Budidaya tambak udang mengalami berbagai tantangan, salah satunya adalah penyebaran penyakit yang merusak produksi dan penanganan yang buruk terhadap limbah di tambak. Hal ini juga diperparah dengan mikroplastik yang berasosiasi dengan Vibrio.

Chief Operating Officer (COO) startup akuakultur FisTx Indonesia, Rico Wibisono menuturkannya dalam Webinar Ombak (Obrolan Tambak) #3 bertema “Strategi Efektif Mencegah Infeksi Wabah EHP, WFD, dan AHPND” yang diadakan secara daring. Menurutnya  diperlukan rekayasa segitiga budidaya dan konsep manajemen budidaya yang baik dalam pencegahan maupun penanggulangan penyakit di tambak udang.

Beberapa penyakit terbaru yang menyerang tambak udang disampaikan oleh Rico, di antaranya penyakit bakteri Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND), penyakit fungi Enterocytozoon hepatopenaei (EHP), dan White Feces Disease (WFDA). 

Cegah AHPND: Maturasi air tandon dengan tilapia

Penyakit bakteri Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) merupakan penyakit yang cukup signifikan disebabkan oleh Vibrio parahaemolyticus yang memiliki pir A dan pir B, yang bisa hidup pada pH 6-9. Disinfeksi dosis tinggi sudah tidak mampu lagi mengontrol Vibrio akibat paparan mikroplastik. Kemudian Vibrio jadi cendeung berkembang lebih cepat di air yang baru didisinfeksi. 

Untuk menyiasatinya, petambak dapat melakukan modifikasi treatment dengan mematurasi air tandon terlebih dulu. Maturasi air tandon  dengan tilapia, maupun polikultur dengan spesies lain, dapat memberikan hasil yang optimal. 

Probiotik Al Gipro

“Waktu kunjungan ke Vietnam, saya melihat maturasi air karantina (tandon) dengan tilapia cukup baik dan polikultur. Selain itu juga saya melihat di Filipina, itu kombinasi awalnya juga dia dibom karena AHPND,  kemudian tandonnya dijadikan karantina seperti itu dengan adanya tilapia,” tutur Rico.

Baca juga: Cegah AHPND dengan menekan dominasi plankton

Waspadai tanda-tanda EHP 

Penyakit fungi Enterocytozoon hepatopenaei (EHP) adalah parasit bersel satu yang membentuk spora yang secara khusus dapat menginfeksi manusia, hewan, serangga, dan krustasea. Parasit ini termasuk dalam kingdom enterocytozoonidae dan filum microsporodia. Infeksi EHP pada udang tidak langsung menyebabkan kematian, tetapi secara signifikan menekan laju pertumbuhan,  menurunkan kekebalan tubuh, dan komplikasi lain seperti sindrom feses putih (WFD).

Menurut Rico, proses infeksi EHP terdiri dari tiga fase. Fase pertama adalah inaktif fase yang ditandai dengan masuknya posterior ke vakuola yang menginfeksi sel inang. Kemudian fase kedua mengalami pembesaran pada sitoplasma.Dan pada fase ketiga akan membentuk spora. Mature spora akan keluar dan masuk ke dalam tubuh udang.

“Ketika udang mengenai EHP di lingkungan itu 15 hari kemudian dia bisa positif. Kalau dari kontaminasi pakan (akan positif EHP) 7 hari.  Kalau dia makan feses dari udang maupun makan udang yang mati akibat EHP, itu (akan positif EHP) sekitar 14 Hari,” ujar Rico.

Udang yang terinfeksi EHP akan cenderung berukuran lebih kecil dan pucat. Selain itu, udang terinfeksi EHP biasanya berada di permukaan air. Hal ini bisa berbahaya karena semakin lama udang akan semakin rusak dan berakibat penyakit baru, yaitu penyakit WFD. Gejala klinis tersebut mendakan kolam sudah tidak aman, bahkan jika sample PCR masih negatif. 

Rico mengungkapkan, “Menurut Ma et al. 2021, ketika (PCR) EHP-nya negatif tetapi mempunyai 20-30% udang yang terinfeksi, maka WFD terjadi di usia 65 hingga 79. Jadi kalau ibu bapak yang kena di usia 65-79 sebetulnya itu sudah kena EHP hingga 30% populasi udang.”

“Kalau di usia 33-44 sudah terkena WFD itu 50 hingga 60% sudah terinfeksi dan kalau under 30 hari di usia 14 hingga 20 sudah terkena WFD itu 40 hingga 90 persennya udang sudah positif terkena penyakit,” tambahnya. Sementara itu, penyakit WFD yang berasosiasi dengan EHP cenderung sulit untuk ditanggulangi.

Baca juga: Gejala EHP pada udang dan cara pengendaliannya

Rekayasa lingkungan 

Dalam webinar tersebut, Rico memaparkan beberapa tips pencegahan penyakit di tambak, khusunya untuk penyakit EHP. Rekayasa berbagai parameter lingkungan seperti salinitas, ammonia dan nitrit, pH, hingga DO, pada level yang optimal, dapat meningkatkan ketahanan udang.

Salinitas. Salinitas optimal agar risiko serangan EHP rendah adalah 15-25 ppt. Sebuah harsil riset yang diacu Rico menunjukkan bahwa salinitas yang lebih tinggi dari itu, dapat menurunkan SR udang, setelah udang diuji tantang dengan EHP.

Amonia dan nitrit. Keduanya perlu dikelola dengan baik agar nilainya tidak berlebih. itrit dan ammonia yang cukup tinggi sebesar 1,2 dan 1,0 ini menyebabkan terjadinya stres udang, sehingga  rentan terkena penyakit EHP. Sehingga petambak perlu rutin membersihkan tambak udang menghindari pertumbuhan penyakit EHP. 

pH. Rekayasa lingkungan dengan kejut  pH  pada rentang 9-11 dapat menonaktifkan spora. Rico menyarankan untuk melakukan shock pH pada tambak yang sudah positif EHP, \dengan menggunakan CaO 600 ppm pada saat kolam dikeringkan, untuk menaikkan pH hingga 8- 11. Sementara kejut pH di hatchery bisa menggunakan 2,5% NaOH untuk mencapai pH 9-11, lalu dikeringkan selama 7 hari. Treatment ini bisa mengurangi spora hingga 90 persen. 

Dissolved oxygen (DO). Menjaga DO pada level 6 ppm bisa mengurangi risiko EHP. Hasil studi di i Thailand menunjukkan, udang pada ditambak yang terkena EHP dapat tetap bertahan dan tumbuh dengan DO yang optimal, , “Memang salah satunya EHP-nya masih sangat kecil sekali dan ini cukup aman yaitu dengan menaikkan DO pada 6 ppm,” ungkapnya.

Sifon. Pergantian air disarankan pada saat pakan yang masuk ke kolam sudah mencapai 40 gram/m2. Namun demikian, pada awal-awal, pergantian air sebaiknya tidak dilakukan hingga 100 persen karena akan mengganggu keseimbangan mikroba. 

“Kalau di kami biasanya kita berpatokan pada 40 gram/m2 pakan, di mana fase ini bakteri sudah cukup stabil. Untuk awal sebaiknya tidak dihabiskan semua karena itu berkaitan dengan nutrisi mikroba nantinya akan terjadi guncangan yang cukup serius,” ungkap Rico. 

Pengkondisian kolam. Rekayasa ini bertujuan untuk menyiapkan keseimbangan mikroba. Selain itu, tilapia yang dibudidayakan bersama dengan green water secara bersamaan memberikan efek lebih baik.

Baca juga: Dampak EHP pada udang dan cara deteksi yang efektif

Rekayasa patogen dan imunitas udang

Selain rekayasa lingkungan, penanggulangan peyakit juga bisa dilakukan dengan rekayasa patogen, melalui pemberianprobiotik dan nanoteknologi. Probiotik seperti meningkatkan imunitas udang dan mendegradasi toksin AHPND Semenyara itu, “nanoteknologi seperti  nano partikel yang sudah banyak sekali digunakan di beberapa tempat itu cukup efektif.

Manajemen SDM

Pada dasarnya patogen udang dan lingkungan akan selalu ada, sehingga aspek lain seperti manajemen SDM merupakan hal sangat penting. Patogen bisa saja hadir akibat SDM yang tidak disiplin. “SDM yang baik akan mewujudkan operasional yang bagus dengan memilih pakan yang tepat dengan protein yang tinggi, benur agar bisa bebas dari patogen, sumber air dan treatment dengan menggunakan sumur, serta monitoring kesehatan udang,” tegas Rico.

Monitoring dan deteksi dini dengan PCR 

Petambak dapat melakukan monitoring dan deteksi  dengan berbagai cara tergantung budget setiap petambak. Biasanya menggunakan agar plate, antigen, dan PCR. Menurut Dr. Christina Assisi dari Forte Biotech menuturkan bahwa test PCR merupakan gold standard. Kelebihannya sensitif dan tahu seberapa banyak (kuantitatif) dan data PCR bisa mengetahui seberapa titer rendah atau titer tinggi. Namun, proses pengambilan data PCR membutuhkan waktu dan expert untuk mendapatkan data yang sesuai.

***

Penulis : Rosita
Editor: Asep Bulkini