Seiring dengan pesatnya perkembangan budidaya udang di seluruh dunia, berbagai inovasi sistem budidaya pun ikut bermunculan. Kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap isu keberlanjutan membuat inovasi-inovasi ini tidak hanya fokus pada peningkatan produktivitas, tetapi juga pada aspek keberlanjutan. Salah satu sistem budidaya udang yang mengutamakan keberlanjutan tersebut adalah Aquamimicry.

Dalam sebuah jurnal terbaru, yang ditulis oleh Mutum Deepti dkk., berjudul Aquamimicry (Copefloc technology): an innovative approach for sustainable organic farming with special reference to shrimp aquaculture, yang dipublikasikan dalam jurnal Blue Biotechnology, disebutkan bahwa aquamimicry adalah sistem budidaya yang menirukan sistem alami ekosistem perairan payau, dengan memanfaatkan beragam mikroorganisme. 

Secara spesifik, aquamimicry memanfaatkan zooplankton, khususnya copepoda, dan probiotik, khususnya Bacillus, sebagai tambahan pakan alami bagi spesies budidaya. Zooplankton dan probiotik tersebut dirawat perkembangannya dengan menjaga sumber karbonnya melalui pemberian fermentasi dedak padi atau dedak gandum.  

“Probiotik yang dicampurkan akan memfermentasi sumber karbon selama pertumbuhannya. Substrat yang difermentasi bersama dengan probiotik yang terkait akan dimanfaatkan sebagai pakan untuk fitoplankton dan zooplankton untuk meningkatkan pertumbuhannya, yang kemudian akan menjadi pakan bagi udang budidaya,” tulis para peneliti dalam jurnal tersebut.

Cikal bakal sistem aquamimicry pertama kali muncul di Thaliand pada tahun 1990-an, ketika penyakit udang berkembang pesat di sana. Di tengah banyaknya tambak-tambak yang terserang penyakit, beberapa tambak justru selamat. Hal itu diduga karena tambak-tambak yang selamat secara khusus menggunakan fermentasi dedak padi. Seiring waktu, sistem tersebut berkembang menjadi sebuah metode budidaya bernama aquamimicry, dan mulai diterapkan oleh petambak di Thailand pada tahun 2013. 

Baca juga: Manajemen plankton, kunci udang bebas penyakit

Sumber karbon yang difermentasi

Karena konsep utamanya memanfaatkan cepapoda sebagai sumber pakan alami, aquamimicry juga disebut sebagai copefloc technology. Cepapoda dinilai kaya akan protein sehingga bagus sebagai pakan tambahan alternatif dalam budidaya udang. Proses budidaya aquamimicry melibatkan setidaknya empat proses inti yang meliputi persiapan tambak, aplikasi probiotik dan fermentasi dedak sebagai sumber karbon, penebaran benur, dan pasca panen.

Mutum Deepti dkk.

Prosedur utama budidaya udang sistem aquamimicry. ©Mutum Deepti dkk.

Salah satu poin penting dalam jurnal tersebut adalah cara menyiapkan probiotik dan fermentasi dedak. Langkahnya adalah dengan mencampur dedak padi, probiotik, dan enzim hidrolisis, lalu menambahkan air dan mendiamkannya selama satu hari.

“Dedak padi yang difermentasi ini digunakan sebanyak 500-1.000 kg per hektar, berperan sebagai prebiotik dan memberikan efek sinbiotik ketika digabungkan dengan probiotik. Setelah satu minggu penerapan di kolam budidaya, populasi copepoda berkembang biak pada konsentrasi optimal sebelum benur udang dimasukkan. Benih tersebut kemudian ditebar dengan kepadatan sekitar 10-20 ekor per meter persegi,” kata para penulis. 

Kematangan sistem aquamimicry ditandai dengan dominasi cepapoda dibanding zooplankton lainnya. Para peneliti menemukan, cepapoda akan tumbuh optimal dan mendominasi kurang lebih setelah 1-2 minggu. Cepapoda ini lah yang akan menjadi makan alami bagi udang, sehingga bisa menjadi alternatif atau tambahan pakan pelet. 

Cepapoda memiliki kandungan biokimia yang penting yang dapat mendukung pertumbuhan udang dan menjaga kesehatan pada berbagai stadia.  Di sisi lain, cepapoda juga punya manfaat sebagai pendaur ulang nutrisi di dalam rantai makanan di perairan laut. 

Sementara di sisi lain, probiotik turut membantu membatasi penyebaran bakteri patogen berbahaya melalui mekanisme quorum sensing, meningkatkan kekebalan udang, membantu proses bioremediasi air di tambak, serta meningkatkan kelangsungan hidup benur. Probiotik juga dianggap ramah lingkungan dan merupakan suplemen yang dapat terurai secara hayati untuk berbagai jenis organisme dan aktivitas.

Penulis juga menyajikan sebuah contoh penerapan sistem aquamimicry di Andhra Pradesh, India, dengan menggunakan padat tebar 40 ekor/m2. Hasilnya, petambak mampu panen 5,53 ton per hektar dengan biaya produksi sebesar USD2,37 dan harga jual sebesar USD4,04 per kg. 

Baca juga: Aplikasi probiotik untuk menekan Vibrio dalam budidaya udang vaname

Perbedaan aquamimicry dengan bioflok

Sistem aquamimicry sekilas memiliki kesamaan konsep dengan bioflok yang memiliki tujuan untuk menjaga kualitas dan mengurangi pergantian kualitas air, efisiensi pakan, meningkatkan produktivitas, dan menjaga keberlanjutan. Keduanya memanfaatkan mikroorganisme untuk mengurai bahan-bahan organik dan menjadikannya flok yang bisa menjadi sumber makanan udang. 

Para penulis menyebutkan, “Baik teknologi bioflok maupun aquamimicry membutuhkan penambahan sumber karbon eksternal. Pembentukan bioflok bergantung pada rasio C/N (karbon: nitrogen), yang harus dijaga sekitar 15:1 selama periode budidaya. Namun, dalam sistem aquamimicry, pemantauan ketat terhadap rasio C/N tidak diperlukan.” Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa dalam sistem aquamimicry, fermentasi sumber karbon dan keseimbangan plankton adalah syarat utama keberhasilannya. 

Untuk mengetahui lebih detail hasil riset tersebut, silahkan akses di Blue Biotechnology (2024) 1:5.
***

Foto utama: Canva/Vinh Dao