Oleh: La Ode M. Aslan, Guru Besar Jurusan Budidaya Perairan, Universitas Halu Oleo
Bayangkan suatu pagi di Istana Merdeka. Presiden Republik Indonesia duduk santai bersama para menteri, tokoh agama, nelayan, dan siswa sekolah dasar. Mereka menikmati sarapan sehat khas Nusantara: nasi jagung dengan tumis rumput laut Kappaphycus, salad hijau Ulva lactuca, dan jus rumput laut yang kaya antioksidan. Apakah ini hanya mimpi utopis, atau justru peluang nyata untuk masa depan pangan Indonesia?
Gagasan Sarapan Rumput Laut Bersama Presiden memang terdengar nyentrik. Namun jika dilihat dari kacamata gizi, ekonomi, budaya, hingga diplomasi pangan, justru inilah langkah strategis yang bisa mengubah wajah ketahanan pangan nasional. Artikel ini menguraikan mengapa mimpi itu penting dan bagaimana jalan realistis mewujudkannya.
Mengapa rumput laut layak masuk meja makan istana?
Ada 3 alasan kenapa rumput laut sangat layak menjadi makanan superfood di istana. Pertama, merupakan sebuah keteladanan gizi nyata dari pemimpin tertinggi. Kehadiran rumput laut di meja makan Presiden menjadi simbol bahwa makanan lokal, sehat, halal, dan bergizi bukan hanya milik kampung, tapi layak dikonsumsi siapa saja—termasuk kepala negara. Seperti halnya Presiden Soekarno yang mempromosikan makan jagung, atau Presiden Jokowi dengan blusukan-nya yang merakyat, simbol punya dampak nyata.
Kedua, merupakan branding Indonesia sebagai negara maritim pangan laut. Meski Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan produsen utama rumput laut dunia, dunia lebih mengenal kita sebagai eksportir batu bara dan sawit. Momen sarapan kenegaraan berbasis rumput laut bisa menjadi strategi branding bahwa Indonesia adalah pionir pangan laut halal dan berkelanjutan; Ketiga, pendorong permintaan nyata untuk petani dan UMKM. Ketika Presiden dan kabinet mengonsumsi rumput laut secara terbuka, ini akan memicu pertumbuhan pasar dan memberi semangat baru bagi petani rumput laut di Sulawesi, Maluku, NTT, dan Papua. Dampaknya langsung terasa di lapangan.
Tantangan: Mengapa masih terasa jauh dari kenyataan?
Tantangan yang masih menggejala hingga saat ini ada 4, yaitu: Pertama, stigma makanan yang kurang popular dibanding nasi, ubi atau susu. Sulit membayangkan rumput laut hadir di meja jamuan negara, padahal kandungan gizinya setara—bahkan melebihi—banyak superfood impor; Kedua, kurangnya inovasi olahan premium. Produk rumput laut masih terbatas pada agar-agar dan es rumput laut. Padahal dunia kini meminati produk sehat, halal, organik, dan ramah lingkungan. Di sinilah pentingnya peran kuliner kreatif dan riset teknologi pangan dibutuhkan.
Ketiga, Belum masuk protokol istana. Rumput laut belum diakui sebagai menu formal protokoler di Istana. Padahal ada banyak resep rumput laut yang bisa tampil elegan, bergizi, dan sesuai selera tamu asing, dan: Keempat, Minimnya narasi politik tentang pangan laut. Jarang kita dengar rumput laut dibahas dalam pidato kenegaraan atau visi pembangunan nasional. Kebijakan pangan masih fokus pada daratan—beras, ternak, kedelai—padahal potensi laut sangat besar.
Baca juga:
1. Saatnya superfood rumput laut jadi bagian Makan Bergizi Gratis
2. Rumput laut jadi andalan blue food
3. Garam rumput laut rendah natrium, solusi mengatasi hipertensi di Indonesia
4. Ahli Nutrisi: Cegah stunting dengan ikan segar berkualitas
Strategi mewujudkan “Rumput laut masuk istana”
Ada 5 (lima) strategi yang perlu dilakukan untuk mewujudkan rumput laut sebagai makanan level istana, yaitu:
- Pertama, bangun narasi nasional: Indonesia kaya, sehat, dan bermartabat lewat rumput laut. Hingga 2025, telah teridentifikasi lebih dari 005 jenis rumput laut Indonesia (Aslan, 2025), dan jumlah spesies ini akan terus bertambah. Bahkan pada 10 Juli 2025, ilmuwan Korea menamai satu spesies baru dari Indonesia: Gracilariopsis grevogerungii. Dari jumlah tersebut, setidaknya 56 jenis dikonsumsi masyarakat, dan tujuh di antaranya telah sukses dibudidayakan: Kappaphycus alvarezii, Gracilaria spp., Ulva sp., Eucheuma denticulatum, Sargassum sp., dan Caulerpa sp.. Dengan potensi lahan budidaya sekitar 12 juta ha (namun baru dimanfaatkan 325.825 ha atau 2,7% dari total potensi), rumput laut bisa menjadi primadona pangan laut Indonesia. Secara nutrisi, ia mengandung protein, serat larut, mineral esensial (yodium, zat besi), vitamin, dan antioksidan alami. Cocok untuk mencegah stunting, anemia, dan penyakit metabolik;
Menu tradisional Jepara yang terdiri dari pindang ikan serani, urap latoh anggur laut (Caulerpa) dan sagu. ©TSIN/Tri Winarni
- Kedua, genjot inovasi dan diversifikasi kuliner rumput laut. Banyak olahan rumput laut yang sudah populer, tinggal dimodifikasi agar cocok untuk semua segmen, termasuk meja Istana, seperti: agar-agar sehat dari Gracilaria sp. atau Gelidium, bisa menjadi dessert formal, es rumput laut segar khas di Makassar atau Bali, diubah jadi minuman sehat dengan kemasan premium; keripik dan mi rumput laut dari Ulva dan Sargassum untuk camilan sehat urban, lalapan latoh atau lawi lawi (Caulerpa lentiilifera) yang segar dan bergizi untuk menu modern, nasi rumput laut yang mengandung serat tinggi dan menurunkan indeks glikemik, bakso dan sate rumput laut yang ramah vegan dan sudah dikembangkan UMKM di Jawa, Sulawesi, dan NTT. Khusus Lawi lawi atau nama lain dari Latoh/Latu sudah menjadi menu masyarakat pesisir di seluruh pesisir Indonesia yang digandrungi oleh semua kalangan masyarakat termasuk anak-anak. Saat ini sudah ada juga buku “ Ragam Kuliner dari Rumput laut” disusun oleh tim dosen Universitas Halu Oleo diketuai La Ode M. Aslan terbit tahun 2020. Buku yang dapat diakses secara gratis ini menyajikan lebih 25 menu makanan dan minuman khusus rumput laut jenis Kottonii. Bisa dibayangkan berapa banyak menu kuliner yang dapat disajikan jika dari 7 jenis rumput laut yang saat ini sudah berhasil dibudidayakan dan mampu diolah menjadi olahan kuliner yang menarik
- Ketiga, menembus selera nasional. Agar rumput laut bisa hadir di meja makan istana hingga dapur rumah tangga, kita perlu mendorong transformasi cita rasa lokal menjadi cita rasa nasional. Caranya bisa lewat adaptasi resep populer, misalnya rumput laut jenis Latoh diolah menjadi rujak segar atau salad mangga. Keripik rumput laut pun bisa diberi sentuhan rasa balado, sapi panggang, atau keju pedas. Kombinasinya bisa lebih kreatif, seperti nasi goreng dengan serundeng rumput laut, atau sate ayam dengan sambal laut. Kita juga bisa memperkenalkan istilah menu baru seperti “Selada Laut Nusantara”, “Sambal Samudra”, atau “Latoh Rasa Milenial” yang diharapkan kelak menjadi sajian khas rumput laut Indonesia.
- Keempat, dari istana untuk rakyat. Langkah konkret ini berupa intervensi langsung ke Sekretariat Negara agar rumput laut masuk dalam menu jamuan kenegaraan dan upacara kenegaraan. Di Jepang, Hari Rumput Laut Nasional sudah rutin diperingati. Mengapa Indonesia belum? Bayangkan Hari Rumput Laut Indonesia digelar di halaman Istana. Ada demo masak, pameran UMKM laut, sambutan Presiden, dan anak-anak sekolah mencicipi puding agar-agar kaya kalsium. Dalam sambutannya, penulis angat berharap Presiden kita bisa menegaskan bahwa: Rumput laut bukan sekadar tanaman laut. Ia adalah makanan halal, sehat, bergizi, dan sumber penghidupan jutaan rakyat pesisir, solusi untuk stunting, mendorong keadilan sosial karena lebih dari satu juta rakyat Indonesia hidup dari budidaya rumput laut, Dari NTT hingga Papua dan rumput laut mendukung penyelamatan lingkungan karena menyerap karbon, membersihkan laut, dan menyelamatkan bumi, dan;
- Kelima, dalam bentuk regulasi dan integrasi program nasional. Kita juga mendorong diterbitkannya Instruksi Presiden atau Peraturan Menteri untuk mewajibkan satu olahan rumput laut di menu kementerian/lembaga negara termasuk BRIN dan BUMN. Peluang besar juga ada pada program Makan Bergizi Gratis yang kini dicanangkan pemerintahan baru. Kita bisa memasukkan rumput laut sebagai komponen menu tetap. Bahkan, sarapan berbasis rumput laut bersama Presiden di sekolah bisa menjadi kick-off nasional.
Lebih dari Mimpi
Sarapan rumput laut bersama Presiden bukan mimpi akademisi atau mimpi dari petani pesisir semata. Ia adalah harapan nyata sekaligus bertujuan strategis pada upaya geopolitik pangan, narasi keadilan ekonomi, dan ibadah ekologis. Presiden yang makan rumput laut bersama rakyatnya adalah simbol pemulihan bangsa dari: krisis gizi, ketergantungan impor, dan degradasi lingkungan.
Maka, pertanyaannya bukan lagi: apakah mungkin?
Tapi, kapan kita siap menyajikannya di meja Presiden?
***
Editor: Asep Bulkini
Foto utama: Presiden makan siang bersama sejumlah menteri (17/1/2025). ©Sekretariat Negara