Pertumbuhan penduduk dunia yang terus meningkat akan menaikkan permintaan sumber protein untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, termasuk protein berbasis seafood dari sektor akuakultur. Produksi akuakultur perlu meningkat dua kali lipat untuk memenuhi kebutuhan di tahun 2050. Namun, potensi peningkatan produksi itu diikuti oleh tantangan isu keberlanjutan, terutama terkait dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan akuakultur.
Tantangan keberlanjutan dalam budidaya mencakup semua spesies, termasuk udang. Menurut Carlos Diaz, CEO Biomar Group, salah satu kunci utama untuk mencapai keberlanjutan dalam industri udang adalah pakan. Pakan akuakultur menyumbang 80 persen terhadap dampak lingkungan di industri seafood, di mana 90 persen dari dampak tersebut berasal dari industri penghasil bahan baku pakan.
Ia menyampaikan hal ini saat memberikan keynote speech di Global Shrimp Forum 2024 di Utrecht, Belanda (4/9). Menurutnya, bahan baku pakan dan cara produksinya merupakan faktor kunci keberlanjutan industri akuakultur. Ke depannya, industri udang seharusnya berhenti menggunakan fishmeal dan tidak lagi memperluas area produksi untuk bahan baku berbasis tanaman. Sebaliknya, bahan baku yang digunakan harus bersifat restoratif dan sirkular.
Kesamaan pola industri salmon dan udang
Dalam upaya memperbaiki industri pakan akuakultur, industri udang sebaiknya belajar dari transformasi yang terjadi di industri salmon, karena keduanya memiliki pola perkembangan yang mirip. Pada awal pengembangannya, pakan salmon banyak menggunakan bahan baku hasil laut seperti tepung ikan, tepung krill, dan minyak ikan. Baru kemudian pada tahun 2000-an, bahan baku nabati mulai lebih banyak digunakan dalam pakan salmon.
“Bukan berarti industri salmon sudah sempurna, tapi di beberapa aspek, mereka lebih maju. Menarik sekali melihat kesamaan yang terjadi di kedua sektor ini,” ujar Diaz.
Baca juga: Tepung maggot untuk pakan: Potensial namun penuh tantangan
Transisi dari bahan baku hasil tangkapan laut ke bahan nabati telah berhasil menurunkan nilai FFDR (Forage Fish Dependency Ratio). FFDR adalah rasio penggunaan ikan hasil tangkapan dalam pakan; semakin kecil angkanya, semakin sedikit bahan baku hasil tangkapan yang digunakan, dan itu lebih baik. Namun pada awal transisi ini, jejak karbonnya justru cenderung tetap sama, alih-alih menurun.
“Kami memulai dengan banyak menggunakan bahan baku laut, lalu beralih ke lebih banyak bahan baku nabati. FFDR turun, tetapi jejak karbon tetap sama hingga kami mulai menggunakan bahan baku yang lebih sirkular dan restoratif. Kisah ini sama (dengan udang), meskipun sebetulnya jejak karbon di pakan udang sekarang sebenarnya lebih baik dibandingkan dengan pakan salmon,” kata Diaz.
Namun demikian, meski sektor akuakultur menghasilkan karbon footprint, ia menggarisbawahi bahwa nilainya masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan produksi protein terestrial. Dampak jejak karbon dari akuakultur 10 kali lebih ringan dibanding dengan produksi peternakan.
Dia juga menekankan bahwa meski industri akuakultur secara umum menghasilkan jejak karbon, nilainya masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan produksi protein hasil peternakan teresrial. Dampak jejak karbon dari akuakultur 10 kali lebih rendah dibandingkan dengan peternakan.
Tiga skenario penurunan jejak karbon
Untuk memetakan distribusi jejak karbon di seluruh rantai nilai industri udang, Biomar melakukan sebuah riset di Ekuador untuk mengidentifikasi sumber jejak karbon di setiap fase menggunakan Life Cycle Assessment (LCA).
“Kami memutuskan untuk memperdalam penelitian ini. Dengan alat LCA yang canggih, kami mengevaluasi seluruh rantai nilai dari tiga pelanggan di lima belas lokasi berbeda untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai LCA udang dari Ekuador,” jelasnya.
Baca juga: Jejak karbon akuakultur: Sumber-sumber penghasil emisi dalam budidaya
Carlos Diaz menjelaskan bahwa dalam banyak penelitian sebelumnya, sekitar 70% dampak lingkungan industri akuakultur berasal dari pakan, dan 30% sisanya dari aktivitas budidaya. Namun, untuk udang, angkanya sedikit berbeda, yaitu 60% dari pakan dan 40% dari budidaya. Di Ekuador, hasilnya bahkan lebih baik. Dampak lingkungan budidaya udang di sana hampir setara dengan budidaya salmon, yaitu masing-masing 5,2 dan 4,8 kgCO2e/kg.
Dari hasil riset tersebut, ia merumuskan strategi untuk menurunkan jejak karbon industri udang di Ekuador melalui optimalisasi tiga aspek utama. Pertama, pada aspek pakan, dengan fokus pada pemilihan bahan baku yang tepat dan memaksimalkan penggunaan bahan baku sirkular dan restoratif. Kedua, pada manajemen produksi, terutama meningkatkan efisiensi pemberian pakan. Ketiga, pada efisiensi penggunaan energi, baik listrik maupun bahan bakar berbasis fosil.
Dengan strategi ini, Diaz memprediksi bahwa penggunaan bahan baku pakan yang berkelanjutan dapat menurunkan jejak karbon dari rata-rata 5,2 menjadi 4,5 kgCO2e/kg. Jika langkah tersebut dikombinasikan dengan peningkatan efisiensi FCR sebesar 20% saja, maka jejak karbonnya bisa turun menjadi 3,5 kgCO2e/kg. Dan jika digabungkan lagi dengan penggunaan energi bersih dan terbarukan, jejak karbon udang bisa turun hingga 2,1 kgCO2e/kg. Dengan kata lain, kombinasi ketiga strategi ini dapat mengurangi jejak karbon hingga lebih dari setengahnya.
Tren pasar udang dan salmon
Kesamaan pola transformasi antara industri salmon dan udang tidak hanya terlihat dalam sektor pakan, tetapi juga dalam kecenderungan pasar. Menurut Diaz, industri udang dapat mengikuti jejak yang sama. Saat ini, pasar udang masih bergantung pada beberapa pasar utama dan penjualan produk dalam volume yang besar. Namun, ada contoh positif seperti produk udang dari Madagaskar dan Ekuador, yang telah mencitrakan udang mereka dari aspek kesehatan dan keberlanjutan. Strategi ini diharapkan dapat menarik lebih banyak konsumen dan membuka pasar baru, sehingga memperluas jangkauan produk udang.
Untuk menyasar pasar baru tersebut, selain memastikan proses produksi dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan, transparansi dan kemampuan untuk melacak setiap tahap produksi juga menjadi sangat penting. Diaz menjelaskan bahwa industri salmon memiliki posisi yang kuat berkat siklus produksi yang lebih pendek dan jejak karbon yang lebih baik. Udang pun memiliki keunggulan serupa, seperti siklus hidup yang cepat, fleksibilitas dalam pengolahan, dan popularitas di kalangan konsumen.
“Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap aspek dari produksi udang, mulai dari bahan baku hingga produk akhir, dapat dipantau dan dipercaya oleh konsumen.” ungkapnya.
***
Ikuti topik-topik mendalam lainnya dari Global Shrimp Forum 2024, melalui tautan berikut: GSF 2024.
Foto-foto: ©GSF2024/Pierre Banoori