Asosiasi Tilapia Indonesia (ATI) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggelar Outlook Tilapia Indonesia 2025 di Jakarta (28/8), dengan mengusung tema Budidaya Ramah Lingkungan & Hilirisasi Tilapia Perluas Pasar Global Acara ini dihadiri perwakilan para pelaku usaha, aosisai, Kementerian Investasi/BKPM, Kemenko Pangan, akademisi, hingga pemerintah daerah. Diskusi berfokus pada langkah strategis seperti revitalisasi tambak Pantura, penerapan budidaya ramah lingkungan, peningkatan mutu induk dan benih, sertifikasi, penguatan branding, hingga stabilisasi harga panen.
“Kita ingin tilapia Indonesia hadir di pasar global bukan hanya dari sisi kuantitas, tetapi juga kualitas. Oleh karena itu, aspek keberlanjutan, keamanan pangan, hingga branding akan terus kita dorong bersama seluruh pemangku kepentingan,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya, Tb Haeru Rahayu, di sela-sela acara tersebut.
Revitalisasi tambak pantura
Untuk meningkatkan produktivitas dan saing tilapia, KKP tengah menggenjot program baru beruapa revitalisasi tambak-tambak mangkrak di Pantura Jawa. Menurut Dirjen Tebe, terdapat sekitar 78.550 hektar tambak idle, lebih dari 30 tahun, yang masih dikelola secara tradisional tanpa tandon dan IPAL, dengan produktivitas rendah (rata-rata 0,6 ton/ha/tahun). Melalui revitalisasi, KKP menargetkan pengelolaan 20.000 hektar diantaranya dengan konsep integrasi yang modern dan keberlanjutan. Konsep ini mencakup pembangunan tandon, IPAL, rekonstruksi kolam, penggunaan benih unggul, pakan berkualitas, serta pemanfaatan teknologi terkini.
Ketua Umum ATI, Alwi Tunggul Prianggolo, menyambut baik program pemerintah tersebut. “Program ini bisa menjadikan momentum komoditas nila naik level ke skala industri dan memperluas jaringan pasar global,” ungkap Alwi.
Namun ia berharap, hasil produksi tilapia yang ada di Pantura dapat dikelola dengan baik dan melibatkan para pelaku budidaya setempat. “Kita mengusulkan agar hasil panen dari program revitalisasi ini diarahkan ke industri pengolahan untuk menghasilkan produk fillet dengan target pasar ekspor. Kami tidak ingin panen ikan dari program ini sampai merembes ke pasar domestik yang sejauh ini sudah cukup mampu dipenuhi oleh pembudidaya lokal, supaya harga nila di pasar domestik tidak jatuh,” ungkapnya.
Ia juga berharap melalui program revitalisasi tersebut, ada peningkatan kualitas dan skala budidaya ikan nilai, mulai dari perbaikan kualitas genetik induk dan benih, sertifikasi budidaya, peningkatan kualitas pembudidaya, aplikasi teknologi budidaya terbaru dan pakan yang ramah lingkungan.
Baca juga:
1. Sejarah ikan nila: Menuju komoditas unggul di Indonesia
2. Bioflok nila hemat, tanpa tambahan probiotik dan molase
3. Sejarah ikan nila: Dari mujair hingga strain unggul lokal
Sementara itu, Direktur Ikan Air Laut KKP, Ikhsan Kamil, menjelaskan bahwa program revitalisasi akan difokuskan pada budidaya terintegrasi (integrated tilapia farming) dari hulu-hilir melalui ekosistem yang saling mendukung. Program ini akan berkolaborasi dengan swasta, pemerintah daerah, masyarakat penggarap, dan industri pendukung lainnya. etiap kabupaten akan dikembangkan dengan sistem klaster budidaya modern yang mandiri, dilengkapi fasilitas lengkap seperti hatchery untuk benih unggul, pabrik pakan, pengolahan, cold storage, dan industri pendukung lainnya. “Target luasan per klaster ±1.000 ha,” jelasnya.
Peluang ekspor terbuka
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi tilapia di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 1,36 juta ton. Data yang diolah oleh Dr. Suhana, Ketua Divisi Advokasi ATI, menunjukkan bahwa selama periode 2019 – 2023, Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan produksi ikan tilapia tertinggi di Indonesia, mencapai rata-rata 272.735 ton atau 20,96% dari total produksi nasional. Secara nasional, produksi tilapia tumbuh rata-rata 1,27%.
Menurut KKP, nilai pasar global tilapia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai USD14,4 miliar dan diprediksi mencapai USD23 miliar dalam 10 tahun mendatang. Tiongkok masih menguasai pasar ekspor tilapia dunia dengan porsi sebesar 54,23%. Namun demikian, Tiongkok alami penurunan ekspor rata-rata sebesar 5,34% per tahun selama periode 2012 – 2024.
Di sisi lain, Indonesia menempati posisi strategis dengan pangsa pasar global sebesar 7,65% dan pertumbuhan ekspor tumbuh positif sebesar 2,68%. Jumlah ekspor fillet tilapia Indonesia pada 2024 tercatat sekitar 12,8 ribu ton, dengan nilai ekspor mencapai USD93,5 juta (sekitar Rp1,4 triliun). Dengan demikian, tren peningkatan nilai pasar global dan penurunan ekspor dari Tiongkok dapat menjadi peluang bagi tilapia Indonesia untuk berkontribusi lebih besar di pasar global.
***
Editor: Asep Bulkini