Ikan patin atau dikenal juga sebagai Pangasius adalah salah satu ikan paling populer dan banyak dikonsumsi di dunia. Sebabnya, jenis ikan yang tergolong whitefish ini punya keunggulan harga yang murah dan disukai para chef karena filletnya mudah diolah menjadi berbagai menu masakan. Selain itu, tekstur dagingnya juga lembut, manis, serta memiliki beragam pilihan warna seperti putih, putih kemerahan, merah muda, kuning muda, hingga kuning. Namun demikian, warna putih merupakan jenis yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku olahan fillet.
Selama ini, kebutuhan patin dunia sebagian besar dipasok oleh Vietnam. Fillet patin Vietnam cukup unggul karena warna dagingnya yang lebih putih, tidak berbau lumpur (muddy smell), dan harganya yang relatif lebih murah. Prospek pasar global dan dominasi Vietnam tersebut lantas menjadi peluang sekaliagus tantangan bagi Indonesia yang juga sebagai salah satu produsen ikan patin.
Kondisi ini juga kemudian menginspirasi Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia (MPHPI) untuk menghelat webinar Seafood Course Industries Seri 6 dengan tema Geliat Industri Patin Indonesia, yang dilaksankan beberapa waktu lalu. Webinar ini menghadirkan Direktur CV. Wahana Sejahtera Foods Samiono Abdullah sebagai narasumber, dan Analis Pasar Hasil Perikanan Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Artati Widiart sebagai pemantik diskusinya.
Peluang ekspor patin
Permintaan ikan jenis catfish di pasar dunia terbilang cukup tinggi. Pada tahun 2018, nilainya mencapai USD2,45 miliar, di mana jenisnya didominasi oleh ikan patin. Meski sejak pandemi Covid-19 nilai produksinya mengalami pasang surut, namun peluang pasar global ikan patin cenderung semakin meningkat.
Baca juga: VASEP: Ekspor seafood Vietnam 2022 tembus USD11 miliar
Menurut analisa Samiono, market ekspor terbesar pangasius adalah Cina dan Amerika Serikat (AS). Indonesia sendiri menjadi negara pengekspor patin terbesar kedua dunia, di bawah bayang-bayang dominasi Vietnam yang mampu mengekspor patin ke lebih dari 100 negara dengan nilai ekspor lebih dari USD1 miliar.
Selain Cina dan AS, Arab Saudi adalah pasar potensial lainnya untuk produk fillet patin Indonesia. Dengan jumlah jamaah haji Indonesia yang mencapai sekitar 206.000 orang tiap tahunnya, diharapkan mampu mengembalikan perputaran uang jamaah haji melalui konsumsi catering berbahan baku produk dalam negeri.
Namun menurut Samiono, Indonesia baru bisa mengembalikan 10% saja dari total nilai konsumsi yang dibelanjakan jamaah haji Indonesia di Arab Saudi. Karena nyatanya menu yang disajikan sebagian besar masih berasal dari negara lain. Alasannya menurut Samiono, tidak semua industri patin Indonesia mampu memenuhi persyaratan yang diberikan pemerintah Arab Saudi, khususnya sertifikat HACCP.
Hal tersebut berbeda dengan Malaysia yang dapat mengembalikan 100% pembelanjaan konsumsi jamaah hajinya melalui catering berbahan baku asal negerinya sendiri.
Tantangan industri patin
Meski peluang pasar global ikan patin terbuka lebar, ini dibarengi dengan tantangan bagaimana produk patin Indonesia bisa berdaya saing di pasar tersebut. Menurut Artati, pola industri patin di Indonesia masih kurang efektif dan efisien sehingga membuat biaya produksi jadi tinggi. Hal itu tentu saja berimbas pada tingginya harga produk fillet patin Indonesia di pasar global. Selain itu, kualitas bahan bakunya juga menjadi isu karena dagingnya yang kekuningan dan cenderung berbau lumpur.
Baca juga: Mengatasi bau tanah pada ikan akibat Geosmin
Untuk mendukung industri patin di Indonesia, KKP sebetulnya tengah mengembangkan kampung budidaya ikan patin yang tersebar di lima kabupaten. Antara lain Kampar, Muaro Jambi, Banyuasin, Bengkulu Selatan, dan Lebak. Namun, sentra pengolahannya mayoritas masih berada di Jawa Timur (Jatim) dengan jumlah pabrik mencapai 58 unit, dari total 126 pabrik di seluruh Indonesia. Disparitas jarak lokasi sumber bahan baku dan sentra pengolahan ikan, yang membuat adanya biaya transportasi tambahan, membuat industri patin jadi kurang berdaya saing.
Senada dengan Artati, Samiono mengamini kualitas daging yang kurang putih, berbau lumpur, serta memiliki perbandingan berat bersih produk fillet (rendemen/yield) dan bahan baku yang rendah. Dalam data sampel terbarunya, Samiono menjelaskan bahwa mayoritas patin dari Jatim memiliki kualitas warna dan yield yang terbaik jika dibandingkan dengan daerah lain. Namun permasalahan bau lumpur masih cukup tinggi, sekitar 9,4%. Padahal standar fillet premium seharusnya 0% bau lumpur. Sebaliknya, patin dari area lain relatif tidak memiliki kasus bau lumpur, akan tetapi cenderung menghasilkan rendemen yang rendah dengan warna yang tidak putih.
Dalam pemaparannya, Samiono juga menghitung simulasi harga pokok produksi (HPP) atau cost of goods manufacture (COGM) sesuai yield standar SNI, dengan glazing 20%, dari berbagai daerah di Indonesia dan Vietnam. Komponen yang dihitung antara lain harga bahan baku, yield fillet, biaya produksi, dan kargo dengan subsidi nilai produk sampingan (by product). Meskipun Vietnam memiliki harga bahan baku yang lebih tinggi, namun nilai hasil sampingnya mencapai 2-4 kali lipat dibanding Indonesia. Sehingga HPP fillet patin Vietnam jadi rendah, yaitu sekitar Rp34 ribu.
“Jika ada fillet patin dijual di Jakarta dengan harga Rp 29 ribu maka diduga produsen sudah menambahkan air, dengan glazing 40 persen” ungkap Samiono.
Samiono juga melakukan simulasi penghitungan nilai tambah yang lebih tinggi untuk berbagai produk turunan fillet. Jika diasumsikan biaya bahan baku 5 ton pangasius sebesar Rp 82,5 juta dan menghasilkan 2,6 ton fillet senilai Rp 117 juta, maka nilai tambahnya hanya sebesar 1,6 kali bahan baku. Tapi jika fillet tersebut diolah lagi menjadi fish breaded dan hasil sampingnya menjadi bahan baku pakan ikan, kerupuk, bakso ikan, atau siomay, maka nilai tambahnya bisa mencapai Rp550-an juta. Artinya nilai tambahnya sudah 6 kali lipat dari harga bahan baku semula (5 ton).
*Foto utama: Fachriansyah/Banjar
***
Penulis: Nur Aziezah Hapsari
Editor: Asep Bulkini