Dalam sambutannya di acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan Tahun 2023, awal pekan ini (6/2), Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyoroti pentingnya hilirisasi berbagai produk hasil ekstraksi dari sumber daya alam, seperti minerba, migas, dan sumber daya laut. Menurut presiden, hilirisasi dapat meningkatkan nilai tambah yang berlipat, sehingga akan lebih banyak nilai ekonomi yang tercipta di dalam negeri.

“Sekali lagi saya minta dukungan dari OJK mengenai ini. Bagaimana memberikan sosialisasi pentingnya hilirisasi. Karena proyeksi dampak hilirisasi dari minerba, migas dan kelautan bisa sampai angka 715 billion USD dan lapangan kerja yang terbangun bisa 9,6 juta (orang). Besar sekali.” ujar presiden.

Dalam konteks sumber daya perikanan, presiden mengatakan bahwa Indonesia memang menjadi eksportir nomor satu untuk komoditas ikan tuna (red: statusnya diperdebatkan), tongkol, dan cakalang (TTC). Namun di sisi lain sekaligus menjadi importir nomor satu komoditas tepung ikan.

“Lucu sudah. Dorong  keluar, kemudian kita impor lagi dalam bentuk tepung ikan. Apa nggak bisa kita menghilirkan ini? Mengindustrialisasikan ikan kita menjadi tepung ikan. Sesulit apa? Kalau kita belum mampu, ya gandeng partner. Saya selalu sampaikan, gandeng partner.” ujarnya. Kondisi tersebut kemudian oleh Jokowi dibandingkan dengan Tiongkok yang menjadi importir nomor dua ikan TTC segar, tetapi di sisi lain bisa menjadi eksportir nomor empat tepung ikan.

Namun pernyataan presiden mengenai hilirisasi ikan TTC segar untuk menjadi tepung ikan langsung mendapat tanggapan dari para praktisi di industri perikanan. Hal ini karena selain TTC sudah memiliki nilai ekonomi yang tinggi, ikan tersebut juga tidak serta merta bisa diolah menjadi tepung ikan, sebagai bahan baku pakan ikan dan udang di sektor budidaya.

Baca juga: Rabobank: Produksi udang dunia di 2023 diprediksi mencapai 6 juta ton

Spesifikasi bahan baku untuk tepung ikan

Menurut Sekjen Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) sekaligus mantan Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), Denny Indrajaja, hingga saat ini, tepung ikan berkualitas dan bahan baku pakan lainnya sebagian besar memang masih diimpor. Sebanyak 60 persen bahan baku pakan ikan dan 80-90 persen bahan baku pakan udang masih didatangkan dari negara lain.

Namun demikian, pembuatan tepung ikan tidak bisa menggunakan bahan baku berupa ikan segar seperti tuna, tongkol, dan cakalang. Jikapun bersumber dari ikan tuna, kata Denny, bahan baku tersebut harus berasal dari produk sampingannya. Seperti sisa-sisa produksi olahan tuna loin atau pengalengan (tuna canning). Selain dari tuna, tepung ikan juga bisa diproduksi dari produk sampingan pengolahan ikan lain seperti lemuru dan mackerel.

Menurut Denny, pembuatan tepung ikan menggunakan bahan baku ikan segar, apalagi tuna, tidak akan kompetitif di pasar. Sebab untuk memproduksi 1 kg tepung ikan membutuhkan 5 kg ikan segar. Selain itu, penggunaan ikan segar untuk bahan baku tepung ikan juga sudah dilarang dalam sertifikasi Global GAP, BAP (Best Aquaculture Practices), dan ASC (Aquaculture Stewardship Council) karena isu keberlanjutan.

Selain menggunakan bahan baku sisa produksi pengolahan ikan, tepung ikan juga bisa menggunakan ikan hasil tangkapan yang sudah rusak di palka kapal dan ikan hasil tangkapan sampingan dari kapal pukat udang atau cantrang. Menurut Denny, bahan-bahan baku tersebut pun hanya menghasilkan tepung ikan kategori grade B dengan kadar protein 55 – 58 persen.

Sedangkan tepung ikan yang dibuat oleh UKM dari ikan-ikan rucah hanya menghasilkan tepung dengan kualitas kadar protein dibawah 50 persen (grade C kebawah) yang biasanya digunakan untuk pakan ternak bebek dan diekspor sebagai bahan baku pupuk organik.

Sementara pakan ikan bagi komoditas budidaya, terutama yang diekspor seperti udang, perlu kadar protein lebih tinggi. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah tepung ikan juga harus tersertifikasi oleh lembaga internasional seperti MarinTrust agar udang hasil budidaya bisa diterima pasar.

Baca juga: Ekonomi biru sebagai salah satu strategi pemerintah turunkan emisi karbon

“Pakan udang membutuhkan tepung ikan dengan grade A, dengan kadar protein di atas 60 persen dan tersertifikasi yang selama ini diimpor dari Peru, Chili, dan Thailand. Udang budidaya yang kita ekspor harus menggunakan pakan dengan tepung ikan yang tersertifikasi MarinTrust jika ingin diterima pasar global. Sementara tepung ikan lokal umumnya hanya dipakai untuk pakan ikan yang dijual di pasar domestik” ungkap Denny.

Pentingnya sertifikasi tepung ikan berskala global

Agar bisa memproduksi tepung ikan dengan kualitas yang diakui pasar global, Indonesia harus bisa mendapatkan sertifikasi dari MarinTrust. Menurut Denny, sebetulnya banyak para pengusaha tepung ikan di Indonesia tertarik mengikuti sertifikasi tersebut. Hanya saja, dukungan pemerintah dalam pengembangan program dan penyediaan data yang dibutuhkan sertifikasi masih kurang. Misalnya data jumlah nelayan dan hasil tangkapan ikan setiap kapal.

Padahal kata Denny, program pengembangan tepung ikan lokal yang berkualitas sudah pernah diinisiasi melalui pembentukan kelompok kerja (pokja) tepung ikan yang beranggotakan beberapa ditjen di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pengusaha tepung ikan. Inisiasi ini merupakan salah satu program dari NGO Sustainable Fisheries Partnership (SFP) dalam pengembangan industri tepung ikan di Indonesia.

“Saya bersama SFP berharap Pokja akan berlanjut. Namun ternyata Pokja (tepung ikan) selesai dengan selesainya program bersama SFP. Pemerintah sepertinya belum memprioritaskan untuk menjalankan program-program Pokja selanjutnya. Padahal anggota Pokja dari pengusaha tepung ikan sangat bersemangat,” pungkas Denny yang saat itu menjabat Senior Advisor SFP (2019-2021) untuk program penelitian tepung ikan.

Sumber foto: KKP