Pemerintah Indonesia tengah berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang unggul sebagai modal utama dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, dan dapat bersaing di berbagai bidang di level global. Namun ada tantangan serius bahwa sebanyak 17 juta warga Indonesia ternyata mengalami kekurangan gizi. Bahkan angka ini adalah yang tertinggi di ASEAN. Sehingga dalam Global Food Security Summit 2023, Indonesia menyatakan komitmennya untuk mengurangi prevalensi gizi buruk pada anak, sebesar 7% di tahun 2024.
Hal tersebut menjadi ironi saat dihadapkan dengan kenyataan bahwa Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan yang memiliki kekayaan alam dengan sumber daya protein hewaninya yang berlimpah. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, produksi perikanan Indonesia pada 2023, termasuk rumput laut, mencapai 24,74 juta ton.
Kecukupan gizi tentunya memiliki peran penting dalam membentuk kualitas yang unggul karena gizi yang baik akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan manusia dengan baik pula. Berdasarkan data BPS, tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh lulusan SD -dan tidak sekolah sama sekali-, sebesar 39,10%. Pemunuhan gizi yang kurang juga telah menyebabkan permasalahan seperti stunting atau kerdil pada anak-anak. Permasalahan ini dapat diatasi, salah satunya, dengan memenuhi kebetuhan protein bagi tubuh dengan baik.
Dalam sebuah wawancara di podcast IKAL Lemhannas, pakar ilmu pangan dan nutrisi manusia, Dr. Widodo Farid Ma’ruf menyatakan bahwa kebutuhan protein manusia dapat dipenuhi dari dua sumber, yakni protein hewani dan nabati. “Protein hewani dibutuhkan sekitar 15 persen. Ini diharapkan datang dari sektor perikanan. Namun tidak cukup jika kita hanya mengetahui jumlah kebutuhannya, tetapi juga (perlu mengetahui) kualitas seperti apa yang ada didalamnya, yang akan diserap oleh tubuh kita”, ungkapnya.
Menurut akademisi yang akrab disapa Mas Farid ini, konsumsi protein bisa dibagi menjadi dua perspektif, yaitu perspektif kuliner dan perspektif stunting. Dalam perspektif kuliner, masyarakat umumnya hanya berbicara tentang jumlah protein. Sedangkan dalam perspektif stunting, dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kandungan dan kualitas pada protein itu sendiri, yang salah satu fungsinya untuk pembaruan sel dan pertumbuhan. Oleh karena itu, dalam menangani stunting, penting untuk mengetahui apa dan bagaimana protein dapat memenuhi kebutuhan nutrisi manusia.
Penanganan pasca-panen tentukan kualitas nutrisi
Kandungan protein dalam suatu sumber pangan dapat dipengaruhi berbagai faktor. Pada olahan ikan misalnya, kualitas proteinnya sangat dipengaruhi oleh bagaimana penanganan pasca-panen bahan baku ikan tersebut. Jika kegiatan panen tidak dilakukan dengan baik, maka ada potensi kehilangan nilai nutrisi dari yang seharusnya, sebesar 40-60%. Termasuk kehilangan kandungan proteinnya. Oleh karena itu, kata Farid, perlu penanganan yang agar kualitas protein pada ikan tetap utuh.
Baca juga: Konsumsi ikan: Kunci mengatasi stunting dan meningkatkan gizi nasional
Selain itu, kualitas protein ikan juga sangat dipengaruhi oleh kondisi waktu dan suhu. Saat ikan mati, kualitasnya akan turun dengan cepat sehingga penanganan pasca-panen dengan persyaratan yang baik harus cepat dilakukan agar ikan tetap segar sebelum proteinnya mengalami denaturasi. Denaturasi protein adalah proses pemecahan protein yang melibatkan perubahan kimia, fisika dan biologi yang dapat menurunkan Net Protein Utilization (NPU). NPU sendiri merupakan perbandingan antara jumlah asam amino pada tubuh dengan jumlah protein yang dapat dicerna.
Pada waktu dan kondisi suhu tertentu, protein seperti myosin, actin, dan kolagen akan mudah mengalami denaturasi. Hal ini dapat menyebabkan perubahan fisik seperti rasa, juiciness, hingga tekstur ikan, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas ikan itu sendiri (Furuta et al. 2022).
Penanganan ikan pasca panen dilakukan dengan menerapkan Cold Chain System, yang artinya semua tahapan pemasaran dilakukan dalam kondisi suhu dingin. Berdasarkan panduan regional dari Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC), rantai dingin adalah bagian yang sangat esensial dalam menjaga keamanan pangan, kualitas, hingga nilai ekonomi produk ikan. Sistem rantai dingin ini dapat menekan kerusakan protein pada ikan selama masa penanganan dan pengolahan.
Menurut Farid, untuk menjaga kesegaran ikan hasil melaut, nelayan harus memiliki sistem pendingin dalam bentuk apapun, hingga -5 ⁰C. Sebab menurutnya, ikan mati sebaiknya tidak dibiarkan dalam suhu ruang selama lebih dari 7 jam, karena kandungan nutrisinya akan hilang. Namun yang menjadi tantangan nelayan adalah menyediakan es batu atau sistem pendingin lainnya, yang artinya juga menambah biaya produksi. Sementara tidak semua konsumen mau membayar lebih untuk upaya nelayan tersebut.
“Makanya edukasi kepada pembeli itu perlu. Perlu dikatakan bahwa ikan beku atau yang diberi es pendingin itu kualitasnya akan lebih bagus dari pada ikan yang digarami,” ujar pengajar di Universitas Diponegoro tersebut. Sehingga menurutnya, untuk mengatasi stunting, yang diperlukan bukan ikan asin, melainkan ikan yang masih sangat segar.
Ireland’s Seafood Development Agency merekomendasikan penggunaan suhu sekitar 0-4 ⁰C untuk menjamin kualitas ikan segar, dan minimal -18 ⁰C untuk produk frozen.
Ikan lokal segar pilihan ideal pengentasan stunting
Sebagian masyarakat mungkin memiliki persepsi bahwa ikan berkualitas tinggi itu hanya dimiliki ikan-ikan mahal seperti salmon, yang diimpor dari Norwegia. Namun menurut Farid, sebenarnya Indonesia juga memiliki beragam jenis ikan, yang nutrisinya tidak kalah dengan salmon, salah satunya ikan lemuru.
Ikan lemuru yang banyak ditemui di sekitar Banyuwangi ini, memiliki kandungan Omega-3 yang tinggi namun dengan harga yang jauh lebih terjangkau dibanding salmon, yaitu hanya sekitar Rp15-20 ribu/kg. Sementara harga ikan salmon bisa mencapai Rp350 ribu/kg.
Baca juga: Abon ikan Wadimah: Inovasi tiada henti UMKM produk perikanan
Oleh karena itu, menurut Farid, hal dasar yang perlu dilakukan untuk mengatasi stunting adalah dengan mengedukasi masyarakat bahwa sumber protein ikan untuk mengentaskan stunting, berbeda dengan ikan untuk konsumsi biasa. Untuk stunting, ikan yang terbaik adalah ikan yang paling segar, yang selalu ditangani dalam kondisi dingin. Atau jika tidak demikian, masyarakat bisa membeli ikan hasil budidaya yang masih hidup.
Ikan yang berkualitas tersebut, tentunya perlu diimbangi dengan ketersediaannya yang cukup dan dapat terjangkau oleh seluruh kalangan masyarakat . Jika hanya kualitas yang baik, tapi tidak bisa dijangkau secara luas oleh masyarakat, maka menurut Farid percuma saja. Permasalahan stunting yang jumlahnya cukup tinggi akan tetap sulit diselesaikan.
“Pangan yang berkualitas akan menciptakan manusia yang berkualitas. Input yang berkualitas akan menghasilkan output manusia yang berkualitas pula. Dan harus ada kesetaraan di dalamnya, agar menjangkau seluruh kalangan. Hal ini dapat dimulai dari lingkup kecil seperti desa, yang beberapa diantaranya telah menyuarakan tagline One Village One Product,” ungkap Farid.
Pengentasan stunting memang hanya dapat berhasil jika dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh bagian intersektoral, serta edukasi yang baik dan dipahami oleh masyarakat hingga menjadi kebiasaan untuk hidup lebih sehat. Dengan demikian, tahun 2045 kelak, 100 tahun setelah merdeka, Indonesia dapat secara nyata memiliki generasi emas yang unggul dan dapat bersaing di tingkat global.
Referensi
- Furuta A, Hamakawa Y, Ishibashi C, Mabuchi R, Tanimoto S. 2022. Effect of different heating conditions on protein composition in each muscle type of yellowtail (Seriola quinqueradiata). Fisheries and Aquatic Sciences. 25(1): 31-39.
- Cold Chain Management for Seafood (2017): Ireland’s Seafood Management Agency.
***
Penulis: Virta Rizki Hernanda
Editor: Asep Bulkini