Himpunan Mahasiswa Akuakultur (Himakua) Budidaya Perairan IPB University, resmi menggelar puncak acara Tilapia Conference 2025 di Kampus IPB Dramaga, Bogor (9/11). Kegiatan ini menjadi ajang yang membuka wawasan tentang besarnya potensi tilapia, baik di pasar lokal maupun global.

Dengan tema “Transformasi Budidaya Tilapia: Strategi Ketahanan dan Daya Saing Akuakultur Modern”, Tilapia Conference menghadirkan sederetan pembicara dari berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, peneliti, komunitas, dan pelaku industri.

Teknologi dan hilirisasi jadi kunci penguatan ketahanan pangan 

Gemi Triastutik, Direktur Ikan Air Tawar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan bahwa pemanfaatan inovasi seperti automatic feeder, Internet of Things (IoT), dan sistem pengelolaan air serta limbah yang efisien menjadi langkah penting menuju budidaya yang produktif, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Efisiensi biaya pakan juga menjadi fokus utama, dengan harapan muncul formula pakan yang lebih hemat tanpa menurunkan kualitas hasil budidaya.

Penguatan hilirisasi menjadi kunci agar hasil perikanan tidak berhenti pada produksi semata. Pengolahan, kemasan, dan pemasaran harus dikembangkan untuk menambah nilai ekonomi sekaligus membuka pasar yang lebih luas, baik domestik maupun ekspor,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan akademisi dalam mengembangkan riset, inovasi, serta model perikanan modern yang efisien. Melalui kolaborasi dan penerapan teknologi, sektor perikanan budidaya diharapkan tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan protein nasional, tetapi juga menjadi pilar utama dalam mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia.

Banner Iklan SBI

ATI dorong transformasi tilapia untuk perluas pasar ekspor

Ketua Umum Asosiasi Tilapia Indonesia (ATI), Alwi Tunggul Prianggolo memperkenalkan kiprah organisasi yang baru berdiri dua tahun lalu di Bandung, tepatnya pada 10 Agustus 2023. Asosiasi ini menjadi wadah kolaborasi antara pembudidaya, peneliti, pengolah, hingga pelaku industri dari hulu ke hilir, dengan komitmen memperkuat ekosistem tilapia nasional agar lebih berdaya saing.

“Indonesia kini menjadi salah satu produsen tilapia terbesar di dunia dengan capaian produksi mencapai 1,4-1,5 juta ton pada 2024. Sebagian besar, sekitar 95%, dikonsumsi di pasar domestik, sementara nilai ekspor tilapia Indonesia mencapai sekitar USD 60 juta —terutama ke Amerika Serikat. Meski begitu, pangsa ekspor Indonesia baru sekitar 8% dibandingkan Tiongkok yang mendominasi hingga 86%,” tutur Alwi.

Tantangan utama dalam industri ini masih meliputi keterbatasan benih unggul, akses indukan berkualitas, diversifikasi produk olahan, serta branding tilapia Indonesia yang belum sekuat negara tetangga seperti Tiongkok dan Thailand. Selain itu, adaptasi terhadap perubahan iklim juga menjadi isu krusial yang perlu diantisipasi melalui penerapan teknologi modern.

Program revitalisasi kawasan Pantura menjadi momentum besar dalam memperkuat produksi berbasis wilayah dan berorientasi ekspor. Perguruan tinggi seperti IPB juga diharapkan berperan aktif dalam menyiapkan SDM unggul yang inovatif dan adaptif terhadap perkembangan akuakultur modern. 

Transformasi menuju budidaya yang efisien dan berkelanjutan

Dalam sesi materi yang disampaikan oleh Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) sekaligus Government Relations CP Prima, Deny Mulyono mengupas pentingnya transformasi sistem produksi tilapia yang efisien, adaptif, dan berorientasi pasar.

Deny mengunkapkan bahwa produksi bukan sekadar menghasilkan ikan, tetapi proses terencana yang mencakup forecast demand, evaluasi sumber daya, hingga penyesuaian agar rantai budidaya tetap produktif dan berkelanjutan.

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan tilapia, namun masih menghadapi tantangan pada sisi efisiensi pakan dan keterpaduan rantai pasok

“Biaya pakan mendominasi 70–75% total biaya produksi, sementara lebih dari separuh bahan baku pakan masih bergantung pada impor. Karena itu, pengembangan bahan baku lokal seperti maggot dan ulva dinilai sangat penting untuk mengurangi ketergantungan impor serta menekan biaya produksi,” ujar Deni.

Deni juga menyoroti pentingnya konsep green feed dan green fish—yakni sistem budidaya yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Prinsip 3P (People, Planet, Profit) menjadi dasar bagi praktik akuakultur berkelanjutan, dengan dukungan teknologi digital untuk pemantauan kualitas air, pakan, serta kesehatan ikan.

Selain itu, ia menekankan perlunya harmonisasi regulasi lintas kementerian, peningkatan biosekuriti, sertifikasi Good Aquaculture Practice, dan penguatan sistem ketelusuran (traceability) agar produk tilapia Indonesia memiliki daya saing di pasar global.

Inovasi genetik dan sistem budidaya

Dalam sesi pemaparan Bettina Cavenagh, Direktur Utama PT. Indo Aqua Sukses, peserta diajak memahami bagaimana inovasi teknologi dan genetika menjadi tulang punggung dalam pengembangan benih tilapia unggul di Indonesia. Perusahaan joint-venture Indonesia–Belanda ini beroperasi di Majalengka, Jawa Barat, dengan sistem Recirculating Aquaculture System (RAS) berkepadatan tinggi (super intensif) yang menjaga efisiensi air, kualitas lingkungan, serta pertumbuhan ikan secara optimal.

PT Indo Aqua Sukses berfokus memproduksi benih monoseks (97–100% jantan) tanpa penggunaan hormon dan menggunakan Grand Parent Stock (GPS) dari Belanda yang telah diseleksi secara genetik. Pendekatan ini menghasilkan ikan yang tumbuh lebih cepat, efisien dalam pakan (FCR rendah), dan tahan terhadap penyakit.

Menurut Bettina, pengembangan genetik dilakukan melalui berbagai pendekatan, mulai dari selective breeding, male control, hingga genetic selection berbasis DNA. Meski metode genetic selection belum banyak diterapkan di Indonesia, negara seperti Vietnam dan Brasil telah membuktikan keberhasilannya dalam meningkatkan pertumbuhan hingga 85% dalam enam generasi seleksi.

Baca juga:
1. Praktisi sebut produktivitas nila sistem bioflok bisa mencapai 20-30 kg/m2
2. Budidaya ikan di KJA: Mencari titik temu antara keuntungan dan kelestarian
3. Bioflok nila hemat, tanpa tambahan probiotik dan molase
4. Sejarah ikan nila: Menuju komoditas unggul di Indonesia

Sistem pembenihan monoseks juga terbukti lebih efisien dibandingkan campuran (mixed sex), karena mengurangi energi yang terbuang untuk aktivitas reproduktif. Selain meningkatkan pertumbuhan yang seragam, sistem ini juga mendorong profit yang lebih tinggi bagi pembudidaya.

Bettina menekankan pentingnya data dan traceability dalam setiap tahap produksi benih untuk menghindari inbreeding dan menjaga kualitas genetik. Ia berharap riset dan pengembangan genetik tilapia dapat terus ditingkatkan melalui kolaborasi antara industri, akademisi, dan pemerintah, agar Indonesia mampu mandiri dalam produksi benih unggul dan menjadi pemain utama tilapia di pasar global.

Efisiensi pakan untuk tingkatkan produktivitas 

Dalam sesi ketiga, Uus Sugema, Technical Fish & Aqua Application Manager De Heus Indonesia menyoroti aspek penting dalam budidaya tilapia modern: manajemen pakan dan efisiensi nutrien. Ia menegaskan bahwa pakan menyumbang lebih dari 60% biaya produksi, sehingga pengelolaannya harus dilakukan secara presisi, tidak sekadar rutin memberi makan.

“Efisiensi tidak hanya bergantung pada kualitas pakan, tetapi juga pada kebiasaan pemberian pakan, kondisi lingkungan air, dan manajemen budidaya harian,” ungkap Uus.

Dengan sistem digital dan sensor kualitas air, petani dapat menyesuaikan frekuensi serta jumlah pakan secara real time, sehingga meminimalkan pemborosan sekaligus menjaga kesehatan ikan.

Selain itu, komposisi nutrisi yang seimbang menjadi faktor kunci. Protein, lemak, dan mikronutrien harus disesuaikan dengan fase pertumbuhan ikan agar konversi pakan (FCR) tetap optimal. Ia juga menekankan pentingnya inovasi bahan baku pakan alternatif, seperti sumber protein nabati lokal, untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

Uus mengingatkan bahwa transformasi budidaya tilapia tidak bisa hanya mengandalkan teknologi, tetapi harus dibarengi peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Pelatihan, pendampingan, dan kolaborasi antar pembudidaya menjadi faktor penguat keberhasilan ekosistem akuakultur.

Sistem yang lebih adaptif

Menutup rangkaian sesi teknis, Rafi Kemal dari Aqua Biofresh (ABF) Indonesia memaparkan pendekatan modern dalam sistem budidaya ikan tilapia yang menekankan sustainability dan efisiensi produksi. Ia menegaskan bahwa peningkatan populasi global yang diproyeksikan mencapai 9,7 miliar jiwa pada tahun 2050 menuntut sistem akuakultur yang tangguh terhadap perubahan iklim, sekaligus ramah lingkungan.

Menurutnya, tiga pilar utama dalam budidaya berkelanjutan meliputi keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Budidaya yang hanya mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem, kualitas air, serta kesejahteraan masyarakat, akan sulit bertahan. Karena itu, penting bagi pembudidaya untuk memahami sistem mulai dari ekstensif, semi-intensif, hingga intensif, dan menyesuaikannya dengan potensi lahan, pasokan air, serta daya dukung lingkungan (carrying capacity).

Dalam paparannya, Rafi menyoroti teknologi bioflok sebagai salah satu inovasi yang mampu menjawab tantangan masa kini. Sistem ini memungkinkan efisiensi pakan, menjaga kualitas air, serta menekan biaya produksi tanpa mengorbankan hasil panen. Ia menambahkan bahwa kunci keberhasilan bukan hanya pada teknologi, melainkan juga pada SDM yang disiplin, peka terhadap kualitas air, dan memahami manajemen pakan secara presisi.

“Budidaya ikan itu bukan sekadar menebar dan memberi pakan, tapi mengelola kehidupan di dalam air,” tutup Rafi, mengingatkan pentingnya kesadaran ekologi di balik setiap kolam budidaya.

Menembus pasar global

Sebagai penutup sesi, drh. Andhi Trapsilo, Government Relations Manager PT Japfa Comfeed Indonesia, sekaligus Advisory Board di Asosiasi Tilapia Indonesia, memaparkan potensi besar tilapia Indonesia di pasar ekspor global. Melalui pengalaman Japfa (Toba Tilapia) yang beroperasi dari hulu hingga hilir di Danau Toba, Sumatera Utara, ia menegaskan bahwa industri tilapia kini mengarah pada konsep “zero waste industry. Yakni memanfaatkan seluruh bagian ikan, mulai dari daging, kepala, kulit, hingga sisik yang diolah menjadi bahan kolagen, pakan ternak, dan produk olahan bernilai tambah.

Namun, tantangan utama masih ada di kualitas benih dan pemenuhan standar sertifikasi ekspor. “Benih unggul menentukan produktivitas dan daya saing,” jelasnya. Untuk menembus pasar Amerika dan Eropa misalnya, pembudidaya tidak cukup hanya mengantongi CBIB, tetapi juga harus memenuhi sertifikasi internasional seperti ASC dan BAP yang menuntut audit ketat, termasuk aspek sosial dan lingkungan.

Andhi juga menyoroti peluang ekspor yang masih terbuka lebar. Indonesia baru menyumbang sekitar 8% tilapia impor Amerika Serikat, jauh di bawah dominasi Tiongkok yang mencapai hampir 86%. Selain ekspor filet, peluang juga terbuka pada produk olahan dan bahan pangan untuk program nasional seperti MBG (Makan Bergizi Gratis).

“Tilapia adalah masa depan protein berkelanjutan, jika budidaya efisien, bersertifikat, dan ramah lingkungan, Indonesia bisa menjadi kekuatan utama tilapia dunia,” tutupnya.

***

Penulis: Rosita
Editor: Asep Bulkini

Foto-foto: Himakua IPB & Rosita