Tantangan budidaya udang terus berkembang. Penurunan kualitas lingkungan adalah salah satunya. Tantangan tersebut memberikan efek domino pada menurunnya kualitas air, terutama parameter mineral seperti alkalinitas. Penurunan lingkungan juga bisa memicu terjadinya blooming algae yang menyebabkan peningkatan Harmfull Algal Blooming (HAG) seperti Dinoflagelta dan Blue Green Algae (BGA).
Selain kualitas lingkungan yang menurun, tantangan juga diperparah oleh penurunan harga udang dan persaingan dengan kompetitor yang mampu memproduksi udang dengan harga lebih murah. Seperti halnya yang terjadi di India dan Ekuador. Di sisi lain, aspek ketelusuran juga jadi tantangan sekaligus faktor pembatas untuk memasuki niche pasar seperti Eropa dan negara lain yang sangat ketat dalam hal food safety and security.
Tantangan budidaya udang tidak hanya berasal dari faktor-faktor eksternal seperti di atas, namun juga dari faktor internal. Masalah internal budidaya yang paling umum ditemui adalah manajemen operasional yang keliru (mismanagement). Mulai dari aspek produksi hingga pengelolaan SDM. Tambak-tambak yang berhasil umumnya memiliki SDM yang memiliki sifat adaptif dan pembelajar yang cepat.
Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, maka diperlukan proses “pemilihan” sumberdaya yang tepat mulai dari tim dan manajemen, pemilihan pakan dan benur, sarana dan prasarana, hingga teknologi yang tepat. Proses “pemilihan” tersebut bisa dilakukan dengan memahami sumber daya yang dimiliki dan kapasitas diri sendiri, memahami lingkungan, dan juga memahami tantangannya.
Memahami diri sendiri bisa dikaitkan pada bagaimana mengetahui kemampuan diri sendiri, terutama dalam mengelola daya dukung (carriying capacity) tambak. Secara umum, daya dukung diartikan sebagai jumlah udang yang bisa dibesarkan dalam sebuah kolam atau dalam kondisi geografis tertentu, tanpa mengalami perubahan yang negatif.
Baca juga: Peran dan pengaruh mikrobiom pada saluran pencernaan udang (Part 1)
Sedangkan daya dukung tambak adalah modifikasi kondisi dan teknologi, mulai dari sumber daya air dan kualitasnya, aplikasi aerasi dan probiotik, hingga manajemen dasar tambak melalui level penyaringan dan pergantian yang tepat. Selain itu, modifikasi genetik udang dan padat tebarnya di kolam, juga sangat memengaruhi daya dukung tambak.
Tepat memilih sumberdaya produksi
Pemilihan semua jenis sumberdaya secara tepat adalah kunci keberhasilan budidaya. Memilih pemimpin (leader) yang tepat akan berdampak pada komunikasi tim yang baik. Sementara pemilihan tim yang tepat akan berefek pada performa. Pemilihan leader yang tepat harus diikuti dengan pemilihan tim yang tepat dan proses yang tepat. Terutama pada aspek monitoring. Pekerjaan yang banyak di lapangan harus dikelola dengan memberikan job desc yang clear dan fokus pada tujuan keberhasilan budidaya. Tim yang baik secara akuntabel dan transparan akan memberikan laporan kepada pemilik (owner) dan melakukan rapat secara rutin untuk koordinasi.
Pemilihan benur atau PL (post larvae) yang tepat berpengaruh pada keberhasilan budidaya. Pengecekan benur pra-panen di hacthery dapat dilakuakan dengan tes RT-PCR di lab-lab yang akuntabel. Benur yang negatif dari patogen, seperti Vibrio, sebaiknya dikonfirmasi kembali dengan mengecek bakteri tersebut di hepato dan usus. Konsentrasinya sebaiknya kurang dari 100.000 CFU/gram larva. Sedangkan untuk pengecekan bolitas harus diperhatikan dengan nilai toleransi kurang dari 20% dengan standard stress test yang sudah banyak dilakukan sebagai pedoman PL performa. Untuk usia PL, sebaiknya PL 8 ke atas karena fisiologis dan perkembangan anatominya sudah optimal.
Pemilihan sarana dan prasarana tepat juga penting, terutama pemilihan aerasi dan sistem water treatment yang akan memengaruhi sistem budidaya keseluruhan dan daya dukungnya. Sistem aerasi, terutama alatnya, sangat dipengaruhi oleh SAE (Standard Aeration Effeciency) dengan satuan KgO2/hp jam. Di mana nilai tertinggi terdapat pada kincir renteng dengan kisaran niai 1,4-1,8 KgO2/hp jam. Selain peralatan aerasi, titik aerasi juga tidak kalah penting karena memengaruhi nilai DO dan ORP. Nilai ORP yang optimal umumnya berkisar 150-350 mV.
Selain itu, titik aerasi bersama bentuk kolam dan arah angin akan menentukan sedimentasi yang dapat terlihat pada nilai ORP-nya. Berikut beberapa contoh sedimentasi pada kolam kotak dan bulat.
Terakhir pemilihan teknologi yang mampu mereduksi biaya dan mengurangi risiko budidaya. Teknologi desinfeksi merupakan teknologi awal yang dapat diaplikasikan secara massif, terutama yang sudah terbukti mampu mengurangi Vibrio, dan dipadukan dengan sistem filtrasi yang mampu menghemat penggunaan kaporit dan lahan untuk tandon. Sehingga mampu mereduksi penggunaan lahan hingga 30% dan biaya desinfeksi mencapai 83,3%.
Baca juga: Tantangan dan strategi menghadapi penyakit pada budidaya udang
Sistem tersebut dapat diterapkan dengan penggunaan UV yang dikombinasikan dengan pakan berprotein tinggi. Sistem ini sudah diaplikasikan dan dapat menghasilkan HPP udang sebesar Rp38.200 per kg. Sistem tersebut juga mampu menghemat listrik sebesar 20% bila dibandingkan dengan sistem tandon yang membutuhkan pompa dua kali lebih banyak dan kincir untuk mempercepat oksidasi.
Teknologi selanjutnya adalah teknologi kontrol Vibrio dan lingkungan dengan menggunakan teknologi nano-silver dan nano-cooper dengan ukuran sekitar 8 nm. Teknologi ini sangat optimal dalam mengontrol Vibrio serta memiliki fase pecah molekul lebih lambat, sehingga mampu mengoksidasi dalam waktu yang lama sekitar 7-14 hari.
Teknologi desinfektan nano dan probiotik bisa diibaratkan seperti polisi dan ustadz. Cara mengontrol Vibrio dilakukan dengan menekan pelaku kriminal (Vibrio) menggunakan desinfektan nano. Kemudian setelah dominasinya diturunkan, dimasukkanlah ustdaz (probiotik) beserta makanannya (prebiotik) berupa karbohidrat komplek, sehingga mampu memberikan nasehat baik (postbiotik) untuk menekan dominasi Vibrio.
Selain teknologi di atas, terdapat teknologi lain untuk mencegah risiko budidaya yang dilakukan dari awal. Yakni Reverse Transcription PCR (RT-PCR) untuk pengecekan benur serta aplikasi digital yang mampu mencegahan kerugian budidaya dengan melakukan monitoring biaya dan perencanaan panen yang optimal.
Sedangkan untuk teknologi pengolahan limbah budidaya bisa menggunakan teknologi Integrtated Multi Trophic Aquaculture (IMTA) dengan menjadikan limbah sebagai nutrisi bagi mikro ekosistem. Sistem ini bisa mengurangi penyebaran penyakit secara zoonosis ke organisme sejenis.
Manajemen pakan yang tepat
Selain pemilihan semua sumberdaya secara tepat, penulis juga menekankan secara khusus pada aspek manajemen pakan. Pemilihan pakan sangat dipengaruhi oleh empat faktor. Antara lain faktor genetik udang, kualitas air, sumber bahan baku pakan, dan pengolahan energi pakan.
Sebagai contoh, genetik udang fast growth lebih membutuhkan protein berbasis hewani, alih-alih protein nabati. Hal ini terlihat pada ABW (average body weight) udang fast growth yang cenderung lebih baik setelah diberi pakan berprotein hewani ketimbang protein nabati. Perbedaan tidak hanya pada ABW saja, namun juga pada parameter survival rate (SR) dan biomassa akhirnya. Sebaliknya, genetik udang high resistant memiliki kemampuan mengolah protein nabati yang lebih baik.
Selain itu, perbedaan kandungan protein bisa berpengaruh terhadap nilai FCR dan biaya produksi. Pemberian pakan protein tinggi bisa menghasilkan FCR lebih baik dibandingkan dengan protein rendah. Hasil uji coba pada 11 petak tambak dengan luas 2.500 m3 dan kepadatan 120 ekor/m3, pakan protein tinggi memiliki nilai FCR 1,35 dengan biaya pakan Rp 20.400/kg udang. Sementara pakan protein rendah menghasilkan FCR 1,55 dengan biaya pakan sebesar Rp24.000 per kg. Sementara pada aspek kualitas air, nilai TAN (total ammonia nitrogen) dan fosfat (P) lebih tinggi pada protein rendah.
Sementara sumber bahan baku akan berefek pada pengolahan nutrisi menjadi energi, seperti osmoregulasi, pertumbuhan, ekresi dan lainnya.