Budidaya rumput laut terus berkembang dan menjadi sumber penting untuk karagenan, zat yang banyak digunakan dalam industri makanan dan lainnya. Namun demikian, salah satu tantangan teknis dalam budidaya rumput laut yaitu penyakit ice-ice (Ice-Ice Disease/IID). Penyakit yang dipicu oleh stres lingkungan ini menyebabkan rumput laut menjadi pucat dan dapat menyebabkan kerugian. Seiring dengan kemajuan teknologi dalam rangka menuju akuakultur yang presisi, pembudidaya kini dapat memantau kesehatan rumput laut secara lebih akurat dan menangani penyakit dengan lebih cepat.

Penyakit ice-ice dan dampaknya

Penyakit ice-ice menyerang rumput laut dengan menyebabkan bagian utama tanaman (thalus) memutih, akibat hilangnya pigmen. Penyakit ini biasanya dipicu oleh perubahan faktor lingkungan seperti suhu air dan salinitas yang membuat rumput laut menjadi stres, sehingga rentan terhadap infeksi bakteri. Dalam kasus yang parah, penyakit ini bisa menyebabkan pemutihan yang sangat luas pada tanaman, mengurangi kemampuan fotosintesis dan menurunkan hasil panen secara drastis.

Selama ini, metode untuk mendeteksi dan memantau penyakit IID masih mengandalkan pemeriksaan visual, yang memakan waktu dan rawan kesalahan. Selain itu, deteksi visual sering kali tidak efektif dalam mengidentifikasi tahap awal penyakit. 

Peran proximal sensing 

Proximal sensing adalah metode penginderaan yang menggunakan sensor yang ditempatkan dalam jarak dekat dengan objek atau tanaman untuk mengumpulkan data tentang karakteristik fisik atau kondisi objek tersebut. Dalam jurnal berjudul Proximal Sensing for Characterising Seaweed Aquaculture Crop Conditions: Optical Detection of Ice-Ice Disease, para peneliti yang dipimpin oleh Evangelos Alevizos menggunakan sensor hiperspektral dan multispektral untuk mendeteksi penyakit ice-ice pada dua jenis rumput laut Eucheumatoids: Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma denticulatum

Baca juga: Mengangkat nilai tambah rumput laut ala Maria Gigih Setiarti

Sensor-sensor ini menangkap data spektral—informasi tentang bagaimana rumput laut memantulkan cahaya pada berbagai panjang gelombang—yang dapat digunakan untuk menilai kesehatan tanaman berdasarkan warnanya. 

Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan pantulan spektral dalam mendeteksi berbagai tahap penyakit ice-ice, mulai dari rumput laut sehat hingga spesimen yang sepenuhnya kehilangan pigmen.

Temuan utama

Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik sensor hiperspektral maupun multispektral efektif dalam membedakan antara rumput laut sehat dan yang terkena penyakit. Akurasi klasifikasi ini berkisar antara 83% hingga 99%, tergantung pada resolusi dan kondisi spesifik yang dinilai. Berikut beberapa temuan utama dalam penelitian tersebut.

  1. Rumput laut sehat vs. terkena penyakit: Rumput laut yang sehat memiliki tanda spektral yang berbeda dibandingkan dengan yang terkena penyakit ice-ice. Seiring perkembangan penyakit, rumput laut kehilangan pigmennya, menghasilkan tanda spektral yang lebih datar di seluruh rentang cahaya tampak dan inframerah dekat (VIS-NIR).
  2. Tahapan depigmentasi: Sensor juga dapat mendeteksi berbagai tingkat depigmentasi, dengan akurasi lebih tinggi saat setidaknya 50% thalus terkena penyakit. Bahkan pada resolusi lebih rendah (multispektral), sensor masih mampu membedakan antara rumput laut sehat dan yang sebagian besar terkena penyakit.
  3. Thalus berlapis lumpur vs. depigmentasi: Di area budidaya, thalus rumput laut kadang tertutup partikel lumpur, yang dapat menghalangi penilaian visual. Penelitian ini menunjukkan bahwa sensor optik mampu membedakan dengan baik antara rumput laut yang tertutup lumpur dan yang terkena depigmentasi akibat penyakit ice-ice. Kemampuan ini penting untuk mencegah kesalahan identifikasi dan memastikan keputusan manajemen yang tepat.

Baca juga: Rumput laut jadi andalan blue food

Menuju akuakultur yang presisi

Hasil penelitian ini menegaskan potensi proximal sensing sebagai langkah awal menuju pemantauan kondisi rumput laut secara otomatis. Dengan mengintegrasikan sensor ini dengan drone atau sistem jarak jauh lainnya, pembudidaya rumput laut dapat memantau secara rutin tanaman mereka dengan sedikit tenaga kerja. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan hasil panen dengan memungkinkan deteksi dini penyakit seperti penyakit ice-ice, tetapi juga memperkuat keamanan biologis di lahan budidaya.

Selain itu, penggunaan drone yang dilengkapi sensor multispektral memungkinkan pemantauan dalam skala yang lebih luas. Dengan kemampuan menangkap citra beresolusi tinggi dari udara, drone dapat memberikan informasi real-time tentang kesehatan lahan budidaya rumput laut yang luas, mengidentifikasi area bermasalah sebelum menjadi tidak terkendali.

Tantangan dan arah riset masa depan

Meskipun penelitian ini menunjukkan keefektifan deteksi optik dalam memantau kesehatan rumput laut, beberapa tantangan masih ada. Misalnya, akurasi pengukuran pantulan spektral dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kedalaman dan kejernihan air, serta keberadaan organisme lain di dalam air. 

Penelitian tersebut juga merekomendasikan bahwa riset di masa depan sebaiknya berfokus pada pengembangan algoritma koreksi yang lebih kuat dan menguji sistem ini dalam berbagai kondisi lingkungan. Selain itu, mengintegrasikan deteksi optik dengan teknologi sensor lain—seperti sensor suhu dan salinitas—dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan rumput laut.

Kesimpulan

Teknologi proximal sensing menawarkan potensi besar untuk masa depan budidaya rumput laut yang lebih presisi. Dengan menyediakan data real-time yang akurat tentang kesehatan tanaman, teknologi ini dapat membantu pembudidaya mengurangi dampak penyakit ice-ice dan ancaman lainnya, yang pada akhirnya akan meningkatkan hasil panen dan mendorong praktik budidaya yang lebih berkelanjutan. 

***