Menjawab tantangan yang dinamis di industri akuakultur, seperti isu keamanan pangan, lingkungan, hingga perdagangan, U.S. Soybean Export Council (USSEC) mengadakan acara USSEC Southeast Asia Aquaculture Certification Workshop 2025 di Ho Chi Minh, Vietnam, beberapa waktu lalu (6/9). Acara ini dihadiri oleh para stakeholder hulu-hilir akuakultur dari beberapa negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Vietnam, Thailand, hingga Filipina.
Sejak awal 2000-an, sertifikasi akuakultur telah berevolusi dari sekadar fokus pada keamanan pangan menjadi instrumen penting untuk membuka akses pasar ekspor, mendorong praktik berkelanjutan, sekaligus merespons isu sosial dan lingkungan. Meski sempat menuai kritik, sertifikasi kini dipandang sebagai syarat dasar menjangkau konsumen utama, sekaligus strategi membangun daya saing non-harga di tengah tantangan baru seperti tarif perdagangan global.
Dalam keynote speech, Corey Peet, Vice President of Sustainability di Aqua Star, menegaskan bahwa meski tidak sempurna, sertifikasi seafood akan tetap ada dan terus berkembang. Sertifikasi tidak lagi semata label keberlanjutan untuk akses pasar, tetapi juga menjadi alat penting dalam mengelola risiko. Menurutnya, pembeli tidak terlalu mempermasalahkan jenis sertifikasi, asalkan ada jaminan bahwa risiko sudah terkendali. Hal ini sekaligus membuka peluang untuk menemukan cara-cara baru dalam mengelola risiko di luar mekanisme sertifikasi yang sudah ada.
Di sisi lain, Corey juga menyoroti pandangan di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, yang menganggap membeli udang dari Asia bukan pilihan berkelanjutan karena bisa digantikan oleh produksi lokal. Narasi ini, menurutnya, keliru. Bukan soal keberlanjutan, melainkan soal bagaimana risiko dikelola. Selama manajemen risiko di negara produsen berjalan baik, produksi lokal maupun impor bisa berjalan berdampingan.
“Saat ini justru ada peluang bagi negara-negara seperti Vietnam, yang terkenal rapi dalam mengelola data, juga Indonesia dan Thailand, untuk menunjukkan jati diri mereka: inilah siapa kami, inilah bagaimana kami mengelola informasi, dan membuatnya lebih mudah bagi pembeli untuk terlibat. Sebab jika arus informasi itu bisa disediakan –meski saya tahu jauh lebih sulit dilakukan daripada sekadar diucapkan, maka Anda bisa membedakan diri, baik sebagai individu, perusahaan, maupun negara. Dan itu akan sangat penting,” ujar Corey.

Stephen Gunther
Ketelusuran menyelamatkan bisnis
Stephen Gunther, Director of Consulting and Applied Sciences Wittaya Aqua, memberikan pandangan mengenai pentingnya ketelusuran sebagai bagian dari sertifikasi, khususnya di industri pakan akuakultur. Ia membuka presentasinya dengan berbagi pengalamannya saat menangani kasus kontaminasi crystal violet pada ikan salmon asal Chili, yang ditemukan di pasar ritel di Inggris.
Sebagai bagian dari AquaChile, salah satu produsen salmon terbesar di Chili, Stephen kemudian melakukan investigasi panjang menelusuri asal kontaminasi mulai dari perusahaan budidaya, pakan, hingga bahan baku pakan, sebelum akhirnya ditemukan bahwa sumber masalah bukan berasal dari ikan atau pakan, melainkan dari tinta pada kemasan.
“Pesan pentingnya adalah, tanpa sistem ketertelusuran yang ketat di seluruh rantai pasok, kita tidak akan bisa menemukan jawabannya (asal kontaminasi). Akibatnya, retailer di Inggris bisa saja menarik produk dari rak, industri salmon Chili akan terkena masalah besar, dan kerugian finansial pun tidak terhindarkan. Karena itu, traceability adalah hal yang mendasar bagi keberlangsungan bisnis Anda,” kata Stephen.
Baca juga:
1. Panduan baru kurangi jejak karbon di industri udang
2. Masihkah udang Indonesia kompetitif di tengah banyak ketidakpastian?
3. Jejak karbon akuakultur: Sumber-sumber penghasil emisi dalam budidaya
Ketelusuran dalam akuakultur masih menjadi tantangan besar karena melibatkan banyak pihak, dari pembudidaya hingga supermarket. Peritel sendiri mulai menyadari bahwa sistem sertifikasi yang terlalu rumit sulit dijalankan, sehingga mereka lebih mendorong mekanisme sederhana yang memastikan produk aman, berkelanjutan, dan sesuai aturan ESG (environmental, social, and governance).
Menurut Stephen, salah satu solusi yang dinilai efektif adalah membangun sistem digital yang terstandar dan kolaboratif, tidak lagi hanya mengandalkan upaya perusahaan secara individual. Upaya ini sebaiknya dilakukan di tingkat negara agar seluruh industri bisa naik kelas, seperti yang didorong di Vietnam. Konsep ini juga bisa diadopsi oleh negara lain seperti Indonesia dan Thailand. Dengan kerja sama ini, Asia Tenggara punya peluang besar menempatkan produk perikanannya sebagai pilihan berkelanjutan di pasar global.
Peluang dan tantangan sertifikasi akuakultur
Selain paparan utama dari Corey dan Stephen, workshop ini juga menghadirkan tiga sesi panel. Dalam panel bertema Adaptive Strategies to Promote Aquaculture Certifications for Seafood Exports to U.S. Markets, Syamsul “Sam” Arifin dari Global Seafood Alliance (GSA) menjelaskan bahwa secara sederhana, seafood berkelanjutan berarti ikan berasal dari stok yang sehat dan dikelola dengan baik, serta ditangkap atau dibudidayakan dengan metode yang meminimalkan dampak lingkungan. Sertifikasi, kata dia, menjadi sarana penting untuk memastikan klaim keberlanjutan tersebut diakui secara global.
Tren penjaminan mutu pangan melalui sertifikasi juga mulai diadopsi oleh peritel lokal. Misalnya di Indonesia, ritel seperti Hero dan Superindo telah mewajibkan pemasok seafoodnya memiliki sertifikat yang diakui. Menurutnya, label atau logo sertifikasi di produk maupun menu restoran bisa meningkatkan kepercayaan dari konsumen.
Dalam sesi The Impact of Aquaculture Improvement Projects Toward Certifications, The Progress and Milestones, Kenidas Lukman dari Yayasan Sinergi Akuakultur Indonesia (YSAI) menyoroti tantangan besar penerapan sertifikasi di tambak-tambak skala kecil di Indonesia. Ia menyebut, perizinan yang rumit sering kali membuat persyaratan awal sulit dipenuhi. Selain itu, banyak tambak lama berada di kawasan dengan greenbelt yang sempit, sementara aturan ketenagakerjaan kerap tidak sejalan dengan standar sertifikasi.

Duangchai “Pla” Paungkaew dari Aquaculture Stewardship Council (ASC), dalam sesi terakhir Aquaculture Certifications for Smallholders: Better Approaches and Market Expectations, menyampaikan perlu adanya kesamaan persepsi tentang pembudidaya skala kecil. Sebab menurutnya, petambak kecil dalam kapasitas produksi juga tetap berpotensi memberikan dampak negatif untuk lingkungan. Karenanya pihaknya memiliki program khusus untuk petani skala kecil.
Binh Nguyen, Koordinator GSA Vietnam, menyampaikan bahwa, pendekatan sertifikasi untuk pembudidaya skala kecil dapat dilakukan melalui skema kelompok, klaster, ataupun model bertahap (stepwise modular). Sistem ini juga memungkinkan untuk patungan (cost sharing) maupun memanfaatkan sponsorship untuk pendanaannya. “Selain itu, ada juga berbagai alat pendukung lain, seperti teknologi digital, program peningkatan kapasitas, maupun kemitraan yang dapat membantu memperlancar proses tersebut,” ungkap Binh.
***
Editor: Asep Bulkini


