Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) masih menjadi salah satu penyakit udang yang menghantui para petambak dalam satu dekade terakhir. Perkembangan terbaru menyebutkan bahwa penyakit ini tidak disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus secara umum, tetapi spesifik oleh strain V. parahaemolyticus yang memiliki plasmid penghasil toksin Pir A dan Pir B.
“Kita tahu bahwa Vibrio parahaemolyticus itu ada 107 strain sampai sejauh ini, yang menyerang manusia maupun menginfeksi biota perairan. Tapi tidak semua 107 strain ini merupakan penyebab AHPND. Ini yang perlu kita garis bawahi,” ujar Head of Research and Development CP Prima, Rubiyanto Haliman, dalam webinar yang diselenggarakan FisTx beberapa waktu lalu.
Gejala klinis dan level AHPND yang mematikan
Menurut Rubiyanto, atau akrab disapa Rubi, udang yang terkena AHPND menunjukkan beberapa gejala klinis. Gejala-gejala ini umumnya berkaitan dengan hepatopankreas, sebagaimana bakteri tersebut pertama kali menyerang organ pencernaan itu. Hepato udang yang terkena AHPND terlihat pucat dibanding dengan udang sehat. Selain itu, organ tersebut juga mengalami atrophy atau penyusutan akibat gangguan metabolisme karena serangan bakteri V. parahaemolyticus. Dan pada akhirnya membuat sistem pencernaan udang terganggu dan menurunkan nafsu makannya.
“Ini adalah cara sederhana bagi kita untuk mendeteksi udang kita itu sehat atau sudah terinfeksi AHPND,” ujarnya.
Rubi juga menyampaikan bagaimana hasil analisa bioassay dapat mengukur level risiko serangan V. parahaemolyticus penyebab AHPND berdasarkan stadia atau umur budidaya udang, dengan tingkat kepadatan bakterinya. Risiko AHPND meningkat pada stadia udang yang masih kecil dan konsentrasi V. parahaemolyticus yang tinggi.
Ia menambahkan, “Jika udang masih PL (post larvae), maka jika di air pemeliharaan udang itu ada bakteri AHPND dengan densitas log 3 atau sepuluh pangkat tiga, itu sekitar 72 populasi udang kita akan mengalami kematian setelah diinfeksi selama 7 hari.”
“Tapi dengan log (konsentrasi) yang sama, jika udangnya itu sudah besar, seperti juvenil, log 3 belum menyebabkan kematian. Udang kita baru mengalami kematian jika densitas bakteri AHPND di air itu sudah mencapai 10⁵ atau log 5, dengan risiko kematiannya sudah mencapai 60 persen.”
Baca juga: Peran dan pengaruh mikrobiom pada saluran pencernaan udang (Part 1)
Menurut Rubi, AHPND akan sampai pada konsentrasi yang mematikan hanya dalam waktu empat jam setelah bakteri itu muncul di kolam. Setelah itu, hanya perlu waktu 12 jam lagi untuk sampai pada momen gejala kematian udang yang pertama.
“Jadi tampak bahwa serangan (AHPND) ini sangat cepat sekali, ini mengingat juga bahwa bakteri AHPND dapat bereplikasi dengan cepat dalam waktu 16 jam setelah adanya pembelahan biner. Jadi dalam waktu 16 jam dari adanya AHPND dalam tambak kita dapat menimbulkan kematian, apabila log-nya sudah mencapai log 5 yang mematikan,” ungkap Rubi.
Pencegahan AHPND
Dalam webinar tersebut, Rubi memberikan sedikitnya tujuh rekomendasi yang dapat petambak lakukan untuk mencegah terjadinya serangan AHPND, antara lain:
- Memastikan dasar kolam dan air tidak mengandung AHPND.
- Desinfeksi air masuk dengan klorin (15-20 ppm) atau Potassium peroxymonosulfate untuk membunuh bakteri AHPND.
- Menggunakan benur bebas AHPND.
- Menjaga keseimbangan plankton atau alga agar tidak drop, karena akan meningkatkan limbah organik pemicu AHPND.
- Rutin melakukan sifon untuk mengurangi limbah organik dan mencegah kanibalisme oleh udang sehat terhadap udang mati.
- Aplikasi probiotik yang bisa menjaga kualitas air (Bacillus, Nitrosomonas, Nitrobacter, Rhodobacter, dll.) maupun probiotik yang bisa menekan penyakit (Bacillus, Lactobacillus, dll.)
- Melakukan monitoring kesehatan udang secara teratur.
Di antara tujuh rekomendasi tersebut, Rubi memberikan perhatian serius pada upaya menjaga keseimbangan alga atau plankton. Menurutnya, kematian alga yang serentak akibat populasi yang melonjak, dapat meningkatkan limbah organik yang bisa memicu muncul dan tumbuhnya AHPND. Dalam riset laboratorium, Rubi menemukan bahwa pada kondisi plankton yang dibuat drop, densitas bakteri AHPND bisa meningkat hingga log 4-5 dalam kurun waktu 6 jam saja.
Berkaitan dengan strategi tersebut, ia menyodorkan konsep budidaya bernama “less algae culture system”, yang sedang ia gagas bersama tim CP Prima. Sistem ini pada intinya berupaya menjaga densitas plankton secara stabil pada kisaran 500-600 ribu sel/ml. Sementara, densitas plankton yang mudah crash biasanya melebih 1 juta sel/ml.
“Nah ini beberapa pemikiran dari kami, upaya untuk menekan atau mengurangi risiko munculnya AHPND adalah dengan budidaya dengan sedikit sekali alga. Pemikirannya adalah kalau ada kondisi drop algae, seperti banyak busa, banyak klekap mati, itu akan meningkatkan bahan organik sehingga sangat berpotensi untuk munculnya AHPND.”
Baca juga: Strategi hatchery hadapi tantangan penyakit udang
Sistem less algae dapat dilakukan dengan pendekatan model bioflok, ataupun dengan menggunakan pewarna -seperti hijau dan biru. Warna tersebut dapat menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam air kolam, sehingga pertumbuhan alga jadi terhambat dan tidak mudah blooming. Rubi mengatakan petambak di Indonesia memang belum banyak menerapkan sistem ini, tetapi para petambak lain seperti di Thailand telah mulai mengaplikasikannya.
“Jadi pada saat kita mau tebar benur kita berikan Brilliant Blue (pewarna) sedikit saja, 2 ppm sudah sangat cukup membuat air menjadi biru. Harapannya alga yang tidak blooming ini akan berjalan konsisten terus sehingga tidak ada crash algae. Istilahnya seperti shading atau peneduh untuk mengurangi intensitas matahari sehingga plankton kita tidak tumbuh dominan.”
Lengkapi dengan uji real-time PCR
Selain langkah-langkah teknis di lapangan, Rubi juga menekankan pentingnya uji PCR untuk melakukan deteksi dini AHPND. Saat ini, sudah banyak petambak yang melakukan uji lab dengan memakai agar TCBS, yang biasanya memunculkan warna hijau dan kuning ketika terdapat koloni mikroorganisme. Koloni V. parahaemolyticus biasanya terlihat melalui warna hijau pada agar. Namun kata Rubi, cara tersebut belum bisa memastikan apakah koloni tersebut bakteri penyebab AHPND atau bukan.
Karenanya, sebagian petambak melanjutkan deteksi dini PCR tersebut melalui uji CAV. Pada uji ini, koloni akan terlihat dalam tiga warna berbeda. Antara lain violet atau mauve, hijau kebiruan, dan tidak berwarna sama sekali. Menurut Rubi, koloni V. parahaemolyticus akan muncul pada warna violet.
Namun demikian, baik uji TCBS maupun CAV, keduanya hanya memberikan informasi keberadaan V. parahaemolyticus secara umum, belum bisa mengonfirmasi apakah bakteri tersebut mengandung plasmid penghasil Pir A dan Pir B penyebab AHPND atau bukan. Sehingga, langkah pamungkas untuk mengonfirmasinya bisa dilanjutkan dengan menggunakan real-time PCR yang secara spesifik menganalisa keberadaan V. parahaemolyticus penyebab AHPND.
“Jadi kalau agar hanya untuk konfirmasi secara umum, tapi untuk konfirmasi (AHPND) kita perlu melakukan uji dengan RT PCR,” simpulnya.
***
Penulis: Asep Bulkini