Industri akuakultur menghadapi berbagai tantangan strategis berdasarkan hasil Goal Survey 2023. Empat isu utama yang menjadi perhatian adalah harga komoditas, akses pasar, biaya pakan, dan pencegahan penyakit. Dari berbagai isu ini, pencegahan penyakit menjadi fokus utama karena memiliki dampak yang signifikan terhadap keberlangsungan usaha akuakultur.

Bicara terkait penyakit, penting untuk memahami trennya karena dapat membantu pelaku usaha menilai risiko dan potensi manfaat ketika memilih lokasi tambak atau merencanakan ekspansi bisnis. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan mitigasi strategis untuk meningkatkan pengetahuan tentang karakteristik penyakit yang menjadi kunci untuk menyusun strategi pencegahan efektif. 

drh. Narendra Santika Hartana, Shrimp and Fish Health Manager di PT Suri Tani Pemuka (STP), menyampaikan dalam seminar perdana South Coast Shrimp Association (SCSA) di Yogyakarta beberapa waktu lalu, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan outbreak penyakit meliputi intensifikasi tambak, degradasi kondisi lingkungan, praktik manajemen yang kurang optimal, tingginya jumlah patogen di lingkungan, serta penurunan kekebalan udang akibat stres lingkungan. 

“Outbreak penyakit ini tidak terjadi secara instan, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai faktor yang saling berinteraksi,” ujar Narendra.

Strategi mitigasi penyakit AHPND

Penyakit AHPND disebabkan oleh toksin PirA dan Pir B yang dihasilkan oleh Vibrio parahaemolyticus. Berbeda dengan penyakit lainnya, toksin ini bersifat eksotoksin yang dapat menyebar tanpa keberadaan langsung bakteri penyebab di dalam tubuh inangnya. Hal ini membuat AHPND sulit dideteksi jika hanya mengandalkan pengukuran jumlah bakteri total (Total Vibrio Count).

Ciri-ciri klinis AHPND meliputi hepatopankreas yang encer, usus kosong tanpa isi, dan kerusakan struktur hepatopankreas seperti tubulus yang pecah. Sebagai langkah awal mitigasi, deteksi toksin menjadi metode yang lebih efektif dibandingkan dengan deteksi bakteri.  Narendra mengungkapkan bahwa hal ini dikarenakan tidak semua Vibrio parahaemolyticus memiliki plasmid penghasil toksin PirA  dan PirB.

Baca juga: Cegah AHPND dengan menekan dominasi plankton

Menurut  Narendra, belajar dari penyakit AHPND di Vietnam, disinfeksi dengan klorin tinggi tidak sepenuhnya bisa mengontrol Vp AHPND. Selain itu, Vibrio juga bisa tumbuh lebih cepat di air yang sudah di disinfeksi. 

“Mereka ada kesalahan dalam manajemen airnya dan tidak langsung menghabiskan airnya, sehingga Vibrio bisa tumbuh lebih cepat di air yang sudah disinfeksi,” ujarnya. 

Pencegahan di hatchery dan tambak dapat dilakukan dengan menggunakan benur berstatus SPF (Specific Pathogen Free). Selain itu, juga dengan memastikan kolam yang akan digunakan bebas dari toksin AHPND, melalui disinfeksi dan pengendapan lumpur. Lumpur atau sedimen adalah sumber utama toksin, sehingga kontrol kualitas lumpur menjadi prioritas.

Selain itu, petambak juga dapat mengelola air dengan memperbesar kapasitas tandon pengendapan agar proses sedimentasi berjalan lebih optimal. Metode yang disarankan adalah pengendapan bertahap menggunakan beberapa tandon yang diolah secara berurutan untuk memaksimalkan penghilangan bahan organik. Selain itu, penting untuk tidak membiarkan air hasil disinfeksi berada dalam tandon lebih dari 6–12 jam, karena bakteri dapat tumbuh kembali dengan cepat.a bakteri dapat kembali tumbuh dengan cepat.

Penggunaan disinfektan yang tepat penting sekali diterapkan dengan memastikan dosis dan jenis disinfektan sesuai dengan target mikroorganisme. Misalnya, klorin atau hidrogen peroksida dengan dosis optimal untuk membasmi Vibrio parahaemolyticus dan monitor efikasi disinfektan secara berkala agar aplikasi tetap efektif dan efisien.

Aplikasi  treatment profilaksis atau imunostimulan,  bekerja sebagai sistem penguat imun, bukan sebagai obat, sehingga udang lebih memiliki buffer saat kondisi kolam tidak ideal. pengaplikasian imunostimulan secara berkala untuk meningkatkan daya tahan udang terhadap stres lingkungan dengan memilih frekuensi aplikasi yang lebih sering dengan dosis rendah untuk hasil optimal, mengingat karakter kekebalan non-spesifik pada udang.

Strategi mitigasi penyakit EHP

EHP disebabkan oleh mikrosporidia Enterocytozoon hepatopenaei yang menyerang sistem pencernaan udang. Berbeda dengan AHPND, EHP tidak selalu menyebabkan kerusakan struktural langsung, tetapi lebih berdampak pada penyerapan nutrisi. Tanda klinis utama adalah variasi ukuran udang yang signifikan dan lambatnya pertumbuhan. Karakteristik histopatologis EHP meliputi penurunan jumlah lemak pada hepatopankreas dan kerusakan mikroskopis pada sel-sel target tanpa adanya nekrosis.

Baca juga: Gejala EHP pada udang dan cara pengendaliannya

Mengelola Risiko EHP melalui persiapan dasar kolam dengan pengapuran hingga pH > 9 penting untuk menonaktifkan spora EHP, penggunaan treatment preventif dan monitoring kesehatan udang secara rutin dapat menurunkan risiko, dan apabila penyakit sudah terdeteksi, tindakan preventif cenderung kurang efektif, sehingga penting untuk memastikan kesehatan udang sebelum aplikasi treatment.

“Penggunaan treatment preventif, jika diaplikasikan pada udang yang sudah positif EHP maka efikasinya atau efektivitasnya akan turun. Jadi kita harus tahu kondisi, misalnya kita mau treatment, kita harus tahu sudah kena atau belum karena jika sudah kena dan positif, sudah masuk dalam kategori yang dalam tanda kutip sudah parah, kemungkinan dia tidak akan bekerja secara optimal,” ungkap  Narendra. 

Pencegahan melalui biosekuriti dilakukan dengan menghindari penggunaan bahan pakan alami seperti cacing darah atau kerang yang dapat menjadi reservoar EHP dan menerapkan sistem biosekuriti ketat di seluruh rantai produksi, mulai dari hatchery hingga grow-out.

Disinfeksi dan manajemen kolam dilakukan melalui disinfeksi kolam dengan bahan kimia yang efektif terhadap spora EHP, penggunaan koagulan seperti asam humat untuk mengendapkan spora di dasar kolam, dan memastikan lumpur di dasar kolam tidak teraduk selama budidaya karena spora dapat menyebar melalui air.

Pengendalian Pakan juga penting dilakukan dengan memanfaatkan pakan buatan berkualitas tinggi dan menghindari pakan alami yang tidak terkontrol, serta memberikan imunostimulan untuk meningkatkan kemampuan udang melawan infeksi.

Tantangan mitigasi AHPND dan EHP

Salah satu tantangan utama dalam mitigasi AHPND dan EHP adalah kurangnya perencanaan dan monitoring yang tepat. Langkah yang dapat dilakukan meliputi perencanaan aplikasi disinfektan dan pengaturan kincir sejak awal sebelum benur ditebar, melakukan pengujian rutin terhadap kualitas air, sedimen, dan status kesehatan udang menggunakan metode diagnostik yang akurat, serta berkoordinasi dengan ahli dan menggunakan data ilmiah untuk membuat keputusan berbasis bukti.

Mitigasi penyakit AHPND dan EHP memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan pencegahan, pengelolaan lingkungan, dan peningkatan kekebalan udang. Keberhasilan dalam menghadapi kedua penyakit ini sangat bergantung pada kesadaran dan kolaborasi semua pihak di industri budidaya udang. Dengan biosekuriti ketat, monitoring yang baik, dan penerapan teknologi terbaru, risiko kerugian akibat penyakit ini dapat diminimalkan secara signifikan.

Mitigasi penyakit pada budidaya udang membutuhkan pemahaman mendalam tentang kondisi lingkungan, manajemen air, dan penggunaan bahan treatment. Belajar dari pengalaman dan data praktik lapangan membantu dalam merancang strategi yang efektif untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi risiko kerugian. Dengan pendekatan yang terencana dan berbasis bukti, budidaya udang dapat dilakukan dengan lebih aman dan berkelanjutan.

***
Penulis: Rosita
Editor: Asep Bulkini