Indonesia merupakan salah satu produsen utama udang vaname. Berdasarkan Global Seafood Magazine (2024), posisi Indonesia berada pada peringkat kelima dunia. Ekuador, meskipun bergaris pantai jauh lebih pendek dari pada Indonesia (2.237 km), mereka mampu memproduksi udang vaname 1.450.250 ton per tahun dan menempatkannya sebagai pemegang rekor dunia. Kemudian disusul oleh China 954.500 ton, India 850.000 ton, Vietnam 547.000 ton dan Indonesia sebesar 492.000 ton, dengan garis pantai mendekati 100 ribu km, terpanjang kedua di dunia.
Pada kurun waktu dua tahun terakhir, cara berbudidaya tambak udang Indonesia mulai berubah. Budaya mengecek kesehatan benur sebelum menabur mulai dilakukan guna memperkecil risiko membeli “kucing dalam karung”. Selain itu menebar benur (post larvae/PL) langsung dari pembenihan (hatchery) secara perlahan mulai ditinggalkan dan diganti dengan benur berukuran lebih besar (hasil nursery), atau disebut tokolan.
Sterilisasi air menggunakan bahan kimia berupa kaporit, klorin, dan lainnya secara perlahan digeser oleh cara fisik seperti sinar ultraviolet (UV) dan elektrolisis air yang dinilai lebih ramah lingkungan. Para petambak yang melakukan perubahan tersebut, rata-rata mampu produksi udang sampai finish alias panen. Selain itu, perubahan tersebut juga memberi keuntungan bagi pembudidaya yang selama ini semakin jarang dirasakan.
Di tengah semangat berbudidaya yang mulai bangkit, pada tahun 2024, tiba-tiba dikejutkan oleh ketatnya persyaratan masuk pasar AS, yang merupakan pasar utama udang Indonesia (sekitar 63%). Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA) menemukan residu antibiotik pada udang asal Indonesia. Kasus yang sudah sering berulang.
Tidak berhenti sampai di situ, Pemerintahan Donald Trump juga mengenakan bea masuk pada sejumlah komoditi yang mereka bisa produksi di negaranya, termasuk udang. Indonesia sendiri dikenakan tarif bea masuk sebesar 22,9 % yang terdiri dari bea masuk anti-dumping sebesar 3,9% dan tarif tambahan (reciprocal) sebesar 19 %.
Belum selesai dengan urusan dampak antibiotik dan beban bea masuk, udang Indonesia kembali dikejutkan dengan temuan FDA AS awal Agustus 2025. Penemuannya bahwa sampel udang asal Indonesia terbukti mengandung zat radioaktif berbahaya, yaitu Cesium -137 (Cs-137). Meski masih berada dibawah ambang batas tapi sudah menjadi alarm yang kuat. Konsekuensi penemuan ini menyebabkan Pemerintah AS sementara waktu menyetop pembelian udang dari Indonesia, terutama udang berasal dari Wilayah Sumatra dan Jawa.
Asosiasi udang seperti SCI (Shrimp Club Indonesia) terus mendorong semua pihak agar peduli terhadap situasi dan kondisi tersebut. Mereka amat prihatin bahwa bisnis yang menampung jutaan tenaga kerja hulu dan hilir jangan sampai tutup. Bahkan sempat ada rencana menghamburkan udang di jalan sebagai bentuk protes, namun diganti dengan aksi makan udang bersama yang bernilai ratusan juta rupiah. Tujuannya untuk menegaskan bahwa udang Indonesia tidak berbahaya dan aman dikonsumsi.
Pemerintah terus melakukan negosiasi kepada FDA agar segera mendapatkan solusi. Sejumlah kalangan memberi apresiasi terhadap upaya itu, namun di sisi lain tetap berpesan agar tidak slow response, bergerak cepat, dan meningkatkan daya mitigasinya.
Baca juga:
1. Masihkah udang Indonesia kompetitif di tengah banyak ketidakpastian?
2. Pasca-isu radioaktif dan antibiotik, industri udang harus berbenah total
3. Catatan Dr. Hasanuddin Atjo pada Rakernas SCI dan Farm 2025: Semua harus peduli
4. Panduan baru kurangi jejak karbon di industri udang
Perjuangan itu membuahkan hasil. Per akhir Oktober 2025, ekspor udang ke AS kembali dibuka dengan persyaratan antara lain harus lolos uji zat radioaktif oleh Badan Mutu KKP (BPPMHKP) yang telah ditunjuk FDA AS.
Dalam waktu hampir 90 hari, para pebisnis udang, terutama petambak, sangat resah dan kelimpungan. Udang yang sudah siap panen nyaris tak ada pembeli. Tak ada lagi senyum di wajah para petambak, meskipun hasil panen kali ini sebenarnya lebih baik. Semua itu tak berarti banyak karena mereka tetap merugi; harga pokok produksi (HPP) jauh lebih tinggi dibanding harga jual yang ditawarkan.

Kalaupun ada pembeli, jumlahnya terbatas—hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal atau menampungnya di cold storage. Harga yang ditawarkan pun jauh lebih rendah, karena pembeli harus memperhitungkan biaya penyimpanan dan ketidakpastian mengenai sampai kapan situasi seperti ini akan berlangsung. Cold storage yang berafiliasi ke pasar Jepang, Uni Eropa dan negara lainnya, juga memiliki kemampuan serap terbatas. Apalagi mereka sangat ketat dengan syarat mutu.
Rekomendasi strategis
Berdasarkan pengalaman panjang berbisnis udang, penulis memandang perlunya evaluasi dan pembenahan secara total, tidak lagi parsial dan sendiri-sendiri, karena Indonesia Emas tahun 2045 tersisa 20 tahun. Target pendapatan per kapita pada saat itu USD 23-30 ribu, meningkat dari target 2025 sebesar USD 5.500-5.520.
Agar target besar itu tercapai, terutama dengan menjadikan udang sebagai salah satu komoditas andalan, ada beberapa hal penting yang perlu dibenahi.
Pertama, menetapkan satu standarisasi terhadap proses di sektor bisnis hulu hingga hilir. Mulai produksi benur, pakan dan sarana lainnya, sistem budidaya berdasar teknologi, pascapanen, hingga standar SDM. Standarisasi sektor hilir pun mesti dilakukan simultan. Mulai sistem transportasi, penanganan mutu dan sanitasi, serta inovasi dan teknologi yang berorientasi nir limbah agar memperoleh lebih banyak value.
Agar penerapan standarisasi berlangsung secara benar dan masif, maka pembinaan dan pengawasan menjadi satu kebutuhan mendasar. Kolaborasi asosiasi bersama pemerintah menjadi semakin strategis.
Kedua, menekan komponen impor yang masih dominan, yang diperkirakan sekitar 60%. Antara lain kebutuhan induk udang, tepung ikan, peralatan, dan mesin. Semua komponen tersebut ikut meningkatkan HPP dan daya saing. Industri dalam negeri perlu didorong agar berkembang sebagai penunjang sektor hulu dan hilir, sekaligus ,memberi ruang agar joint venture dan investasi dengan pihak luar difasilitasi lebih luas.
Ketiga, memanfaatkan keunggulan sebagai negara kepulauan. Industri udang berbasis pulau besar antara lain, Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua diharapkan menjadi pilihan kebijakan. Tentunya dengan tetap menerapkan rekomendasi tata ruang dan zonasi secara konsisten.
Dengan pendekatan tersebut, efisiensi bisa ditingkatkan. Ongkos angkut bisa ditekan karena kebutuhan input produksi dan pemasaran hasil panen jadi dalam satu kawasan. Dan lebih penting penyakit lebih mudah dikendalikan serta ada jaminan keamanan investasi.
Keempat, dibutuhkan modal investasi ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk penerapan standarisasi. Kebijakan bunga murah dan kemudahan akses pinjaman menjadi salah satu kunci sukses untuk tujuan itu.
Kelima, mempersatukan potensi dalam melahirkan inovasi dan teknologi menjadi penting. Diperlukan wadah yang mampu mengakomodasi potensi dari lembaga riset, akademisi dan praktisi, yang kemudian bisa terintegrasi dengan dunia usaha.
Terakhir, bahwa tantangan yang dihadapi semestinya menjadi motivasi untuk maju. keunggulan komparatif sebagai negara kepulauan dan garis pantai terpanjang di dunia sebagai wilayah tropis saatnya dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh.
***
Penulis: Dr. Hasanuddin Atjo
Editor: Asep Bulkini



