Budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) di perairan umum seperti waduk atau danau telah menjadi salah satu tumpuan ekonomi masyarakat sekitar perairan tersebut. Namun di balik potensinya yang besar itu, budidaya KJA di perairan umum menghadirkan tantangan serius dalam hal keberlanjutan lingkungan dan keamanan pangan.
Dalam forum Outlook Tilapia Indonesia 2025 beberapa waktu lalu, sejumlah pakar dan pelaku usaha menekankan pentingnya pengelolaan budidaya tilapia di perairan umum secara bijak. Tujuannya, agar kegiatan ini tidak menimbulkan dampak buruk bagi waduk atau danau tempat budidaya berlangsung, sekaligus tidak menjadi korban pencemaran yang datang dari hulu dan bermuara di perairan tersebut.
Keunggulan perairan umum untuk KJA

Prof. Etty Riani
Prof. Etty Riani, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University, dalam salah satu diskusi panel menjelaskan bahwa perairan umum memiliki sejumlah keunggulan alami sebagai media budidaya ikan di KJA. Salah satunya adalah pasokan air yang berkelanjutan serta sirkulasi air yang terus bergerak (agitasi), yang membuat kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO) cenderung stabil dan baik. Kondisi ini secara alami sudah mendukung kegiatan budidaya tanpa perlu tambahan aerator.
“Sifat air yang masuk ini tentunya adalah air yang alami. Sehingga dengan adanya masukan yang secara kontinu ini akan membuat sirkulasi airnya juga relatif kontinu. Jadi akan ada terus menerus agitasi itu. Dan kalau sudah ada gerakan air, tentu saja airnya akan menjadi baik karena larutan oksigennya akan meningkat,” jelas Etty.
Selain aspek lingkungan, budidaya KJA juga punya keunggulan karena tidak memerlukan lahan atau infrastruktur sebagaimana pengembangan kolam di daratan. Ia menjelaskan bahwa kegiatan budidaya di perairan umum sah-sah saja jika dilakukan dengan benar, karena aktivitas tersebut dapat membuka lapangan kerja dan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Tantangan internal
Meski kegiatan budidaya ikan di danau atau waduk diperbolehkan, tetapi prosesnya tetap perlu dilakukan berbasis praktik-praktik yang berkelanjutan, terutama dengan tetap menjaga kelestarian perairannya itu sendiri. Menurut Etty, faktor utama yang sering membuat budidaya ikan di KJA tidak berkelanjutan adalah padat tebar yang terlalu tinggi dan penggunaan obat-obatan kimia yang berlebih.
Padat tebar yang terlalu tinggi dapat menyebabkan budidaya melampaui daya dukung perairan, sehingga risiko munculnya penyakit dan penurunan kualitas air, seperti fenomena upwelling, lebih mudah terjadi. Selain itu, jumlah padat tebar juga berbanding lurus dengan volume pakan yang diberikan. Semakin tinggi padat tebar, semakin banyak pakan yang masuk ke danau atau waduk. Jika manajemen pakan tidak dilakukan dengan baik, kondisi ini akan mempercepat penurunan kualitas air.
Menurut Etty, sisa pakan dan kotoran ikan yang mengendap di dasar danau atau waduk akan memperkaya nutrien, terutama fosfor dan nitrogen, yang memicu pertumbuhan fitoplankton berlebihan (eutrofikasi). Kondisi ini dapat membuat air berwarna hijau pekat dan bahkan berpotensi menimbulkan jenis plankton beracun yang mematikan bagi ikan.
“KJA yang menguntungkan adalah KJA yang jumlahnya kita hitung sesuai dengan daya dukung dan daya tampung dari perairan danau atau waduknya. Jadi ini harus sesuai, nggak boleh berlebih,” tegasnya.

Outlook Tilapia Indonesia 2025
Karena itu, selain menjaga padat tebar, pengelolaan pakan juga menjadi kunci penting. Etty merekomendasikan pemberian pakan sebaiknya dilakukan sesuai dengan kebutuhan ikan di KJA (ad libitum). Yakni, tidak memaksakan pemberian pakan yang banyak demi mengejar pertumbuhan yang cepat, karena hal itu justru akan membuat banyak pakan yang terbuang.
Selain itu, masalah lain yang kerap ditemui dalam praktik budidaya yang tidak berkelanjutan di KJA adalah penggunaan obat-obatan kimia yang berlebih. Etty menilai tidak sedikit pembudidaya merendam benih dengan antibiotik atau PK tanpa takaran yang jelas sebelum ditebar ke waduk. Praktik ini tidak hanya berisiko meracuni ikan, tetapi juga mencemari lingkungan dan menimbulkan residu yang mengancam keamanan pangan.
Bacan juga:
1. Outlook Tilapia 2025: Memperkuat hulu-hilir dan keberlanjutan budidaya nila
2. Sejarah ikan nila: Menuju komoditas unggul di Indonesia
3. Prof. Yuli Andriani: Bahan baku pakan alternatif bisa lebih ramah lingkungan
“Ketika direndam itu nggak menggunakan takaran. Jadi ambil seingetnya aja. Satu sendok,dua sendok, tiga sendok. Malah kadang-kadang ‘yang lebih banyak aja, biar nanti bakterinya nggak ada, jadi ikannya akan sehat.’ Begitu selesai, (obat-obatan sisa rendaman) dituang masuk ke dalam waduknya… Nah itu kan nggak boleh,” tegas Etty.
Tantangan eksternal
Selain tantangan dari internal budidayanya itu sendiri, budidaya ikan di KJA juga menghadapi tantangan dari luar aktivitas budidaya yang risikonya jauh lebih besar. Sebagai perairan terbuka, waduk atau danau tidak hanya menjadi tempat ideal untuk produksi ikan, tetapi juga menjadi tumpahan berbagai aktivitas lain, mulai dari pertanian, pariwisata, hingga pembuangan limbah rumah tangga dan industri. Inilah yang kemudian menimbulkan kompleksitas dalam pengelolaan budidaya di danau atau waduk. Apalagi jika sumber utama air danau atau waduk tersebut adalah sungai yang di sekitarnya banyak industri dan pemukiman, seperti waduk-waduk di Jawa Barat.
Ironisnya, sektor budidaya seringkali dituding sebagai penyebab utama pencemaran dan kematian ikan massal di danau, padahal banyak pencemaran justru berasal dari kegiatan industri, peternakan, dan pertanian di hulu. Dalam konteks ini, pembudidaya justru sering menjadi korban.
Karena itu, pendekatan pengelolaan yang terpadu antara darat dan perairan menjadi sangat penting. Penegakan zonasi, perizinan, serta pembatasan jumlah KJA berdasarkan daya dukung dan daya tampung harus benar-benar dijalankan, bukan sekadar formalitas di atas kertas.
“Jadi kegiatan perikanan (di perairan umum) ini korban. Sehingga ketika ada yang mengatakannya sebagai penyebab (kerusakan), saya bilang nggak. Memang penyebab juga bisa, tapi seringkali menjadi korban dari kegiatan yang lainnya,” ujar Etty.
Perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mencatat bahwa hampir semua danau besar di Jawa Barat sudah mengalami kelebihan kapasitas. Di Waduk Cirata misalnya, jumlah KJA yang ideal hanya sekitar 7.200 petak, tetapi jumlah di lapangan melebihi angka itu. Overkapasitas ini dapat menyebabkan sedimentasi, blooming eceng gondok, dan fenomena upwelling (pengadukan dasar air) yang kerap menewaskan ikan dalam jumlah besar.
Melalui Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 96 Tahun 2022, pemerintah provinsi telah menetapkan jumlah keramba jaring apung (KJA) di tiga waduk besar di Jawa Barat, sesuai dengan daya dukungnya masing-masing. Jumlahnya yakni 11.306 petak di Waduk Jatiluhur, 7.204 petak di Waduk Cirata, dan 3.282 petak di Waduk Saguling.
Swadaya petani

Edi Supiandi
Edi Supiandi, perwakilan pembudidaya Cirata, menegaskan bahwa para petani ikan telah melakukan efisiensi pakan sesuai dengan kebutuhan ikan. Mereka sangat sadar bahwa sebagai komponen biaya paling besar, pemberian pakan harus diatur secara efisien. “Kami tidak asal memberi pakan, karena pakan mahal. Kalau ikan sudah kenyang, kami berhenti,” ujarnya.
Di sisi lain, Edi dan rekan-rekannya terus berupaya menjaga keberlanjutan budidaya di perairan umum. Mereka sudah memahami risiko terjadinya upwelling, sehingga saat memasuki periode dengan potensi upwelling tinggi, para pembudidaya mengurangi padat tebar atau bahkan menyetop produksi untuk mencegah kerugian ekonomi maupun dampak lingkungan. Selain itu, mereka juga rutin membersihkan eceng gondok menggunakan peralatan sederhana yang mereka beli secara mandiri.
“Kami memang sudah melakukan betul-betul kerja keraslah untuk mengangkat eceng gondok. Tapi kemungkinan ini masih jangka panjang sampai selesai. Nah barangkali kita bersinergi dengan pemerintahan, apalagi dengan KLH mungkin Pak, bisa dibarengkan. Apalagi sekarang kebetulan Bapak Gubernur Jawa Barat, Bapak Aing, yang sedang melaksanakan segalanya, memang itu ya barangkali bisa dibantu didorong untuk mengatasi eceng gondok itu,” pesan Edi.
***


