Kinerja industri udang nasional semakin terpuruk. Sepanjang tahun 2025 sejumlah masalah datang silih berganti, membuat pelaku usaha andalan sektor kelautan dan perikanan (KP) ini mulai mengendorkan tensi bisnisnya, menunggu kondisi bisnis membaik.

Masalah tersebut mulai dari penyakit yang terus semakin berkembang. Ditambah dengan kasus penolakan sejumlah kontainer udang asal Indonesia di pasar Amerika Serikat (AS), karena terdeteksi positif mengandung antibiotik. 

Dan lebih parahnya lagi, udang asal Indonesia dikenakan bea masuk ke pasar AS sebesar 19 persen. Itupun setelah melalui proses negosiasi yang berkait keseimbangan neraca ekonomi  antara AS dan Indonesia. 

Secara total, bea masuk yang telah dikenakan terhadap udang Indonesia sebesar 22,9 persen. Sebelumnya Indonesia dikenakan tarif anti dumping sebesar 3,9 persen. Dengan demikian tarif bea masuk lebih tinggi dari negara kompetitor seperti Ekuador, Vietnam, dan India. Hal ini akan melemahkan daya saing udang Indonesia.  

Kondisi dan situasi ini semakin tidak menguntungkan, karena sekitar 70% ekspor udang dari Indonesia dipasarkan ke AS. Selebihnya udang ditujukan ke Jepang, Uni Eropa, dan Tiongkok, yang bea masuknya tergolong sangat rendah, namun menerapkan standar mutu super ketat.

Akumulasi dari permasalahan itu menyebabkan harga udang di tingkat pembudidaya terjun bebas mendekati harga pokok produksi (HPP). Marjin setiap kilogram udang yang dihasilkan kini tinggal Rp10.000-15.000 saja, khususnya bila udang tersebut dipasok ke industri processing yang penjualannya ke pasar AS.

Berdasarkan diskusi sesama praktisi, ada beberapa kesimpulan, antara lain bahwa bisnis udang Indonesia masih prospek dan bisa eksis di tengah hantaman penyakit dan anjloknya  harga, namun diperlukan intervensi maupun sinergitas, sebagai berikut; 

Pertama, menyelesaikan masalah fundamental penyebab penyakit. Antara lain produksi benur yang sehat, karena 60 persen benur yang diproduksi dan diedarkan pada saat ini dalam kondisi tidak sehat. 

Diperlukan sejumlah intervensi pemerintah, seperti mendorong pihak swasta untuk membudidayakan cacing Polychaeta (pakan alami induk udang) yang bebas penyakit, sebagai bisnis terpisah dari usaha pembenihan (hatchery). Dengan harapan ada jaminan suplai pakan induk bagi pembenihan secara berkesinambungan.

Baca juga:
1. Pemangku kepentingan udang nasional tegaskan kembali komitmen budidaya tanpa antibiotik
2. Biosekuriti, solusi tepat mencegah penyakit masuk tambak
3. Shrimp Outlook 2025: Strategi hadapi tantangan dan tingkatkan daya saing udang Indonesia

Selama ini, pihak pembenihan umumnya memakai cacing liar hasil tangkapan di alam yang telah terkontaminasi bakteri, virus, dan lainnya. Dampaknya akan menular pada induk dan benih udang. 

Impor cacing Polychaeta hasil budidaya yang bebas penyakit, harganya mahal, kondisinya beku (tidak dalam keadaan hidup), dan sulit didapat dalam jumlah besar. Selanjutnya impor cacing dapat meningkatkan harga pokok produksi (HPP) benur, yang bermuara pada meningkatnya harga benur yang dibayar oleh pembudidaya.  

Budidaya cacing Polychaeta di PT Sakti Biru Indonesia. ©Asep Bulkini

Budidaya cacing Polychaeta di PT Sakti Biru Indonesia. ©Asep Bulkini

Intervensi lain yang dibutuhkan adalah mendorong dan memfasilitasi pihak swasta membangun NBC (Nucleus Breeding Center), atau pusat rekayasa induk udang, serta memperbanyak BMC (Breeding Multiplication Center) sebagai pusat perbanyakan induk untuk didistribusi ke pembenihan. 

Kedua, mendorong swasta agar membangun laboratorium pengujian kesehatan ikan dan laboratorium pengujian mutu udang di sentra produksi yang saat ini masih sangat terbatas. Apalagi sentra produksi udang di kawasan timur. 

Diharapkan KKP melalui Badan Karantina ikan di pusat dan daerah dapat meningkatkan perannya dalam mengoordinasikan urusan penyakit udang. Selain itu peran dirjen budidaya dan pengawasan terhadap sistem pembenihan dan budidaya serta peredaran obat-obatan agar ditingkatkan.  

Ketiga, meningkatkan sistem budidaya berbasis nursery atau karantina. Ekuador dan Vietnam berhasil mendongkrak produksi udang mereka karena menggunakan sistem two-step. Yakni, udang dikarantina terlebih dulu di kolam nursery, sebelum dibesarkan di kolam grow-out (pembesaran).

Saking khawatirnya oleh ancaman penyakit, pembudidaya udang di kedua negara itu (Ekuador dan Vietnam) selalu memastikan bahwa kesehatan benur tersebut dijamin sehat sebelum ditebar ke kolam. Hal ini melalui pemeriksaan di laboratorium kesehatan ikan. 

Demikian pula pada saat benur akan didorong ke grow-out dari nursery, pengecekan kesehatan  mutlak dilakukan. Monitoring penyakit selama proses budidaya pada kolam grow-out telah menjadi SOP bagi mereka. 

Keempat, mendorong dan memfasilitasi pihak swasta untuk memperbesar pasar udang ke Jepang, Uni Eropa, Tiongkok, dan negara lainnya. Syarat baku mutu menjadi persoalan yang mendasar. 

Pendekatan industri berbasis “klaster pulau besar” jadi strategi penting untuk meningkatkan volume ekspor ke pasar Jepang dan Uni Eropa. Pendekatan ini juga bisa dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan besar dari pasar Tiongkok, yang membutuhkan udang hidup untuk diproses langsung (live cooked), dengan kekurangan pasokan sekitar 1 juta ton.

Pemerintah harus mendorong pengembangan industri udang terintegrasi dalam satu klaster pulau besar. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang berbasis blue food bisa menjadi pertimbangan. 

Pasar dalam negeri juga harus diperbesar. Kampanye makan udang perlu dilakukan secara merata hingga ke daerah-daerah, dengan berbagai varian menu. Di Vietnam, Thailand, dan Tiongkok, mengonsumsi seafood telah menjadi sebuah budaya. Konon kabarnya, hal itu juga diawali melalui proses kampanye. 

Terakhir, bahwa intervensi dari pemerintah terhadap masalah fundamental industri udang, sangat diperlukan. Tanpa satu komitmen yang kuat antara pemerintah dan pelaku usaha, maka harapan industri udang menjadi satu pilar ekonomi di negeri ini sulit direalisasikan.
***

Penulis: Dr. Hasanuddin Atjo
Editor: Asep Bulkini