bisa mengurangi risiko serta menciptakan efek jera. Meningkatkan mutu produk dan membuka pasar baru serta memperbesar volume ekspor ke Tiongkok, Jepang dan Uni Eropa menjadi salah satu strategi mengurai akan ketergantungan ke pasar AS. 

Dukungan regulasi sangat diperlukan guna membangun daya saing industri udang nasional. Tanpa dukungan tersebut pelaku usaha tidak mampu membangun daya saing industrinya

Regulasi harus mendukung 

Penggelontoran dana sebesar Rp 200 triliun kepada bank operasional dinilai sebagai peluang bagi pelaku industri di udang sektor off- farm dan on-farm guna memperbaiki kinerjanya.

Selanjutnya regulasi zonasi diharapkan bisa diterapkan secara tegas agar tidak lagi terjadi tumpang tindih bisnis yang merugikan satu dengan lainnya. Kasus radiasi Cs-137 menjadi satu diantara contoh kasus. 

Kemudahan perizinan juga menjadi soal yang dikeluhkan sejumlah pelaku usaha. Pola jemput bola sebagai bagian dari pelayanan prima perlu diterapkan agar semangat berinvestasi terus menerus berkembang.

Koordinasi antarstakeholders

Kolaborasi antara pemerintah, praktisi dan asosiasi, serta akademisi juga sangat perlu dibangun. Jangan hanya karena ada masalah serius, koordinasi secara buru-buru dilakukan. Membentuk satgas percepatan daya saing industrialisasi udang di tingkat pusat maupun daerah perlu dibangun. Bila perlu dalam bentuk instruksi Kepala Negara.  

Terakhir, bahwa pendidikan vokasi dan lembaga lain seperti balai pelatihan peningkatan kapasitas dan pengetahuan sumber daya manusia (SDM) perlu diseriusi dan digalakkan, karena SDM juga menjadi salah satu soal fundamental dalam upaya meningkatkan daya saing industrialisasi.

***
Penulis: Dr. Hasanuddin Atjo
Editor: Asep Bulkini