Siapa yang tak kenal Pulau Jeju? Keindahannya menjadikan pulau ini sebagai destinasi wisata favorit dan sering dijadikan lokasi syuting drama Korea karena alamnya yang memukau. Pulau Jeju (Jeju-do) adalah pulau terbesar di Korea yang terletak di sebelah selatan Semenanjung Korea. Pulau Jeju adalah satu-satunya provinsi dengan khusus di Korea Selatan. Daya tarik lainnya adalah kebijakan bebas visa untuk turis yang berkunjung, termasuk turis dari Indonesia.
Pulau Jeju terletak di Selat Korea, sebelah barat daya Provinsi Jeolla Selatan, yang dulunya merupakan satu provinsi sebelum kemudian terbagi pada tahun 1946. Ibu kota Jeju adalah Kota Jeju (Jeju-si). Topografi Pulau Jeju terbentuk sekitar 2 juta tahun lalu oleh aktivitas vulkanis. Di tengah pulau, terdapat Gunung Halla (Hallasan), gunung tertinggi di Korea dengan ketinggian 1.950 meter.
Pulau ini memiliki iklim bervariasi, mulai dari tropis sampai subtropis. Namun begitu, udaranya cenderung hangat sepanjang tahun dan jarang turun salju saat musim dingin, sehingga tanaman subtropis bisa bertahan hidup. Suhu-suhu rata-rata per tahunnya adalah 14,6 °C dan 4,7 °C di musim dingin. Keanekaragaman flora yang tumbuh di Jeju sangat berbeda dengan yang ada di Semenanjung Korea.
Pulau Jeju terkenal sebagai salah satu objek wisata utama di Korea karena keindahan alam dan kebudayaannya yang unik. Pulau ini memiliki beberapa nama lain, seperti Doi, Dongyeongju, Juho, Tammora, Seomna, Tangna, dan Tamra. Jeju memiliki garis pantai sepanjang 253 km dan luas 1.825 km². Kota pelabuhan terdekat dari Jeju ke daratan utama Korea adalah Mokpo, yang terletak di provinsi Jeolla Selatan.
Karena iklimnya yang baik, pulau ini ditumbuhi lebih dari 1.700 jenis tanaman, sehingga Jeju dijuluki sebagai “Pulau Botani” karena kekayaan floranya. Salah satu tanaman yang banyak tumbuh subur di Pulau Jeju adalah jenis Hydrangea macrophylla atau dikenal dengan nama Bunga Bokor, Bunga Borondong, atau Bunga Hortensia.
Selain itu, Pulau Jeju juga dijuluki dengan nama Samdado atau “Pulau yang Berlimpah dengan Tiga Hal”, antara lain bebatuan, angin, dan wanita. Bebatuan basalt dengan mudah ditemukan di Jeju. Dimanapun kita menggali, pasti akan menemukan batu yang dihasilkan proses vulkanik ini. Dari batu-batu vulkanik ini pula masyarakat Jeju sejak dulu memiliki tradisi membuat patung sepasang orang tua, yang disebut dol hareubang, sebagai simbol kebaikan, perlindungan, dan kesuburan.
Bahkan kekayaan batuan di Pulau Jeju, yaitu Seongsan Ilchulbong Tuff Cone pun telah ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 2000. Kerucut tuff (Tufe cone) adalah kerucut vulkanik monogenetik kecil yang dihasilkan oleh ledakan freatik (hidrovulkanik) yang secara langsung terkait dengan magma yang dibawa ke permukaan melalui saluran reservoir magma yang dalam.
Letak Pulau Jeju yang dikelilingi laut menyebabkan intensitas angin di sana cukup tinggi, sehingga hal ini dimanfaatkan oleh Pemprov Khusus Jeju untuk membangun turbin-turbin raksasa pembangkit listrik tenaga angin sebagai sumber energi yang berkelanjutan.
Cara unik menangkap hasil laut
Adanya makna “wanita” dalam julukan Samdado bagi Jejo berkaitan dengan kebiasaan cara menangkap ikan dan komditas laut lainnya di Pulau Jeju. Bila sebagian besar profesi nelayan dilakoni oleh pria, di Jeju peran tersebut banyak dilakukan oleh wanita. Bahkan pada usia yang sudah tua, wanita di Pulau Jeju masih menjalani profesi tersebut.
Komunitas penyelam wanita di Pulau Jeju disebut dengan haenyeo (해녀), yang berarti perempuan laut. Para haenyeo mampu menyelam hingga kedalaman 10 meter tanpa menggunakan alat bantu selam seperti masker atau tabung oksigen, hanya mengandalkan kekuatan napas. Kegiatan menyelam tersebut disebut disebut sebagai mul-jil (물질).
Dilansir dari Kumparan.com, para haenyeo menangkap berbagai hasil laut seperti kerang abalon, bulu babi, timun laut, dan rumput laut. Hasil tangkapan tersebut sebagian dijual dan sebagian dikonsumsi oleh keluarga mereka. Pekerjaan haenyeo sangat berat dan sering kali berisiko. Misalnya, ubur-ubur beracun dapat mengancam nyawa mereka. Selain itu, jika alat bitchang yang mereka gunakan tidak berfungsi, haenyeo bisa terjebak di bawah air dan tidak dapat naik ke permukaan untuk bernapas.
Menurut sumber yang sama, haenyeo dapat menyelam dan menangkap hasil laut hingga tujuh jam sehari selama musim panen, yang berlangsung selama 90 hari setiap tahunnya. Saat menyelam, mereka membawa alat bernama tewak, yang terdiri dari pelampung dan jaring untuk menyimpan hasil tangkapan. Mereka juga menggunakan alat-alat seperti bitchang, kkakkuri, dan golgaengi untuk mengambil hasil laut dari bebatuan di dasar laut.
Tradisi haenyeo telah berlangsung sejak berabad-abad lalu, sekitar tahun 1629. Menurut Divers O’Clock, sebelum adanya baju selam atau wetsuit, para haenyeo hanya menyelam dengan memakai pakaian dari katun. Dilansir dari situs Visit Jeju, pakaian para haenyeo disebut mulot (물옷) atau “baju air”. Bagian atas pakaian mereka disebut muljeoksam (물적삼), celananya disebut mulsojoongi (물소중이), dan penutup kepala mereka disebut mulsoogeon (물수건).
Komoditas perikanan favorit Jeju
Pulau Jeju memiliki keragaman hayati laut yang kaya dan beragam komoditas organisme laut yang umumnya merupakan hasil tangkapan. Beberapa jenis hasil tangkapan laut adalah: Jeon-bok (Abalon), Sora (Siput Hijau), rumput laut, ikan layur, timun laut (Holothuria), teripang dan berbagai jenis udang serta lobster.
Hasil tangkapan tersebut sebagian ada yang dijual di sekitar pantai, dan sebagian dibawa pulang untuk konsumsi keluarga. Namun untuk wisatawan seperti saya, tersedia berbagai restoran seafood yang menyajikan berbagai olahan komoditas hasil tangkapan. Mengolah hasil perikanan menjadi kuliner yang menarik menjadikan harganya menjadi lebih mahal. Sebut saja Galchi Jorim, kuliner yang berupa rebusan ikan layur yang meruupakan hidangan khas berbasis produk laut ini dibuat dengan ikan layur (Galchi), dilengkapi dengan tambahan gurita, udang, dan abalon, menjadikannya impian para pencinta hidangan laut. Galchi Jorim disajikan dalam keadaan segar, dalam pot logam panjang yang khas, tentu saja dengan harga yang lumayan mahal. Satu paket Galchi Jorim untuk 4 orang dipatok dengan harga 35.000 won – 80.000 won atau sekitar 3.7 juta rupiah.
Selain itu kuliner yang terkenal adalah Jeonbokjuk, bubur abalon. Bubur abalon ini dikenal dengan “King of porridges” atau “raja bubur” di Korea. Abalon sangat baik dikonsumsi karena mengandung mineral dan vitamin. Selain disajikan segar, abalon juga bisa dioalah dengan cara dibakar yang menghasilkan aroma yang menggugah selera.
Kenikmatan kuliner hidangan laut ini dilengkapi dengan segarnya jus jeruk Tangerine khas Pulau Jeju. Tangerine, atau jeruk keprok, adalah buah yang sangat melimpah di Pulau Jeju dan menjadi salah satu ikon dalam berbagai souvenir. Setiap tahun, sekitar 500.000 metrik ton jeruk keprok diproduksi di Pulau Jeju, yang merupakan mayoritas produksi jeruk keprok di Korea.