Penyediaan pangan yang berkualitas saat ini merupakan tantangan baru bagi produsen pangan, termasuk pembudidaya ikan. Konsumen makin cerdas memilih produk pangan. Tidak hanya terbatas pada harga yang kompetitif, namun beranjak pada tuntutan produk yang sehat tetapi dengan citarasa yang tetap enak.
Seringkali kita merasakan bau tanah pada saat memakan ikan. Terutama pada beberapa jenis ikan, seperti ikan bandeng, ikan mas, belut dan tilapia. Meskipun tidak mengubah nilai gizi ikan, bau tanah berdampak pada menurunnya animo masyarakat untuk makan ikan. Bahkan pada segmen pasar dengan kualitas premium, standar “zero muddy smell” telah jadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh produk ikan yang akan diperjualbelikan.
Peran negatif plankton Cyanobacteria
Umumnya kita menduga bahwa bau pada daging ikan berasal dari tanah yang termakan oleh ikan di dalam perairan yang berlumpur. Namun sebenarnya penyebab gejala bau lumpur diduga berasal dari beberapa plankton keluarga Cyanobacteria (alga hijau-biru) dari genus Oscillatoria, Symloca, dan Lyngbia dan Actinobacteria, khususnya Streptomyces.
Streptomyces digolongkan sebagai bakteri gram positif yang menghasilkan spora yang dapat ditemukan di tanah. Bakteri ini bersifat nonmotil dan berfilamen. Selain ditemukan pada tanah, bakteri ini juga dapat ditemukan pada tumbuhan yang membusuk.
Karakter bau dari tanah pertama kalinya diteliti oleh Berthelot pada tahun1891. Kemduain, pada tahun 1965 struktur senyawa geosmin ditemukan oleh Gerber. Sementara istilah geosmin sendiri dicetuskan tahun 1964 oleh dua peneliti Australia, I. J. Bear dan R. G. Thomas, pada artikel jurnal Nature.
Dalam artikelnya, mereka menjelaskan bahwa bau tersebut berasal dari minyak yang dikeluarkan oleh Actinobacteria saat cuaca kering. Minyak tersebut diserap oleh tanah dan batuan yang terbentuk dari tanah liat. Ketika hujan turun, minyak tersebut dilepaskan ke udara bersama senyawa lain bernama geosmin (trans-1,10-dimethyl-trans-9decalol). Geosmin dikeluarkan oleh tanah basah dan menghasilkan bau yang unik. Sistem pernafasan manusia dapat mendeteksi keberadaan senyawa ini meski dengan konsentrasi rendah.
Baca juga: Mengapa daging salmon berwarna merah?
Oleh karena itu, gejala bau lumpur terjadi pada saat ikan hidup di tempat yang kaya geosmin atau ikan memakan plankton ini sehingga dagingnya akan memiliki cita rasa tanah. Geosmin dapat pula diserap langsung dari perairan oleh ikan melalui insang, masuk ke saluran pencernaan dan akhirnya terdeposit dalam jaringan lemak ikan.
Bau tanah ini lebih banyak muncul pada ikan-ikan yang dipelihara dalam perairan tergenang seperti tambak, danau serta tandon. Hidung manusia sangat peka terhadap geosmin dan terdeteksi pada konsentrasi kurang dari 5 bagian per triliun. Senyawa geosmin akan dilepaskan ketika mikroba tersebut mati.
Pada kolam budidaya, secara periodik ‘rasa’ air menjadi lebih buruk ketika terjadi penurunan tajam terhadap populasi mikroba yang telah disebutkan tadi. Pada kondisi asam, geosmin terdekomposisi menjadi substansi yang tidak terlalu bau. Geosmin juga menyebabkan bau lumpur pada ikan perairan dalam.
Juttner (2007) mengidentifikasi tidak kurang dari 43 jenis Cyanobacteria yang terdeteksi memproduksi geosmin dan 2-methylisoborneol (2-MIB), yang terkonsentrasi pada kulit dan lapisan otot gelap ikan. Berdasarkan penyimpanannya dalam tubuh ikan, geosmin disimpan paling banyak dalam usus halus, kemudian pada jaringan abdominal, kulit dan paling rendah dalam daging.
Pemberokan hingga penambahan khitosan pada pakan
Mengurangi bau tanah pada daging ikan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Secara fisik, bau tanah akan hilang dengan merendam ikan dalam air bersih (diberok) selama beberapa waktu. Pemberokan ikan rainbow trout di Kanada dan tilapia di Thailand yang diberok dalam air bersih selama 14-16 hari, terbukti mampu menurunkan geosmin dari 1.1 menjadi 0.3 µ/100 gram daging.
Menurunkan geosmin dapat pula dengan cara pemberokan dan perendaman dalam berbagai jenis asam (Erungan et al, 1998). Namun cara ini dinilai kurang efektif karena belum bisa menghilangkan seluruh bau tanah dari daging. Serta tidak ramah lingkungan karena berdampak pada kandungan asam perairan.
Alternatif lain adalah dengan menggunakan khitosan dalam pakan ikan. Khitosan adalah produk deasetiliasi dari khitin, yang bersifat kationik sehingga tidak larut dalam air atau alkali pada pH 6,5. Khitosan mudah terdegradasi dan merupakan flokulan, koagulan yang baik, serta pengkelat logam.
Sumber khitosan dapat diisolasi dari hasil samping produk perikanan, seperti kulit udang dan cangkang kepiting dengan kandungan kitin antara 65-70 persen. Kelebihan khitosan adalah kemampuan mengabsorpsi lemak hingga 4-5 kali beratnya (Rismana, 2006). Karena sifat tersebut, maka pemberian khitosan dalam pakan akan mampu menghilangkan bau tanah pada daging ikan, karena geosmin akan terikat oleh khitosan bersama-sama dengan lemak, dan dikeluarkan melalui feses.
Hasil penelitian Hafiludin (2011) menginformasikan bahwa penggunaan khitosan sebanyak 10 ppm dalam pakan yang diberikan selama 4 hari mampu menurunkan bau tanah pada ikan bandeng, sekaligus menurunkan kadar lemak pada daging ikan.
Pengendalian bau tanah juga dapat dilakukan dengan menjaga kualitas air budidaya dan manajemen pemberian pakan. Penggantian air segera dilakukan bila terdapat tanda peningkatan pertumbuhan blue green alga (BGA). Peningkatan BGA sendiri dapat terlihat dari warna air yang menjadi hijau gelap. Warna ini sesuai dengan warna yang dimiliki BGA, yaitu hijau gelap dan mengeluarkan lendir.
Selain mengganti air secara teratur, peningkatan blue green alga dapat dicegah dengan mengaplikasikan kapur dolomit pada sore atau malam hari dengan dosis 500 gram/100m 2. Kapur akan berfungsi sebagai buffer pH dalam perairan, sehingga alga tidak tumbuh dengan cepat.
Sedangkan dari aspek manajemen pakan, pemberian pakan berkualitas dan jumlah yang terkontrol akan menekan sampah fosfat dalam perairan yang pada gilirannya akan memicu pertumbuhan plankton.