Asosiasi perudangan nasional Shrimp Club Indonesia (SCI), bersama asosiasi dan para pemangku kepentingan industri udang lainnya, melakukan diskusi dan deklarasi bertema “Industri Udang Berkelanjutan Tanpa Antibiotik”, di Hotel Mercure Jakarta Cikini, pada Jumat 21 Maret 2025. 

Deklarasi yang berbarengan dengan acara buka puasa bersama ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing udang Indonesia di pasar global. Deklarasi ini juga menegaskan kembali komitmen yang sama untuk tidak menggunakan antibiotik pada budidaya udang, yang pernah dibuat para pelaku usaha dua dekade silam.

Dokumentasi sosialisasi "No Antibiotik" untuk tambak udang

“Ini adalah sebuah perjuangan para senior dan pendahulu kita. Sebagian juga ada hadir di sini. Pada tahun 2006, kita sudah pernah mendeklarasikan dan berkomitmen di Situbondo. Pada waktu itu kita sudah berkomitmen untuk melawan atau memastikan untuk tidak menggunakan antibiotik dalam budidaya udang. Pada hari ini kita pertegas kembali komitmen tersebut, supaya hari ini dan seterusnya tidak ada lagi kata antibiotik dalam budidaya udang.” ujar Direktur Eksekutif SCI, Rully Setya Purnama, dalam sambutannya.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Tb Haeru Rahayu, mengatakan bahwa inisiatif penegasan kembali komitmen budidaya udang tanpa antibiotik sejalan dengan langkah pemerintah dalam mengembangkan akuakultur yang berkelanjutan. Pemerintah telah memiliki seperangkat aturan yang tegas melarang penggunaan antibiotik dalam budidaya. 

“Tugas kami adalah memproduksi dan menerbitkan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria). Kita selalu perbarui peraturannya, Permen-nya (Peraturan Menteri), dan seterusnya. Kita selalu libatkan semua stakeholder supaya hasilnya sesuai dan komprehensif, tidak bongkar pasang terus. Dan kita sudah sama-sama menandatangani (komitmen). Artinya itu menguatkan kembali bahwa kita peduli dengan kualitas dari produk yang kita buat, kita ciptakan, kita budidayakan. Supaya kesehatan konsumen ini bisa kita pastikan aman,” terang Tebe. 

Stakeholders tetap sepakat untuk melanjutkan budidaya udang tanpa antibitoik. ©Asep Bulkini

Stakeholders tetap sepakat untuk melanjutkan budidaya udang tanpa antibitoik. ©Asep Bulkini

Memenuhi Standar Pasar Global

Penguatan komitmen tanpa antibiotik juga merupakan upaya meningkatkan daya saing udang Indonesia di pasar global, terutama di pasar yang ketat seperti Uni Eropa (UE).  Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), Budhi Wibowo, menyatakan bahwa UE merupakan pasar udang strategis bagi Indonesia meski persentasenya masih relatif kecil dibanding total ekspornya. 

“Meski saat ini pangsa pasar UE kurang dari 5% dari total ekspor udang Indonesia, tapi UE merupakan barometer pasar perikanan dunia. Kami sangat khawatir jika udang Indonesia tidak diperbolehkan ekspor ke UE. Selain kita berpotensi kehilangan pasar UE yang sangat besar, ada kemungkinan pembeli dari negara lain akan mempertanyakan hal tersebut, dan ikut tidak membeli udang dari Indonesia. Oleh karena itu, kami sangat berharap pemerintah dengan dukungan seluruh stakeholder berupaya keras meyakinkan UE agar udang Indonesia tetap diperbolehkan ekspor ke UE,” kata Budhi.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Pangan (Kemenko Pangan), Dandy Satria Iswara, dalam sambutannya menyampaikan bahwa pihaknya tengah bekerja sama dengan Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (Badan Mutu) KKP dalam meningkatkan posisi udang Indonesia di pasar UE, berkaitan dengan regulasi keamanan pangan yang bebas antibiotik pada produk-produk berbasis hewan –termasuk akuakultur, yang diekspor ke UE. “Kami juga berkoordinasi dengan KBRI Brussel. Mereka sangat mengusahakan supaya jika aturan ini diimplementasikan, tidak akan mengganggu ekspor Indonesia ke sana (UE),” ujar Dandy.

Momentum Menerapkan Akuakultur Berkelanjutan

Ketua Bidang Sub-unit Obat Ikan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi), Abung Maruli Simanjuntak, menyampaikan bahwa acara deklarasi penguatan komitmen ini bisa menjadi momentum bagi industri udang untuk menerapkan praktik budidaya berkelanjutan.

“Dari deklarasi pertama, kita sudah berhasil dua puluh tahun (tanpa antibiotik). Dengan komitmen ini dan dukungan semua pihak kita yakin bisa terus berjalan. Yang harus kita lakukan saat ini adalah perbaikan SOP budidaya. Banyak petambak udang yang sudah berhasil dengan perbaikan SOP, mulai dari perbaikan infrastruktur sampai teknis operasional budidayanya perlu dilakukan berbasis data dan science,” ujar Abung.

Penggunaan antibiotik dalam akuakultur hanya akan menimbulkan masalah baru, karena patogen akan cenderung semakin resisten dan berpotensi memunculkan penyakit baru yang lebih ganas. Abung menyampaikan Asohi siap bekerjasama dengan stakeholder budidaya, perusahaan yang tergabung dalam asosiasi serta pemerintah untuk terus bersama-sama menjaga komitmen ini.

Dirjen Perikanan Budidaya KKP Tb Haeru Rahayu menandatangani deklarasi budidaya tanpa antibiotik. ©Asep Bulkini

Dirjen Perikanan Budidaya KKP Tb Haeru Rahayu menandatangani deklarasi budidaya tanpa antibiotik. ©Asep Bulkini

Sementara itu, Ketua Umum SCI, Prof. Andi Tamsil, menegaskan bahwa SCI akan terus memastikan tidak ada anggota SCI yang menggunakan antibiotik karena asosiasi selalu memantau dan mengontrol para anggotanya. Selain dapat menyebabkan resisten, penggunaan antibiotik juga merugikan konsumen. 

Andi berharap pemerintah dapat melakukan beberapa upaya preventif seperti membuat peraturan yang lebih tegas melarang penggunaan antibotik dan memantau input-input produksi maupun residu pada hasil budidaya secara rutin. “Siapa saja yg melanggar harus ditindak tegas, karena dampaknya sangat besar bagi industri budidaya udang dan akan berdampak pada penerimaan devisa negara,” ujar Andi.

Acara diskusi dan deklarasi ditutup dengan penandatanganan komitmen oleh perwakilan beberapa pemangku kepentingan, antara lain Kemenko Pangan, SCI, KKP (DJPB, PDSKP, PSDKP, dan Badan Mutu), Badan Karantina Indonesia, Petambak Muda Indonesia (PMI), Asohi, AP5I, Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Forum Udang Indonesia (FUI), Forum Komunikasi Pembenihan Udang Indonesia (FKPUI), dan Farmers Learning Club (FLC).

***