Pernah kah menikmati penganan yang terdapat isian abon di dalamnya? Ya, bagi masyarakat Indonesia, abon umumnya dijadikan bahan isian untuk kue basah, seperti lemper, sumpia, atau talam abon. Selain itu, abon juga dapat dijadikan lauk yang ditaburkan langsung di atas nasi hangat atau bubur ayam. Olahan makanan yang diketahui berasal Tiongkok ini memiliki cita rasa gurih dan kaya akan kandungan gizi.
Di Indonesia sendiri, sudah banyak daerah yang menjadi sentra produksi abon. Termasuk salah satunya di daerah Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tepatnya di Desa Cangkuang, terdapat rumah produksi abon yang sudah beroperasi sejak 1972, yaitu abon Wadimah. Tidak hanya memproduksi abon sapi dan ayam, Wadimah bahkan telah menambah varian abon ikan sejak 2017.
Mula-mula, Dinas Peternakan setempat meminta UMKM Wadimah melakukan diversifikasi produk abon berbahan baku ikan cakalang. Setelah dilakukan percobaan, ternyata abon ikan cakalang Wadimah menghasilkan kualitas yang layak untuk dikomersilkan. Tak hanya cakalang, ikan tuna juga jadi pengembangan berikutnya, karena penanganan kedua ikan tersebut hampir sama dan sumber bahan bakunya cukup mudah didapatkan.
Asty Istiqomah, selaku pemilik abon Wadimah menuturkan bahwa, “Walaupun kami jauh dari tempat penangkaran ikan, tapi Kabupaten Bandung memiliki banyak pengolah ikan pindang. Jadi bahan bakunya tidak sulit bagi kami karena bisa langsung beli di pemindang.”
Tak hanya abon berbahan baku ikan laut, Wadimah juga mengolah abon berbahan baku ikan air tawar, seperti patin. Menurut Asty, bahan baku ini relatif mudah didapat di Pasar Ikan Modern Kabupaten Bandung. Namun tantangannya, ikan patin memiliki kandungan lemak lebih tinggi dari cakalang dan tuna, sehingga memerlukan penanganan khusus agar hasil akhirnya kering.
Baca juga: Garam rumput laut rendah natrium, solusi mengatasi hipertensi di Indonesia
“Semakin banyak kandungan lemak, maka semakin basah abon yang dihasilkan. Oleh karena itu, jika tidak ditangani dengan baik, maka abon yang dihasilkan lebih cepat basah dan tengik,” terang Asty.
Pemilihan bahan baku berkualitas sangat penting karena ia berbanding lurus dengan kualitas abon yang dihasilkan. Ia menyebut bahwa ikan bahan baku harus memiliki mata yang jernih dan tidak berbau busuk. Kondisi jeroan juga perlu diperhatikan kesegarannya.
Selain itu, ukuran ikan juga jadi faktor penting karena berpengaruh terhadap rendemen daging dan berkaitan erat dengan efisiensi bahan baku. Untuk ikan patin misalnya, bobot minimal yang digunakan sebesar 5 kg per ekor. Sedangkan untuk ikan laut, bobotnya berkisar 2-5 kg per ekor.
Proses pengolahan abon ikan
Secara garis besar, proses pembuatan abon ikan meliputi penyiangan, perebusan atau pengukusan, pencabikan, pencampuran bumbu, penggorengan, dan pengeringan. Tahap penyiangan dilakukan dengan memisahkan daging dengan bagian lainnya. Terkhusus ikan patin, daging yang menempel dengan organ perut tidak digunakan karena cenderung berbau tanah.
Abon Wadimah memilih proses pengukusan karena metode ini tidak meningkatkan kadar air dalam bahan baku abon, sehingga lebih cepat kering. Fase pengukusan ini dilakukan selama satu jam untuk 10 kg daging ikan. Namun, untuk bahan baku patin, proses pengukusan dilakukan beberapa kali karena pengaruh kadar lemaknya yang tinggi.
Proses selanjutnya adalah pencabikan daging ikan hingga menjadi serat-serat dan pencampuran dengan bumbu, seperti bawang merah, bawang putih, lengkuas, ketumbar, serta rempah khas nusantara lainnya. Campuran tersebut kemudian dimasak dengan metode penggorengan selama 30 menit untuk setiap 2,5 kg bahan baku. Tahap terakhir yaitu pengeringan dengan spinner selama dua menit dan diulang sebanyak tiga kali. Hal inilah yang membuat abon Wadimah memiliki hasil akhir yang kering dan tidak berminyak karena efektivitas minyak yang hilang mencapai 70%.
Abon ikan yang siap dikemas memiliki bentuk menyerupai serat-serat kapas. Jika dibandingkan dengan abon sapi dan ayam, tekstur abon ikan cenderung lebih lembut, terutama abon patin. Hal ini karena struktur jaringan otot pada daging ikan cenderung lebih pendek dan lebih longgar dibandingkan daging hewan darat yang berstruktur, lebih terorganisir, rapat, dan panjang.
Baca juga: Mengangkat nilai tambah rumput laut ala Maria Gigih Setiarti
Sementara dari tampilannya, abon patin terlihat lebih cerah dibanding tuna dan cakalang yang cenderung kecokelatan. Namun menurut Asty, warna abon tidak begitu mempengaruhi tingkat preferensi konsumen.
Untuk menjaga aspek keamanan pangan, Asty menyebut bahwa produk abonnya tidak menggunakan antioksidan sintetis untuk memperpanjang masa simpan produk. Proses pengawetan hanya mengandalkan bahan alami, seperti gula pasir dan garam. Namun ia meyakinkan bahwa berdasarkan hasil tes laboratorium, abonnya memiliki masa kadaluarsa hingga 15 bulan untuk kemasan kaleng dan 13 bulan untuk kemasan pouch.
Adapun untuk penanganan hasil samping produksi, Asty telah memiliki penampungnya. Limbah ikan laut biasanya diserahkan kepada pengepul guna untuk pakan lele. Sedangkan limbah tulang patin dimanfaatkan sebagai bahan tepung tulang untuk pembuatan camilan telur gabus.
Inovasi abon ikan lembaran
Kendati abon Wadimah sudah memiliki banyak penggemar, Asty tak berpuas diri dan terus berinovasi. Terbaru ia sedang mengembangkan produk abon lembaran untuk camilan.
“Saya ingin abon tidak hanya dikonsumsi dengan nasi saja. Tapi abon juga dijadikan camilan untuk semua kalangan. Bisa dimakan sambil nonton atau dijadikan camilan anak usia di bawah satu tahun,” ujar Asty.
Melalui seleksi Inkubasi Bisnis oleh KKP di tahun 2022, Wadimah dapat mewujudkan inovasi produknya menjadi abon ikan lembaran berbahan baku cakalang. Produk ini dibuat dari abon cakalang yang telah berbentuk serat kapas, lalu ditambahkan gula, tapioka, dan air untuk perekatan. Selanjutnya abon dicetak 4 x 8 cm dan dipanggang selama empat jam dengan api kecil.
“Karena jika dipanggang dengan api sedang, maka bagian luarnya kering, namun bagian dalamnya masih basah. Jadi tidak crunchy dan cepat alot karena keringnya hanya di luar saja,” terang Asty lagi.
Berdasarkan hasil pengujian nutrisi yang dilakukannya, mengonsumsi 2-3 lembar abon lembaran (25 gram) sudah membantu memenuhi nutrisi sekali makan karena kandungan proteinnya yang mencapai 13%. Abon lembaran ini memiliki tekstur yang lebih renyah dibandingkan dengan abon serat. Tiap lembarnya dikemas dalam sachet agar lebih higienis kemudian dikemas kembali dalam pouch berdesain modern. Setiap kemasan berisi 10 lembar abon, harganya dibanderol Rp 30 ribu.
Segmentasi pemasaran
Dari ketiga jenis abon ikan Wadimah, varian cakalang merupakan favorit konsumen. Menurut Asty, hal ini karena umumnya masyarakat lebih menyukai makanan olahan hasil laut. Sedangkan abon patin umumnya dikonsumsi oleh lingkungan terdekat atau penggemar ikan lele, sehingga diproduksi sesuai permintaan saja.
Untuk memperluas pemasarannya, Wadimah menjalin kerjasama dengan para reseller, koperasi, serta mengikuti komunitas bisnis dan bazaar. Selain memanfaatkan pasar lokal, pemasaran abon ikan Wadimah juga sudah menjangkau konsumen luar negeri, seperti Jerman, Malaysia, Korea, hingga Amerika. Wadimah juga bekerjasama dengan lembaga dan instansi pemerintah untuk mendukung program kerja mereka.
Foto utama: Canva/Joko Harismoyo
***
Penulis: Nur Aziezah Hapsari
Editor: Asep Bulkini